Minggu, 08 Desember 2019

KERANGKA KONSEP FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOMITMEN ORGANISASI

KERANGKA KONSEP FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOMITMEN ORGANISASI
Diajukan untuk melengkapi salah satu tugas
Mata Kuliah Perilaku Organisasi






Disusun oleh :

Nama             : ZON SAROHA RITONGA
NIM     : 8196113004
Prodi   : S3 Manajemen Pendidikan.







PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Kerangka konsep  ini disusun untuk menjelaskan faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi. Dalam penyusunan tugas ini banyak menghadapi kesulitan baik dalam penyusunan maupun dalam pengumpulan data. Tetapi semua itu dapat diatasi. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, terutama :
1.    DosenPengampu Mata Kuliah yang memberikanmasukan-masukan dalam penyusunan tugas.
2.    Teman-teman yang telah membantu dalam pengumpulan data.
3.    Semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Tugas ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kelengkapan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya khususnya dan pembaca umumnya.

                                                                 
Medan,   November  2019

Penulis



A.     Organizational Commitment
Menurut Mathis dan Jackson (2006), Komitmen Organisasi (Organizational Commitment) adalah tingkat sampai di mana karyawan yakin dan menerima tujuan organisasional, serta berkeinginan untuk tinggal bersama organisasi tersebut. Berbagai studi penelitian menunjukan bahwa orang-orang yang relatif puas dengan pekerjaannya akan sedikit lebih berkomitmen terhadap organisasi.
Menurut Sopiah (2008:156), komitmen organisasi sebagai daya relatif dari keberpihakan dan keterlibatan seseorang terhadap suatu organisasi”. Dengan kata lain komitmen organisasional merupakan sikap mengenai loyalitas pekerja terhadap organisasi dan merupakan proses yang berkelanjutan dari anggota organisasi untuk mengungkapkan perhatiannya pada organisasi dan hal tersebut berlanjut pada kesuksesan dan kesejahteraan.
Menurut Moorhead dan Griffin (2013:73), komitmen organisasi mencerminkan identifikasi dan ikatan seorang individu pada organisasi. Seseorang yang sangat berkomitmen mungkin akan melihat dirinya sebagai anggota sejati dari sebuah perusahaan, mengabaikan sumber ketidakpuasan kecil, dan melihat dirinya tetap sebagai anggota organisasi. Sebaliknya, seseorang yang kurang berkomitmen lebih berkemungkinan melihat dirinya sendiri sebagai orang luar, mengekspresikan lebih banyak ketidakpuasan mengenai banyak hal, dan tidak melihat dirinya sebagai anggota jangka panjang dari organisasi.
Robbins dan Judge (2008:100) mendefinisikan komitmen organisasi adalah Suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi.
Dari beberapa kesimpulan mengenai komitmen organisasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah keadaan psikologis individu yang berhubungan dengan keyakinan, kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, kemauan yang kuat untuk bekerja demi organisasi dan tingkat sampai sejauh mana ia tetap ingin menjadi anggota organisasi.

B.     Cara Meningkatkan Komitmen Organisasi
      Luthans memberikan pedoman khusus untuk mengimplementasikan sistem manajemen yang mungkin membantu memecahkan masalah dan meningkatkan organizational commitment pada diri karyawan (Luthans, 2006:250):
1.      Berkomitmen pada nilai utama manusia
Dilakukan dengan membuat aturan tertulis, mempekerjakan manajer yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi.
2.      Memperjelas dan mengkomunikasikan misi
Memperjelas misi dan ideologi, berkarisma, menggunakan praktek perekrutan berdasarkan nilai, menekankan orientasi berdasarkan nilai stress dan pelatihan, dan membentuk tradisi
3.      Menjamin keadilan organisasi
Memiliki prosedur penyampaian keluhan yang komprehensif dan menyediakan komunikasi dua arah yang ekstensif
4.      Menciptakan rasa komunitas
Membangun homogenitas berdasarkan nilai, keadilan, menekankan kerjasama, saling mendung dan kerja tim, dan berkumpul bersama
5.      Mendukung perkembangan karyawan
Melakukan aktualisasi, memberikan pekerjaan menantang pada tahun pertama, memajukan dan memberdayakan, mempromosikan dari dalam menyediakan aktivitas perkembangan, dan menyediakan keamanan kepada karyawan tanpa jaminan

C.     Faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi
              Steers dalam Sopiah (2008) mengidentifikasi ada 3 faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi yaitu:
1)     Ciri pribadi pekerja, termasuk masa jabatannya dalam organisasi dan variasi   kebutuhan dan keinginan yang berbeda dari tiap karyawan.
2)        Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan rekan sekerja.
3)        Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi di masa lampau dan cara pekerja-pekerja lain mengutarakan dan membicarakan perasaannya mengenai organisasi.

D.    Dimensi Organizational Commitment
            Ada tiga dimensi komponen dari komitmen organisasi menurut Allen dan Meyer dalam Darmawan (2013:172), yaitu sebagai berikut:
1.      Affective Commitment  
Adalah berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan pegawai di dalam suatu organisasi. Pekerja dengan komitmen afektif kuat akan sangat senang untuk menghabiskan karier di perusahaan, antusian membicarakan masalah terkait perusahaan serta memiliki ikatan emosional yang kuat dengan perusahaan.
2.      Normative Commitment 
Adalah merupakan perasaan-perasaan pegawai tentang kewajiban yang harus ia berikan kepada organisasi. Pekerja dengan komitmen normatif yang tinggi, memiliki perasaan yang berat saat harus meninggalkan organisasi, tidak memiliki niat untuk meninggalkan organisasi, serta bagaimana karyawan dapat merasakan bahwa masalah organisasi adalah masalah bagi karyawan.
3.      Continuance Commitment  
Adalah komponen berdasarkan persepsi pegawai tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi; Pekerja yang terlibat dalam organisasi didasarkan kepada komitmen berkelanjutan ini, maka pekerja tersebut akan memperhitungkan jumlah pengorbanan serta nilai yang diberikan perusahaan kepada karyawan.


Untitled1.png






Gambar 2.2 Dimensi Komitmen Organisasi
Sumber: Allen dan Meyer dalam Darmawan (2013)

E.     Job Satisfaction
1.      Definisi Job Satisfaction
Menurut Moh.As’ad (2012:26) definisi job satisfaction adalah emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan di mana para karyawan memandang pekerjaannya. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Hal ini nampak pada sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi dilingkungan kerjanya. Departemen personalia atau manajemen harus selalu memonitor kepuasan kerja karena hal ini memengaruhi sikap absensi, perputaran tenaga kerja, kepuasan kerja dan masalah penting lainnya. 
            Robbin dan judge (2011:105) memberikan definisi kepuasan kerja sebagai perasaan positif tentang pekerjaan sebagai hasil evaluasi dari karakteristiknya. Pekerjaan memerlukan interaksi dengan rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakan organisasional, memenuhi standar kinerja, hidup dengan kondisi kerja kurang ideal, dan semacamnya.
Sedangkan McShane dan Von Glinow (2010:108) memandang kepuasan kerja sebagai evaluasi seseorang atas pekerjaannya dan konteks perkerjaan. Merupakan penilaian terhadap karakteristik pekerjaan, lingkungan kerja, dan pengalaman emosional di pekerjaan yang dirasakan.
            Pendapat lain mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah respon afektif atau emosional terhadap aspek dari pekerjaan seseorang Kreitner dan Kinicki (2010:170). Definisi ini menyatakan secara tidak langsung bahwa kepuasan kerja bukanlah merupakan konsep tunggal. Melainkan, orang dapat secara relatif puas dengan satu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan satu aspek atau lebih.
Dari berbagai pandangan tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya kepuasan kerja adalah merupakan tingkat perasaan seneng seseorang sebagai penilaian positif terhadap pekerjaannya dan lingkungan tempat pekerjaannya. Pekerja dengan kepuasan kerja tinggal mengalami perasaan positif ketika mereka berpikir tentang tugas mereka atau mengambil bagian dalam aktivitas tugas. Pekerja dengan kepuasan kerja rendah mengalami perasaan negatif ketika mereka berpikir tentang tugas mereka atau mengambil bagian dalam aktivitas pekerjaan mereka. Sayangnya, survei di tempat kerja mengindikasikan bahwa pekerja yang puas cenderung semakin jarang.
             Kreitner dan kinicki (2010:171) memberikan wawasan tenang cara yang dapat dipakai untuk meningkatkan kepuasan kerja pekerja. Menurut mereka, unsur yang menjadi penyebab kepuasan kerja adalah: Need fulfillment, discrepancies, value attainment, Equity, Dispositional/Genetic components.
a.       Need fulfillment, pemenuhan kebutuhan. Model ini mengusulkan bahwa kepuasan ditentukan oleh tingkatan terhadap mana karakteristik pekerjaan memungkin individual memenuhi kebutuhannya.
b.      Discrepancies, ketidaksesuaian. Model ini mengusulkan bahwa kepuasan adalah sebagai hasil dari Met expections, yang mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan untuk diterima individu dari pekerjaan, seperti bayaran yang baik dan peluang promosi, dengan yang sebernarnya.
c.       Value attainment, pencapain nilai. Gagasan yang menjadi landasan value attainment, adalah bahwa kepuasan merupakan hasil dari persepsi bahwa pekerjaan memungkinkan untuk pemenuhan nilai kerja penting individual
d.      Equity, keadilan. Dalam model ini, kepuasan adalah merupakan fungsi dari seberapa jujur pekerja diperlukan di pekerjaan. Kepuasan merupakan hasil dari persepsi sesorang bahwa hasil kerja relatif terhadap masukan lebih menyenangkan dibandingkan dengan hasil atau masukan signifikan lain.
e.       Dispositional/Genetic components, komponen watak dan genetic. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat personal dan faktor genetic. Karenanya dapat terjadi bebrapa rekan kerja tampak puas dengan berbagai variasi situasi kerja, sedangkan lainnya kelihatan selalu tidak puas.

2.      Dampak Ketidakpuasan Kerja

      Dampak dari ketidakpuasan pekerja dituangkan dalam model teoretik dinamakan EVLN-model, yang terdiri dari Exit, Voice, Loyalty, dan Neglet. Kerangka tenggapan pekerja terhadap ketidakpuasan kerja tersebut dibedakan dalam dua dimensi: konstruk/distruktif dan aktif/pasif (Wibowo, 2013:145).

http://yennywisang.files.wordpress.com/2011/07/robbins-response-to-job-dissatisfaction.png





Gambar 2.1 Respon terhadap Ketidakpuasan Kerja
Sumber: Wibowo, 2013

a.       Exit. Respon exit merupakan perilaku langsung dengan meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru atau mengundurkan diri.
b.      Voice. Respon voice termasuk secara aktif dan konstruktif berusaha memperbaiki kondisi, termasuk menganjurkan perbaikan, mendiskusikan persoalan dengan atasan, dan melakukan bebarapa bentuk aktivitas perserikatan.
c.       Loyality. Respoan loyality berarti sercara positif, tetapi secara optimistik menunggu kondisi membaik, termasuk berbicara untuk organisasi menghadapi kritik ekternal dan mempercayai organisasi dan manajemennya melakukan sesuatu yang bener.
d.      Neglect. Respon neglet secara pasif memungkinkan kondisi memperburuk dan termasuk kemangkiran secara kronis atau keterlambatan, mengurangi usaha, dan meningkatkan tingkat kesalahan.
3.      Dimensi Job Satisfaction
Menurut Darmawan (2013:59-60), terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja, diantaranya ialah:

1.      Faktor Gaji
Berhubungan dengan jumlah imbalan untuk seseorang sebagai hasil pelaksanaan kerja. Faktor ini akan dininjau karyawan apakah sesuai dengan harapan karyawan itu sendiri.
2.      Faktor Aplikasi Pekerjaan
Faktor ini mengarah kepada isi pekerjaan yang dilakukan seseorang apakah memiliki elemen yang dapat memuaskannya sehingga dapat menyebabkan kenyamanan bekerja.
3.      Faktor Rekan Kerja
Mengarah kepada teman-teman atau kepada siapa saja yang seseorang temui dan berinteraksi dalam melaksanakan pekerjaan. Seseorang dapat merasakan rekan kerjanya sangat menyenangkan atau tidak menyenangkan, dan tentu saja hal ini dapat berpengaruh terhadap terbentuknya kepuasan kerja.
4.      Faktor Pimpinan
Faktor ini berhubungan dengan gaya kepemimpinan seorang pemimpin yang memiliki karakter tertentu saat memberi perintah atau petunjuk dalam pelaksanaan kerja. Cara-cara atasan dapat menyenangkan seseorang atau tidak, dan hal ini dapat berpengaruh terhadap terbentuknya kepuasan kerja.
5.      Faktor Promosi atau Pengembangan Karir
Seseorang dapat mengembangkan karirnya melalui kenakan jabatan. Pengembangan karir yang dapat membentuk kepuasan kerja didasarkan pada asas prestasi kerja dan harus bersifat terbuka dan jelas. Faktor ini jelas memengaruhi tingkat kepuasan kerja seseorang. Karir berkaitan dengan kepuasan individu, dalam organisasi maupun kehidupannya. Artinya, apabila orang mendapat jaminan karir yang baik, maka ia akan puas dan bekerja sungguh-sungguh. Sebaliknya, bila tidak ada jaminan karir yang baik, maka orang tersebut menjadi tidak puas dan sulit diharapkan bekerja dengan baik.
6.      Faktor Lingkungan Kerja
Faktor ini mencakup lingkungan fisik dan psikologis seseorang ketika bekerja.
7.      Faktor Produk Organisasi
Faktor ini mengarah kepada merek dari produk-produk yang dihasilkan organisasi yang dapat berbentuk jasa maupun barang. Sebagai contoh, seseorang mungkin saja langsung merasakan kepuasan kerja saat dia bekerja di suatu organisasi terkenal. Kasus lainnya adalah seseorang sangat puas setelah mengetahui produk organisasi tempat ia bekerja berhasil menjadi pemimpin pasar.

F.     Burnout/ Kejenuhan kerja

Pada suatu industri dan organisasi memiliki banyak karyawan yang pernah mengalami kejenuhan dalam bekerja, atau dapat dikatakan dengan burnout dan kemudian beberapa faktor yang dapat menyebabkan burnout itu terjadi. Berbagai bentuk masalah dan kekhawatiran yang selalu dihadapi kepada karyawan. Beban kerja yang dialami oleh karyawan merupakan kejenuhan dalam menghadapi pekerjaan. Beban kerja yang terjadi dapat meliputi tanggung jawab yang harus diselesaikan pada karyawan, membedakan pekerjaan yang rutin dengan yang tidak rutin, serta jam kerja yang melebihi kapasitas. Menurut Crosby (2012) burnout bisa terjadi akibat kurangnya penghargaan positif atas kerja yang selama ini dikerjakan. Burnout di suatu perusahaan bisa diukur dari banyaknya pengunduran diri karyawan di perusahaan. Serta berkurangnya rasa percaya diri pada karyawan. Banyaknya persaingan pada karyawaan lain juga dapat menyebabkan burnout terjadi.
Kejenuhan (burnout) yang di alami oleh kebanyakan karyawan di perusahaan memiliki kecenderungan dan ciri-ciri diantaranya ialah sakit fisik dicirikan seperti sakit kepala, demam, dan sakit punggung. Kemudian mengalami kelehan emosi dicirikan seperti rasa bosan, mudah tersinggung, sinisme, suka marah, gelisah, putus asa, sedih, tertekan, dan tidak berdaya. Selain kelelahan pada emosi, kejenuhan juga memiliki kecenderungan kelelahan mental yang dicirikan pada sikap tidak peduli pada lingkungan, sikap negatif terhadap orang lain, konsep diri yang rendah, putus asa dengan jalan hidup, dan merasa tidak berharga Menurut Pines & Aronson (1989).
1.      Definisi Burnout
Burnout di Indonesia menjadi kendala bagi karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Menurut Maslach  (2008) kejenuhan kerja (Burnout) ini cenderung dirasakan pada karyawan dengan lama kerja, karena semakin lama karyawan bekerja ia akan semakin terbiasa dengan pekerjaannya, sedangkan untuk karyawan yang baru memulai menguasai pekerjaannya dan mulai belajar menguasai pekerjaan secara tidak langsung dapat menjadi beban dan stres pada pegawai baru yang pada akhirnya dapat menyebabkan kejenuhan dalam bekerja. Kejenuhan kerja (burnout) dipengaruhi oleh beban kerja dan stres kerja yang paling umum. Menurut Muslihudin (2009) kejenuhan kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kekurangan kontrol, ekspektasi kerja yang tidak jelas, dinamika ruang kerja yang disfungsional, ketidaksesuaian dalam nilai, pekerjaan yang tidak disukai, dan aktivitas ekstrem.
Burnout didefinisikan sebagai kondisi dimana individu mengalami kelelahan fisik, sinisme (depersonalization), kelelahan mental, berkurangnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah (reduced personal accomplishment) dan kelelahan emosional (emotional exhausted) yang terjadi karena stres diderita dalam jangka waktu yang cukup lama di dalam situasi yang menuntut keterlibatan emosional yang tinggi, burnout juga bukan merupakan sebuah penyakit melainkan hasil dari sebuah reaksi sebagai akibat dari harapan dan tujuan yang tidak realistic dengan perubahan (situasi) yang ada (Leatz & Stolar dalam Rosyid & Farhati, 1996 ; Maslach, Schaufeli&Leiter, 2001).
Dari sekian banyaknya definisi yang diungkapkan oleh para ahli menunjukan bahwa burnout merupakan kondisi lama kerja dan ketidaknyamanan pekerja pada lingkungan pekerjaan, berawal dari padatnya jam kerja dan ketidakhadiran yang akan dilakukan beberapa karyawan, setelah mengetahui bahwa pekerjaannya membuat dirinya tidak merasakan kenyamanan dalam menghadapi pekerjaan maka terjadi burnout .

2.      Dimensi Burnout

Berikut akan dijelaskan dengan terperinci tiga dimensi burnout menurut Maslach & Jackson (2001) :
A.    Kelelahan emosional terjadi ketika individu merasa terkuras secara emosional karena banyaknya tuntutan pekerjaan. Pada dimensi ini, akan muncul perasaan frustasi, putus asa, sedih, tidak berdaya, tertekan, apatis terhadap pekerjaan dan merasa terbelenggu oleh tugas-tugas dalam pekerjaan sehingga seseorang merasa tidak mampu memberikan pelayanan secara psikologis. Selain itu mereka mudah tersinggung dan mudah marah tanpa alasan yang jelas (Maslach dalam Sutjipto, 2001 ).
B.     Depersonalisasi. menurut Maslach (dalam Sutjipto, 2001) merupakan perkembangan dari dimensi kelelahan emosional. Depersonalisasi adalah coping (proses mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan individu) yang dilakukan individu untuk mengatasi kelelahan emosional. Perilaku tersebut adalah suatu upaya untuk melindungi diri dari tuntutan emosional yang berlebihan dengan memperlakukan siswa sebagai objek. Gambaran dari depersonalisasi adalah adanya sikap negatif, kasar, menjaga jarak dengan penerima layanan, menjauhnya seseorang dari lingkungan sosial, dan cenderung tidak peduli terhadap lingkungan serta orangorang di sekitarnya. Sikap lainnya yang muncul adalah kehilangan idealisme, mengurangi kontak dengan klien, berhubungan seperlunya saja, berpendapat negatifdan bersikap sinis terhadap klien. Secara konkret seseorang yang sedang depersonalisasi cenderung meremehkan, memperolok, tidak peduli dengan orang lain yang dilayani dan bersikap kasar.

C.     Reduced Personal Accomplishment. Adapun reduced personal accomplisment ditandai dengan adanya perasaan tidak puas terhadapdiri sendiri, pekerjaan, dan bahkan kehidupan, serta merasa bahwa ia belumpernah melakukan sesuatu yang bermanfaat (Pines dan Aronson dalam Sutjipto,2001). Hal ini mengacu pada penilaian yang rendah terhadap kompetensi diri dan pencapaiankeberhasilan diri dalam pekerjaan. Maslach (dalam Sutjipto, 2001) menyatakan reducedpersonal accomplishment disebabkan oleh perasaan bersalah telah melakukan klien secara negatif. Seseorang merasa bahwa dirinya telah berubah menjadi orang yang berkualitas buruk terhadap klien, misalnya tidak memperhatikan kebutuhan mereka. Padahal seorang pemberi layanan dituntut untuk selalu memiliki perilaku yang positif,misalnya penyabar, penuh perhatian, hangat, humoris, dan yang paling penting adalah mempunyai rasa empati.

Kondisi burnout akan memicu timbulnya perilaku negative berupa kebosananan, ketidaksenangan, sinisme, ketidakcukupan, kegagalan, kerja berlebihan, kekasaran dan melarikan diri sebagai akibat dari bertumpuknya permasalahan – permasalahan yang terjadi ditempat kerja yang diakibatkan oleh stres kerja dalam jangka panjang.

3.      Kecenderungan & Ciri-ciri Burnout

Burnout merupakan keadaan individu mengalami kelelahan fisik, mental dan emosional yang terjadi, karena stres yang dialami dalam jangka waktu yang cukup lama dalam situasi yang menuntut keterlibatan emosional yang cukup tinggi. Efek yang timbul akibat burnout adalah menurunnya motivasi terhadap kerja, sinisme, timbulnya sikap negatif, frustasi, timbul perasaan ditolak oleh lingkungan, gagal dan self esteemrendah (Mc Ghee dalam Irawati, 2002).
Burnout terjadi akibat berubahnya kondisi psikologis pemberi layanan seperti perawat akibat reaksi kerja yang tidak menguntungkan. Wujud dari perubahan tersebut berupa kelelahan fisik (physical exhaution), kelelahan emosional dan kelelahan mental (mental exhaution). Hal ini karena seseorang bekerja di dalam situasi yang menuntut keterlibatan emosional (Sujipto, 2001). Santrock (2002) mendefinisikan burnout sebagaisuatu perasaan putus asa dan tidak berdayayang diakibatkan oleh stress berlarut-larut yang berkaitan dengan kerja. Schaufeli dkk. (dalam Cozen Payne, 1999) menjabarkan burnout sebagai suatu bentuk stress kerja yang spesifik pada orang-orang yang bekerja dalam bidang pelayanan sosial, sebagai hasil dari tuntutan emosional dalam hubungan antara pekerja dengan orang-orang yang harus dilayani. Berdasarkan beberapa definisi diatas, peneliti menyimpulkan bahwa burnout adalah suatu reaksi penarikan diri secara psikologis dari pekerjaan dimana seorang pekerja menjadi tidak menjalankan tugasnya dengan baik, sebagai akibat dari tuntutan emosional atau stress kerja yang dialaminya.
Menurut Pines & Aronson (1989) ciri-ciriumum burnout, yaitu: 1) Sakit fisik dicirikan seperti sakit kepala,demam, sakit punggung, tegang pada otot leher dan bahu, sering flu, susahtidur, rasa letih yang kronis. 2) Kelehan emosi dicirikan seperti rasa bosan, mudah tersinggung, sinisme, suka marah,gelisah, putus asa, sedih, tertekan, dan tidakberdaya. 3) Kelelahan mental dicirikan seperti acuh takacuh pada lingkungan, sikap negative terhadap orang lain, konsep diri yang rendah, putus asa dengan jalan hidup, dan merasa tidak berharga.