KERANGKA KONSEP FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOMITMEN ORGANISASI
Diajukan untuk
melengkapi salah satu tugas
Mata Kuliah Perilaku
Organisasi

Disusun oleh :
Nama :
ZON SAROHA RITONGA
NIM : 8196113004
Prodi : S3
Manajemen Pendidikan.
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN


KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW.
Kerangka konsep ini disusun
untuk menjelaskan faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi. Dalam
penyusunan tugas ini banyak menghadapi kesulitan baik dalam penyusunan maupun
dalam pengumpulan data. Tetapi semua itu dapat diatasi. Oleh karena itu, saya
ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, terutama
:
1. DosenPengampu
Mata Kuliah yang memberikanmasukan-masukan dalam penyusunan tugas.
2. Teman-teman
yang telah membantu dalam pengumpulan data.
3. Semua
pihak yang telah membantu, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Tugas ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saya
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kelengkapan makalah
ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya
khususnya dan pembaca umumnya.
Medan, November 2019
Penulis
A.
Organizational Commitment
Menurut Mathis dan Jackson (2006), Komitmen Organisasi (Organizational Commitment) adalah
tingkat sampai di mana karyawan yakin dan menerima tujuan organisasional, serta
berkeinginan untuk tinggal bersama organisasi tersebut. Berbagai studi
penelitian menunjukan bahwa orang-orang yang relatif puas dengan pekerjaannya
akan sedikit lebih berkomitmen terhadap organisasi.
Menurut
Sopiah (2008:156), komitmen organisasi sebagai daya relatif dari keberpihakan
dan keterlibatan seseorang terhadap suatu organisasi”. Dengan kata lain
komitmen organisasional merupakan sikap mengenai loyalitas pekerja terhadap
organisasi dan merupakan proses yang berkelanjutan dari anggota organisasi
untuk mengungkapkan perhatiannya pada organisasi dan hal tersebut berlanjut
pada kesuksesan dan kesejahteraan.
Menurut
Moorhead dan Griffin (2013:73), komitmen organisasi mencerminkan identifikasi
dan ikatan seorang individu pada organisasi. Seseorang yang sangat berkomitmen
mungkin akan melihat dirinya sebagai anggota sejati dari sebuah perusahaan,
mengabaikan sumber ketidakpuasan kecil, dan melihat dirinya tetap sebagai anggota
organisasi. Sebaliknya, seseorang yang kurang berkomitmen lebih berkemungkinan
melihat dirinya sendiri sebagai orang luar, mengekspresikan lebih banyak
ketidakpuasan mengenai banyak hal, dan tidak melihat dirinya sebagai anggota
jangka panjang dari organisasi.
Robbins dan Judge (2008:100)
mendefinisikan komitmen organisasi adalah Suatu keadaan dimana seorang karyawan
memihak organisasi tertentu serta tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan
keanggotaan dalam organisasi.
Dari
beberapa kesimpulan mengenai komitmen organisasi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa komitmen
organisasi adalah keadaan psikologis individu yang berhubungan
dengan keyakinan, kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan
nilai-nilai organisasi, kemauan yang kuat untuk bekerja demi organisasi dan
tingkat sampai sejauh mana ia tetap ingin menjadi anggota organisasi.
B.
Cara Meningkatkan Komitmen Organisasi
Luthans memberikan pedoman khusus untuk
mengimplementasikan sistem manajemen yang mungkin membantu memecahkan masalah
dan meningkatkan organizational
commitment pada diri karyawan (Luthans, 2006:250):
1.
Berkomitmen pada nilai utama manusia
Dilakukan dengan membuat aturan tertulis, mempekerjakan
manajer yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi.
2. Memperjelas dan
mengkomunikasikan misi
Memperjelas misi dan ideologi, berkarisma,
menggunakan praktek perekrutan berdasarkan nilai, menekankan orientasi
berdasarkan nilai stress dan pelatihan, dan membentuk tradisi
3. Menjamin keadilan organisasi
Memiliki prosedur penyampaian keluhan yang komprehensif dan
menyediakan komunikasi dua arah yang ekstensif
4. Menciptakan rasa komunitas
Membangun homogenitas berdasarkan nilai, keadilan,
menekankan kerjasama, saling mendung dan kerja tim, dan berkumpul bersama
5.
Mendukung perkembangan karyawan
Melakukan aktualisasi, memberikan pekerjaan menantang pada tahun pertama, memajukan
dan memberdayakan, mempromosikan dari dalam menyediakan aktivitas
perkembangan, dan menyediakan keamanan kepada karyawan tanpa jaminan
C.
Faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi
Steers
dalam Sopiah (2008) mengidentifikasi ada 3 faktor yang mempengaruhi komitmen
karyawan pada organisasi yaitu:
1) Ciri
pribadi pekerja, termasuk masa jabatannya dalam organisasi dan variasi kebutuhan
dan keinginan yang berbeda dari tiap karyawan.
2)
Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas
dan kesempatan berinteraksi dengan rekan sekerja.
3)
Pengalaman kerja, seperti keterandalan
organisasi di masa lampau dan cara pekerja-pekerja lain mengutarakan dan
membicarakan perasaannya mengenai organisasi.
D.
Dimensi
Organizational Commitment
Ada tiga
dimensi komponen dari komitmen organisasi menurut Allen dan Meyer dalam Darmawan
(2013:172), yaitu sebagai
berikut:
1.
Affective Commitment
Adalah
berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan pegawai di dalam
suatu organisasi. Pekerja dengan komitmen afektif kuat akan sangat senang untuk
menghabiskan karier di perusahaan, antusian membicarakan masalah terkait
perusahaan serta memiliki ikatan emosional yang kuat dengan perusahaan.
2. Normative Commitment
Adalah merupakan perasaan-perasaan pegawai tentang kewajiban yang
harus ia berikan kepada organisasi. Pekerja dengan komitmen normatif yang
tinggi, memiliki perasaan yang berat saat harus meninggalkan organisasi, tidak
memiliki niat untuk meninggalkan organisasi, serta bagaimana karyawan dapat
merasakan bahwa masalah organisasi adalah masalah bagi karyawan.
3. Continuance Commitment
Adalah komponen berdasarkan persepsi pegawai tentang kerugian yang
akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi; Pekerja yang terlibat dalam
organisasi didasarkan kepada komitmen berkelanjutan ini, maka pekerja tersebut
akan memperhitungkan jumlah pengorbanan serta nilai yang diberikan perusahaan
kepada karyawan.

Gambar
2.2
Dimensi Komitmen
Organisasi
Sumber: Allen dan Meyer dalam Darmawan
(2013)
1.
Definisi Job Satisfaction
Menurut
Moh.As’ad (2012:26) definisi job
satisfaction adalah emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan di
mana para karyawan memandang pekerjaannya. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan
seseorang terhadap pekerjaannya. Hal ini nampak pada sikap positif karyawan
terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi dilingkungan kerjanya.
Departemen personalia atau manajemen harus selalu memonitor kepuasan kerja
karena hal ini memengaruhi sikap absensi, perputaran tenaga kerja, kepuasan
kerja dan masalah penting lainnya.
Robbin
dan judge (2011:105) memberikan definisi kepuasan kerja sebagai perasaan
positif tentang pekerjaan sebagai hasil evaluasi dari karakteristiknya. Pekerjaan memerlukan interaksi dengan rekan sekerja dan
atasan, mengikuti aturan dan kebijakan organisasional, memenuhi standar kinerja,
hidup dengan kondisi kerja kurang ideal, dan semacamnya.
Sedangkan McShane dan Von Glinow (2010:108) memandang
kepuasan kerja sebagai evaluasi seseorang atas pekerjaannya dan konteks
perkerjaan. Merupakan penilaian terhadap karakteristik pekerjaan, lingkungan
kerja, dan pengalaman emosional di pekerjaan yang dirasakan.
Pendapat lain mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah respon afektif
atau emosional terhadap aspek dari pekerjaan seseorang Kreitner dan Kinicki
(2010:170). Definisi ini menyatakan secara tidak langsung bahwa kepuasan kerja
bukanlah merupakan konsep tunggal. Melainkan, orang dapat secara relatif puas
dengan satu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan satu aspek atau
lebih.
Dari berbagai pandangan tersebut kiranya dapat disimpulkan
bahwa pada hakikatnya kepuasan kerja adalah merupakan tingkat perasaan seneng
seseorang sebagai penilaian positif terhadap pekerjaannya dan lingkungan tempat
pekerjaannya. Pekerja dengan kepuasan kerja tinggal mengalami perasaan positif
ketika mereka berpikir tentang tugas mereka atau mengambil bagian dalam
aktivitas tugas. Pekerja dengan kepuasan kerja rendah mengalami perasaan
negatif ketika mereka berpikir tentang tugas mereka atau mengambil bagian dalam
aktivitas pekerjaan mereka. Sayangnya, survei di tempat kerja mengindikasikan
bahwa pekerja yang puas cenderung semakin jarang.
Kreitner
dan kinicki (2010:171) memberikan wawasan tenang cara yang dapat dipakai untuk
meningkatkan kepuasan kerja pekerja. Menurut mereka, unsur yang menjadi
penyebab kepuasan kerja adalah: Need
fulfillment, discrepancies, value attainment, Equity, Dispositional/Genetic
components.
a. Need
fulfillment, pemenuhan
kebutuhan. Model ini mengusulkan bahwa kepuasan ditentukan oleh tingkatan
terhadap mana karakteristik pekerjaan memungkin individual memenuhi
kebutuhannya.
b. Discrepancies,
ketidaksesuaian. Model ini
mengusulkan bahwa kepuasan adalah sebagai hasil dari Met expections, yang mencerminkan perbedaan antara apa yang
diharapkan untuk diterima individu dari pekerjaan, seperti bayaran yang baik
dan peluang promosi, dengan yang sebernarnya.
c. Value
attainment, pencapain nilai.
Gagasan yang menjadi landasan value
attainment, adalah bahwa kepuasan merupakan hasil dari persepsi bahwa
pekerjaan memungkinkan untuk pemenuhan nilai kerja penting individual
d. Equity,
keadilan. Dalam model ini,
kepuasan adalah merupakan fungsi dari seberapa jujur pekerja diperlukan di
pekerjaan. Kepuasan merupakan hasil dari persepsi sesorang bahwa hasil kerja
relatif terhadap masukan lebih menyenangkan dibandingkan dengan hasil atau
masukan signifikan lain.
e. Dispositional/Genetic
components, komponen watak
dan genetic. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian
merupakan fungsi sifat personal dan faktor genetic. Karenanya dapat terjadi
bebrapa rekan kerja tampak puas dengan berbagai variasi situasi kerja, sedangkan lainnya kelihatan selalu tidak puas.
2. Dampak Ketidakpuasan Kerja
Dampak dari ketidakpuasan pekerja dituangkan dalam model teoretik dinamakan EVLN-model, yang terdiri dari Exit, Voice, Loyalty, dan Neglet. Kerangka tenggapan pekerja terhadap ketidakpuasan kerja tersebut dibedakan dalam dua dimensi: konstruk/distruktif dan aktif/pasif (Wibowo, 2013:145).

Gambar
2.1 Respon terhadap Ketidakpuasan
Kerja
Sumber: Wibowo, 2013
a.
Exit. Respon exit merupakan
perilaku langsung dengan meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru
atau mengundurkan diri.
b.
Voice. Respon voice termasuk
secara aktif dan konstruktif berusaha memperbaiki kondisi, termasuk menganjurkan
perbaikan, mendiskusikan persoalan dengan atasan, dan melakukan bebarapa bentuk
aktivitas perserikatan.
c.
Loyality. Respoan loyality berarti
sercara positif, tetapi secara optimistik menunggu kondisi membaik, termasuk
berbicara untuk organisasi menghadapi kritik ekternal dan mempercayai
organisasi dan manajemennya melakukan sesuatu yang bener.
d.
Neglect. Respon neglet secara
pasif memungkinkan kondisi memperburuk dan termasuk kemangkiran secara kronis
atau keterlambatan, mengurangi usaha, dan meningkatkan tingkat kesalahan.
3.
Dimensi Job Satisfaction
Menurut Darmawan (2013:59-60), terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kepuasan kerja, diantaranya ialah:
1.
Faktor Gaji
Berhubungan dengan jumlah
imbalan untuk seseorang sebagai hasil pelaksanaan kerja. Faktor ini akan
dininjau karyawan apakah sesuai dengan harapan karyawan itu sendiri.
2.
Faktor Aplikasi Pekerjaan
Faktor ini mengarah kepada
isi pekerjaan yang dilakukan seseorang apakah memiliki elemen yang dapat
memuaskannya sehingga dapat menyebabkan kenyamanan bekerja.
3.
Faktor Rekan Kerja
Mengarah kepada teman-teman
atau kepada siapa saja yang seseorang temui dan berinteraksi dalam melaksanakan
pekerjaan. Seseorang dapat merasakan rekan kerjanya sangat menyenangkan atau
tidak menyenangkan, dan tentu saja hal ini dapat berpengaruh terhadap
terbentuknya kepuasan kerja.
4.
Faktor Pimpinan
Faktor ini berhubungan
dengan gaya kepemimpinan seorang pemimpin yang memiliki karakter tertentu saat
memberi perintah atau petunjuk dalam pelaksanaan kerja. Cara-cara atasan dapat
menyenangkan seseorang atau tidak, dan hal ini dapat berpengaruh terhadap
terbentuknya kepuasan kerja.
5.
Faktor Promosi atau Pengembangan Karir
Seseorang dapat
mengembangkan karirnya melalui kenakan jabatan. Pengembangan karir yang dapat
membentuk kepuasan kerja didasarkan pada asas prestasi kerja dan harus bersifat
terbuka dan jelas. Faktor ini jelas memengaruhi tingkat kepuasan kerja
seseorang. Karir berkaitan dengan kepuasan individu, dalam organisasi maupun
kehidupannya. Artinya, apabila orang mendapat jaminan karir yang baik, maka ia
akan puas dan bekerja sungguh-sungguh. Sebaliknya, bila tidak ada jaminan karir
yang baik, maka orang tersebut menjadi tidak puas dan sulit diharapkan bekerja
dengan baik.
6.
Faktor Lingkungan Kerja
Faktor ini mencakup
lingkungan fisik dan psikologis seseorang ketika bekerja.
7.
Faktor Produk Organisasi
Faktor ini mengarah kepada
merek dari produk-produk yang dihasilkan organisasi yang dapat berbentuk jasa
maupun barang. Sebagai contoh, seseorang mungkin saja langsung merasakan
kepuasan kerja saat dia bekerja di suatu organisasi terkenal. Kasus lainnya
adalah seseorang sangat puas setelah mengetahui produk organisasi tempat ia
bekerja berhasil menjadi pemimpin pasar.
F. Burnout/ Kejenuhan kerja
Pada suatu industri dan organisasi memiliki banyak
karyawan yang pernah mengalami kejenuhan dalam bekerja, atau dapat dikatakan
dengan burnout dan kemudian beberapa faktor yang dapat menyebabkan burnout itu terjadi. Berbagai bentuk masalah dan
kekhawatiran yang selalu dihadapi kepada karyawan. Beban kerja yang dialami
oleh karyawan merupakan kejenuhan dalam menghadapi pekerjaan. Beban kerja yang terjadi
dapat meliputi tanggung jawab yang harus diselesaikan pada karyawan, membedakan
pekerjaan yang rutin dengan yang tidak rutin, serta jam kerja yang melebihi
kapasitas. Menurut Crosby (2012) burnout bisa terjadi akibat
kurangnya penghargaan positif atas kerja yang selama ini dikerjakan. Burnout di suatu perusahaan bisa
diukur dari banyaknya pengunduran diri karyawan di perusahaan. Serta berkurangnya rasa
percaya diri pada karyawan. Banyaknya persaingan pada karyawaan lain juga dapat
menyebabkan burnout terjadi.
Kejenuhan (burnout)
yang di alami oleh kebanyakan karyawan di perusahaan memiliki kecenderungan dan
ciri-ciri diantaranya ialah sakit fisik dicirikan seperti
sakit kepala, demam, dan sakit punggung. Kemudian
mengalami kelehan emosi dicirikan seperti rasa bosan, mudah tersinggung,
sinisme, suka marah, gelisah, putus asa, sedih, tertekan, dan tidak berdaya. Selain kelelahan pada emosi, kejenuhan
juga memiliki kecenderungan kelelahan mental yang dicirikan pada sikap tidak
peduli pada lingkungan, sikap negatif terhadap orang lain, konsep diri yang
rendah, putus asa dengan jalan hidup, dan merasa tidak berharga Menurut Pines
& Aronson (1989).
1.
Definisi Burnout
Burnout di Indonesia menjadi kendala bagi karyawan dalam menghadapi
pekerjaan. Menurut Maslach (2008) kejenuhan kerja (Burnout) ini
cenderung dirasakan pada karyawan dengan lama kerja, karena semakin lama
karyawan bekerja ia akan semakin terbiasa dengan pekerjaannya, sedangkan untuk
karyawan yang baru memulai menguasai pekerjaannya dan mulai belajar menguasai
pekerjaan secara tidak langsung dapat menjadi beban dan stres pada pegawai baru
yang pada akhirnya dapat menyebabkan kejenuhan dalam bekerja. Kejenuhan kerja (burnout) dipengaruhi oleh beban kerja
dan stres kerja yang paling umum. Menurut Muslihudin (2009) kejenuhan kerja dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain kekurangan kontrol, ekspektasi kerja yang tidak
jelas, dinamika ruang kerja yang disfungsional, ketidaksesuaian dalam nilai,
pekerjaan yang tidak disukai, dan aktivitas ekstrem.
Burnout didefinisikan sebagai kondisi dimana individu mengalami
kelelahan fisik, sinisme (depersonalization), kelelahan mental,
berkurangnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah (reduced personal
accomplishment) dan kelelahan emosional (emotional exhausted) yang
terjadi karena stres diderita dalam jangka waktu yang cukup lama di dalam
situasi yang menuntut keterlibatan emosional yang tinggi, burnout juga
bukan merupakan sebuah penyakit melainkan hasil dari sebuah reaksi sebagai
akibat dari harapan dan tujuan yang tidak realistic dengan perubahan (situasi)
yang ada (Leatz & Stolar dalam Rosyid & Farhati, 1996 ; Maslach,
Schaufeli&Leiter, 2001).
Dari sekian banyaknya definisi yang diungkapkan oleh
para ahli menunjukan bahwa burnout merupakan kondisi lama kerja dan ketidaknyamanan
pekerja pada lingkungan pekerjaan, berawal dari padatnya jam kerja dan
ketidakhadiran yang akan dilakukan beberapa karyawan, setelah mengetahui bahwa
pekerjaannya membuat dirinya tidak merasakan kenyamanan dalam menghadapi
pekerjaan maka terjadi burnout
.
2. Dimensi Burnout
Berikut akan dijelaskan dengan terperinci tiga dimensi
burnout menurut Maslach & Jackson (2001) :
A.
Kelelahan emosional terjadi ketika individu merasa terkuras
secara emosional karena banyaknya tuntutan pekerjaan. Pada dimensi ini, akan
muncul perasaan frustasi, putus asa, sedih, tidak berdaya, tertekan, apatis
terhadap pekerjaan dan merasa terbelenggu oleh tugas-tugas dalam pekerjaan
sehingga seseorang merasa tidak mampu memberikan pelayanan secara psikologis.
Selain itu mereka mudah tersinggung dan mudah marah tanpa alasan yang jelas
(Maslach dalam Sutjipto, 2001 ).
B.
Depersonalisasi. menurut Maslach (dalam
Sutjipto, 2001) merupakan perkembangan dari dimensi kelelahan emosional.
Depersonalisasi adalah coping (proses mengatasi ketidakseimbangan antara
tuntutan dan kemampuan individu) yang dilakukan individu untuk mengatasi
kelelahan emosional. Perilaku tersebut adalah suatu upaya untuk melindungi diri
dari tuntutan emosional yang berlebihan dengan memperlakukan siswa sebagai
objek. Gambaran dari depersonalisasi adalah adanya sikap negatif, kasar,
menjaga jarak dengan penerima layanan, menjauhnya seseorang dari lingkungan
sosial, dan cenderung tidak peduli terhadap lingkungan serta orangorang di
sekitarnya. Sikap lainnya yang muncul adalah kehilangan idealisme, mengurangi
kontak dengan klien, berhubungan
seperlunya saja, berpendapat negatifdan bersikap sinis terhadap klien. Secara konkret seseorang yang
sedang depersonalisasi cenderung meremehkan, memperolok, tidak peduli dengan
orang lain yang dilayani dan bersikap kasar.
C.
Reduced Personal Accomplishment. Adapun reduced personal
accomplisment ditandai dengan adanya perasaan tidak puas terhadapdiri sendiri,
pekerjaan, dan bahkan kehidupan, serta merasa bahwa ia belumpernah melakukan
sesuatu yang bermanfaat (Pines dan Aronson dalam Sutjipto,2001). Hal ini mengacu pada
penilaian yang rendah terhadap kompetensi diri dan pencapaiankeberhasilan diri
dalam pekerjaan. Maslach (dalam Sutjipto, 2001) menyatakan reducedpersonal
accomplishment disebabkan oleh perasaan bersalah telah melakukan klien secara
negatif. Seseorang merasa bahwa dirinya telah berubah menjadi orang yang berkualitas buruk terhadap
klien, misalnya tidak memperhatikan kebutuhan mereka. Padahal seorang pemberi
layanan dituntut untuk selalu memiliki perilaku yang positif,misalnya penyabar,
penuh perhatian, hangat, humoris, dan yang paling penting adalah mempunyai rasa empati.
Kondisi burnout akan memicu timbulnya perilaku negative berupa kebosananan,
ketidaksenangan, sinisme, ketidakcukupan, kegagalan, kerja berlebihan,
kekasaran dan melarikan diri sebagai akibat dari bertumpuknya permasalahan –
permasalahan yang terjadi ditempat kerja yang diakibatkan oleh stres kerja
dalam jangka panjang.
3. Kecenderungan & Ciri-ciri Burnout
Burnout merupakan keadaan individu mengalami kelelahan fisik,
mental dan emosional yang terjadi, karena stres yang dialami dalam jangka waktu
yang cukup lama dalam situasi yang menuntut keterlibatan emosional yang cukup
tinggi. Efek yang timbul akibat burnout adalah menurunnya
motivasi terhadap kerja, sinisme, timbulnya sikap negatif, frustasi, timbul perasaan ditolak oleh lingkungan, gagal dan self esteemrendah
(Mc Ghee dalam Irawati, 2002).
Burnout terjadi akibat berubahnya kondisi psikologis pemberi layanan
seperti perawat akibat reaksi kerja yang tidak menguntungkan. Wujud dari perubahan tersebut
berupa kelelahan fisik (physical exhaution), kelelahan emosional dan kelelahan mental (mental
exhaution). Hal ini karena seseorang bekerja di dalam situasi yang menuntut keterlibatan
emosional (Sujipto, 2001). Santrock (2002) mendefinisikan burnout sebagaisuatu
perasaan putus asa dan tidak berdayayang diakibatkan oleh stress berlarut-larut
yang berkaitan
dengan kerja. Schaufeli dkk. (dalam Cozen Payne, 1999) menjabarkan burnout sebagai suatu bentuk stress kerja
yang spesifik pada orang-orang yang bekerja dalam bidang pelayanan sosial, sebagai hasil dari
tuntutan emosional dalam hubungan antara pekerja dengan orang-orang yang harus
dilayani. Berdasarkan beberapa definisi diatas, peneliti menyimpulkan bahwa burnout
adalah suatu reaksi penarikan diri secara psikologis dari pekerjaan dimana seorang pekerja
menjadi tidak menjalankan tugasnya dengan baik, sebagai akibat dari tuntutan emosional atau
stress kerja yang dialaminya.
Menurut Pines & Aronson (1989) ciri-ciriumum burnout,
yaitu: 1) Sakit fisik dicirikan seperti sakit kepala,demam, sakit punggung,
tegang pada otot leher dan bahu, sering flu, susahtidur, rasa letih yang kronis. 2) Kelehan
emosi dicirikan seperti rasa bosan, mudah tersinggung, sinisme, suka marah,gelisah, putus
asa, sedih, tertekan, dan tidakberdaya. 3) Kelelahan mental dicirikan seperti
acuh takacuh pada lingkungan, sikap negative
terhadap orang lain, konsep diri yang rendah, putus asa dengan jalan hidup, dan
merasa tidak berharga.