1.
Manusia:
Eksistensi Berpikir
Kemampuan manusia untuk menggunakan
akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan
manusia Berfikir, dengan Berfikir manusia menjadi mampu melakukan perubahan
dalam dirinya, dan memang sebagian besar perubahan dalam diri manusia merupakan
akibat dari aktivitas Berfikir, oleh karena itu sangat wajar apabila Berfikir
merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai kedudukan manusia di
muka bumi, ini berarti bahwa tanpa Berfikir, kemanusiaan manusia pun
tidak punya makna bahkan mungkin tak akan pernah ada.
Berfikir
juga memberi kemungkinan manusia untuk memperoleh pengetahuan, dalam tahapan
selanjutnya pengetahuan itu dapat menjadi fondasi penting bagi kegiatan
berfikir yang lebih mendalam. Ketika Adam diciptakan dan kemudian ALLAH
mengajarkan nama-nama, pada dasarnya mengindikasikan bahwa Adam (Manusia)
merupakan Makhluk yang bisa Berfikir dan berpengetahuan, dan dengan pengetahuan
itu Adam dapat melanjutkan kehidupannya di Dunia. Dalam konteks yang lebih
luas, perintah Iqra (bacalah) yang tertuang dalam Al Qur’an dapat
dipahami dalam kaitan dengan dorongan Tuhan pada Manusia untuk berpengetahuan
disamping kata Yatafakkarun (berfikirlah/gunakan akal) yang banyak
tersebar dalam Al Qur’an. Semua ini dimaksudkan agar manusia dapat berubah
dari tidak tahu menjadi tahu, dengan tahu dia berbuat, dengan berbuat dia
beramal bagi kehidupan. semua ini pendasarannya adalah penggunaan akal melalui
kegiatan berfikir. Dengan berfikir manusia mampu mengolah pengetahuan, dengan
pengolahan tersebut, pemikiran manusia menjadi makin mendalam dan makin
bermakna, dengan pengetahuan manusia mengajarkan, dengan berpikir manusia
mengembangkan, dan dengan mengamalkan serta mengaplikasikannya manusia mampu
melakukan perubahan dan peningkatan ke arah kehidupan yang lebih baik, semua
itu telah membawa kemajuan yang besar dalam berbagai bidang kehidupan manusia
(sudut pandang positif/normatif).
Kemampuan
untuk berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna pokok
yang terkandung dalam kegiatan Berfikir dan berpengetahuan. Disebabkan
kemampuan Berfikirlah, maka manusia dapat berkembang lebih jauh dibanding
makhluk lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di
muka bumi, bahkan dengan Berfikir manusia mampu mengeksplorasi, memilih dan
menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya. Semua itu, pada
dasarnya menggambarkan keagungan manusia berkaitan dengan karakteristik
eksistensial manusia sebagai upaya memaknai kehidupannya dan sebagai bagian
dari Alam ini.
Dalam
konteks perbandingan dengan bagian-bagian alam lainnya, para akhli telah banyak
mengkaji perbedaan antara manusia dengan makhluk-makhluk lainnya terutama
dengan makhluk yang agak dekat dengan manusia yaitu hewan. Secara umum
komparasi manusia dengan hewan dapat dilihat dari sudut pandang
Naturalis/biologis dan sudut pandang sosiopsikologis. Secara biologis pada
dasarnya manusia tidak banyak berbeda dengan hewan, bahkan Ernst Haeckel
(1834 – 1919) mengemukakan bahwa manusia dalam segala hal sungguh-sungguh
adalah binatang beruas tulang belakang, yakni binatang menyusui, demimikian
juga Lamettrie (1709 – 1751) menyatakan bahwa tidaklah terdapat perbedaan
antara binatang dan manusia dan karenanya manusia itu adalah suatu mesin.
Kalau
manusia itu sama dengan hewan, tapi kenapa manusia bisa bermasyarakat dan
berperadaban yang tidak bisa dilakukan oleh hewan ?, pertanyaan ini telah
melahirkan berbagai pemaknaan tentang manusia, seperti manusia adalah makhluk
yang bermasyarakat (Sosiologis), manusia adalah makhluk yang berbudaya
(Antropologis), manusia adalah hewan yang ketawa, sadar diri, dan merasa malu
(Psikologis), semua itu kalau dicermati tidak lain karena manusia adalah hewan
yang berfikir/bernalar (the animal that reason) atau Homo Sapien.
Dengan memahami uraian di atas,
nampak bahwa ada sudut pandang yang cenderung merendahkan manusia, dan ada yang
mengagungkannya, semua sudut pandang tersebut memang diperlukan untuk menjaga
keseimbangan memaknai manusia. Blaise Pascal (1623 – 1662) menyatakan
bahwa adalah berbahaya bila kita menunjukan manusia sebagai makhluk yang
mempunyai sifat-sifat binatang dengan tidak menunjukan kebesaran manusia
sebagai manusia. Sebaliknya adalah bahaya untuk menunjukan manusia sebagai
makhluk yang besar dengan tidak menunjukan kerendahan, dan lebih berbahaya lagi
bila kita tidak menunjukan sudut kebesaran dan kelemahannya sama sekali
(Rasjidi. 1970 : 8). Guna memahami lebih jauh siapa itu manusia, berikut ini
akan dikemukakan beberapa definisi
a. Plato (427 – 348). Dalam pandangan
Plato manusia dilihat secara dualistik yaitu unsur jasad dan unsur jiwa, jasad
akan musnah sedangkan jiwa tidak, jiwa mempunyai tiga fungsi (kekuatan)
yaitu logystikon (berfikir/rasional, thymoeides
(Keberanian), dan epithymetikon (Keinginan)
b. Aristoteles (384 – 322 SM). Manusia itu
adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara
berdasarkan akal fikirannya. Manusia itu adalah hewan yang berpolitik (Zoon
Politicon/Political Animal), hewan yang membangun masyarakat di atas
famili-famili menjadi pengelompokan impersonal dari pada kampung dan negara.
c. Ibnu Sina (980 -1037 M). manusia adalah
makhluk yang mempunyai kesanggupan : 1) makan, 2) tumbuh, 3) ber-kembang biak,
4) pengamatan hal-hal yang istimewa, 5) pergerakan di bawah kekuasaan, 6)
ketahuan (pengetahuan tentang) hal-hal yang umum, dan 7) kehendak bebas.
Menurut dia, tumbuhan hanya mempunyai kesanggupan 1, 2, dan 3, serta hewan
mempunyai kesanggupan 1, 2, 3, 4, dan 5.
d. Ibnu Khaldun (1332 – 1406). Manusia adalah hewan
dengan kesanggupan berpikir, kesanggupan ini merupakan sumber dari kesempurnaan
dan puncak dari segala kemulyaan dan ketinggian di atas makhluk-makhluk lain.
e. Ibnu Miskawaih. Menyatakan bahwa manusia adalah
makhluk yang mempunyai kekuatan-kekuatan yaitu : 1) Al Quwwatul Aqliyah
(kekuatan berfikir/akal), 2) Al Quwwatul Godhbiyyah (Marah, 3) Al Quwwatu
Syahwiyah (sahwat).
2. Pengetahuan,
Filsafat, Ilmu dan Kebenaran
Ditinjau
dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami
perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia”
meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu
pengetahuan di kemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan
yang lain. Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya
ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara
filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa
sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat.
Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang
mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga
definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.
Dalam
perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri
telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon
ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar bercabang secara subur. Masing-masing
cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan
masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan
demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan
munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu
pengetahuan baru bahkan ke arah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti
spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh
Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem
yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat
benar tidaknya dapat ditentukan.
Terlepas
dari berbagai macam pengelompokan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak
F. Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”,
kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan
manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu
implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang
satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin
kaburnya garis batas antara ilmu dasar murni atau teoritis dengan ilmu terapan
atau praktis.
Untuk
mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan
suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul.
Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal
ini senada dengan pendapat Immanuel kant (dalam kunto Wibisono dkk., 1997) yang
menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan
batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis
bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari
ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
Lebih
lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah
atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah
filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat
ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan).
Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang
menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi
dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang
Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum
tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Interaksi antara ilmu dan filsafat
mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik
jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari
filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono
dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena
terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu
dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang
sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak
salah.
Berdasarkan beberapa pendapat di
atas serta dikaitkan dengan permasalahan yang penulis akan jelajahi, maka
penulisan ini akan difokuskan pada pembahasan tentang: “Klasifikasi dan
Ilmu”.
a.
Definisi
Pengetahuan
Dalam Encyclopedia
of Philosophy, pengetahuan didefinisikan sebagai kepercayaan yang benar (knowledge
is justified true belief). Menurut Supratman (2006:134), pengetahuan adalah
segala sesuatu yang dapat diketahui manusia dan hasil dari proses berpikir
manusia yang melibatkan seluruh keyakinan berupa kesadaran tentang apa yang
ingin diketahui. Dengan kata lain, pengetahuan merupakan hasil dari proses
mengenal karena adanya hubungan antara subjek yang sadar dengan objek yang
ingin dikenal. Semua orang mengakui memiliki pengetahuan. Tetapi dari mana
pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan itu didapat? Ada beberapa
pedapat tentang sumber pengetahuan.
Kata
kebenaran dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun abstrak.
Jadi ada dua pengertian kebenaran, yaitu (1) kebenaran yang berarti nyata-nyata
terjadi di satu pihak, dan (2) kebenaran dalam arti lawan dari keburukan
(ketidakbenaran) (Syafi’i, 1995). Jika subjek hendak menuturkan kebenaran
artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang
dikandung dalam suatu pernyataan. Apabila subjek menyatakan kebenaran bahwa
proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik,
hubungan dan nilai, hal yang demikian itu karena kebenaran tidak dapat begitu
saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri.Suatu
kebenaran ilmiah lahir dari hasil penelitian ilmiah. Jadi agar kebenaran
tersebut dapat muncul maka harus melalui proses-proses atau suatu prosedur.
Prosedur baku yang harus dilalui adalah tahaan-tahapan untuk memperoleh
pengetahuan ilmiah, yang pada hakikatnya berupa teori, melalui metodologi ilmiah
yang baku sesuai dengan sifat dasar ilmu. Maksudnya, adalah setiap ilmu secara
tegas menetapkan jenis objek secara ketat apakah objek itu berupa hal konkrit
atau abstrak. Selain itu ilmu menetapkan langkah-langkah ilmiah sesuai dengan
objek yang dihadapinya itu.
b.
Hakikat
dan Sumber Pengetahuan
Secara etimologi
pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu Knowledge. Dalam Encylopedia
of phisolopy dijelaskan bahwa defenisi pengetahuan adalah kepercayaan yang
benar (now ledge is justified tiu belief). Dalam kamus filsafat dijelaskan
bahwa ilmu pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui oleh manusia
secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui
memiliki yang diketahui didalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang
mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan
aktif.
Sedangkan secara terminology
akan dikemukakan beberapa defenisi tentang pengetahuan. Menurut Drs. Sidi
Bazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu.
Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan
pandai. Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita
ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu yang
merupakan bagian dari pengetahuan lainnya.
Ilmu
pengetahuan diambil dari kata bahasa inggris Science,yang berasal dari bahasa
latin scienta dari bentuk kata kerja scire yang berarti
mempelajari pengetahuan. Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu mengalami
perluasan arti sehingga menunjuk pada segenap pengetahuan sistematis. dalam
bahasa Jerman Wissenschaft. Theliang Gie (1987) memberikan pengertian ilmu
adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu methode
untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia itu dalam
berbagai seginya dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan
berbagai gejala yang ingin dimengerti.
Sumber
pengetahuan Pengetahuan yang kita bahas sekarang itu memiliki sumber (source)
diantara nya adalah :
1.Intuisi
Ketika
kita berbicara mengenai intuisi subuah maen stream yang terbangun dibenak kita
adalah sebuah eksperimen, coba-coba, yang berawal dari sebuah pertanyaan dan
keraguan maka lahirlah insting. Sebuah bahasa sederhana juga penulis temukan
penjelasan mengenai apa itu intuisi?, Kamus Politik karangan B.N. Marbun
mengatakan : daya atau kemampauan untuk mengetahui atau memahami sesuatu tampa
ada dipelajari terlebih dahulu
2.Rasional
Pengetahuan
rasional atau pengetahuan yang bersumber dari akal adalah suatu pengetahuan
yang dihasilkan dari proses belajar dan mengajar, diskusi ilmiah, pengkajian
buku, pengajaran seorang guru, dan sekolah. Hal ini berbeda dengan pengetahuan
intuitif atau pengetahuan yang berasal dari hati. Pengetahuan ini tidak akan
didapatkan dari suatu proses pengajaran dan pembelajaran resmi, akan tetapi,
jenis pengetahuan ini akan terwujud dalam bentuk-bentuk “kehadiran” dan
“penyingkapan” langsung terhadap hakikat-hakikat yang dicapai melalui penapakan
mistikal, penitian jalan-jalan keagamaan, dan penelusuran tahapan-tahapan
spiritual. Pengetahuan rasional merupakan sejenis pengetahuan konsepsional atau
hushuli, sementara pengetahuan intuisi atau hati adalah semacam pengetahuan
dengan “kehadiran” langsung objek-objeknya atau hudhuri.
3. Emperikal
3. Emperikal
Setiap
orang yang kehilangan salah satu dari indranya akan sirna kemampuannya dalam
mengetahui suatu realitas secara partikular. Misalnya seorang yang kehilangan
indra penglihatannya maka dia tidak akan dapat menggambarkan warna dan bentuk
sesuatu yang fisikal, dan lebih jauh lagi orang itu tidak akan mempunyai suatu
konsepsi universal tentang warna dan bentuk. Begitu pula orang yang tidak
memiliki kekuatan mendengar maka dapat dipastikan bahwa dia tidak mampu
mengkonstruksi suatu pemahaman tentang suara dan bunyi dalam pikirannya. Atas
dasar inilah, Ibn Sina dengan menutip ungkapan filosof terkenal Aristoteles
menyatakan bahwa barang siapa yang kehilangan indra-indranya maka dia tidak
mempunyai makrifat dan pengetahuan. Dengan demikian bahwa indra merupakan
sumber dan alat makrifat dan pengetahuan ialah hal yang sama sekali tidak
disangsikan. Hal ini bertolak belakang dengan perspektif Plato yang
berkeyakinan bahwa sumber pengetahuan hanyalah akal dan rasionalitas,
indra-indra lahiriah dan objek-objek fisik sama sekali tidak bernilai dalam
konteks pengetahuan. Dia menyatakan bahwa hal-hal fisikal hanya bernuansa
lahiriah dan tidak menyentuh hakikat sesuatu. Benda-benda materi adalah
realitas-realitas yang pasti sirna, punah, tidak hakiki, dan tidak abadi. Oleh
karena itu, yang hakiki dan prinsipil hanyalah perkara-perkara kognitif dan
yang menjadi sumber ilmu dan pengetahuan adalah daya akal dan
argumen-argumenrasional. Akan tetapi, filosof-filosof Islam beranggapan bahwa
indra-indra lahiriah tetap bernilai sebagai sumber dan alat pengetahuan. Mereka
memandang bahwa peran indra-indra itu hanyalah berkisar seputar konsep-konsep
yang berhubungan dengan objek-objek fisik seperti manusia, pohon, warna,
bentuk, dan kuantitas. Indra-indra tak berkaitan dengan semua konsep-konsep
yang mungkin dimiliki dan diketahui oleh manusia, bahkan terdapat
realitas-realitas yang sama sekali tidak terdeteksi dan terjangkau oleh
indra-indra lahiriah dan hanya dapat dicapai oleh daya-daya pencerapan lain
yang ada pada diri manusia. Konsep-konsep atas realitas-realitas fisikal dan
material yang tercerap lewat indra-indra, yang walaupun secara tidak langsung,
berada di alam pikiran, namun juga tidak terwujud dalam akal dan pikiran kita
secara mandiri dan fitrawi. Melainkan setelah mendapatkan beberapa
konsepsi-konsepsi indrawi maka secara bertahap akan memperoleh
pemahaman-pemahaman yang lain. Awal mulanya pikiran manusia sama sekali tidak
mempunyai konsep-konsep sesuatu, dia seperti kerta putih yang hanya memiliki
potensi-potensi untuk menerima coretan, goresan, dan gambar. Dan aktivitas
persepsipikiran dimulai dari indra-indra lahiriah.
Mengapa jiwa yang tunggal itu sedemikian rupa mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam menyerap semua pengetahuan? Filosof Ilahi, Mulla Sadra, mengungkapkan bahwa keragaman pengetahuan dan makrifat yang dimiliki oleh manusia dikarenakan kejamakan indra-indra lahiriahnya. Mulla Sadra juga menambahkan bahwa aktivitas persepsi-persepsi manusia dimulai dari jalur indra-indra itu dan setiap pengetahuan dapat bersumber secara langsung dari indra-indra lahiriah atau setelah berkumpulnya konsepsi-konsepsi indrawi barulah pikiran itu dikondisikan untuk menggapai pengetahuan-pengetahuan lain. Jiwa itu secara esensial tak mempu menggambarkan objek-objek fisikal tanpa indra-indra tersebut
Mengapa jiwa yang tunggal itu sedemikian rupa mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam menyerap semua pengetahuan? Filosof Ilahi, Mulla Sadra, mengungkapkan bahwa keragaman pengetahuan dan makrifat yang dimiliki oleh manusia dikarenakan kejamakan indra-indra lahiriahnya. Mulla Sadra juga menambahkan bahwa aktivitas persepsi-persepsi manusia dimulai dari jalur indra-indra itu dan setiap pengetahuan dapat bersumber secara langsung dari indra-indra lahiriah atau setelah berkumpulnya konsepsi-konsepsi indrawi barulah pikiran itu dikondisikan untuk menggapai pengetahuan-pengetahuan lain. Jiwa itu secara esensial tak mempu menggambarkan objek-objek fisikal tanpa indra-indra tersebut
4.Wahyu
Sebagai manusia yang beragama pasti meyakini bahwa wahyu merupakan sumber ilmu, Karena diyakini bahwa wakyu itu bukanlah buatan manusia tetapi buatan Tuhan Yang Maha Esa
Sebagai manusia yang beragama pasti meyakini bahwa wahyu merupakan sumber ilmu, Karena diyakini bahwa wakyu itu bukanlah buatan manusia tetapi buatan Tuhan Yang Maha Esa
c.
Tingkatan
dan Kreteria Kebenaran
Kebenaran intelektual
yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan
bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri.
Ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di
satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran)
(Syafi’i dalam Mawardi). Poedjawiyatna (dikutip oleh Mawardi) mengatakan bahwa
persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran.
Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi
pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Dalam
kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam
kepribadian dan kesadarannya tak mungkin hidup tanpa kebenaran. Berdasarkan
scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
a) Tingkatan kebenaran indera adalah
tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang dialami manusia
b) Tingkatan ilmiah,
pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara, diolah pula
dengan rasio
c) Tingkatan filosofis, rasio dan pikir
murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran Itu semakin tinggi nilainya
d) Tingkatan religius, kebenaran mutlak
yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan
integritas dengan iman dan kepercayaan
e) Keempat tingkat kebenaran ini
berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses dan cara
terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang
dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu. Misalnya
pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca
indera.
d.
Teori
Kebenaran
Kebenaran
adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang
menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat
kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan
kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels
dan moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad
skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad moderen.Cara berfikir ilmiah
yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran
menuru corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan
moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang
telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini
harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah
lakunya.
3.
Metode
Ilmiah dan Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan
(knowledge) adalah sesuatu yang diketahui langsung dari pengalaman,
berdasarkan panca indra, dan diolah oleh akal budi secara spontan. Pada
intinya, pengetahuan bersifat spontan, subjektif dan intuitif. Pengetahuan
berkaitan erat dengan kebenaran, yaitu kesesuaian antara pengetahuan yang
dimiliki manusia dengan realitas yang ada pada objek.
Pengetahuan
dapat dibedakan menjadi pengetahuan non-ilmiah dan pengetahuan pra-ilmiah.
Pengetahuan non-ilmiah adalah hasil serapan indra terhadap pengalaman hidup
sehari-hari yang tidak perlu dan tidak mungkin diuji kebenarannya. Pengetahuan
non-ilmiah tidak dapat dikembangkan menjadi pengetahuan ilmiah. Misalnya
pengetahuan orang tertentu tentang jin atau makhluk halus di tempat tertentu,
keampuhan pusaka, dan lain-lain. Pengetahuan prailmiah adalah hasil serapan
indra dan pemikiran rasional yang terbuka terhadap pengujian lebih lanjut
menggunakan metode-metode ilmiah. Misalnya pengetahuan orang tentang manfaat
rebusan daun jambu biji untuk mengurangi gejala diare.
Ilmu
(sains) berasal dari Bahasa Latin scientia yang berarti knowledge.
Ilmu dipahami sebagai proses penyelidikan yang berdisiplin. Ilmu bertujuan
untuk meramalkan dan memahami gejala-gejala alam. Ilmu pengetahuan ialah
pengetahuan yang telah diolah kembali dan disusun secara metodis, sistematis,
konsisten dan koheren. Agar pengetahuan menjadi ilmu, maka pengetahuan tadi
harus dipilah (menjadi suatu bidang tertentu dari kenyataan) dan disusun secara
metodis, sistematis serta konsisten. Tujuannya agar pengalaman tadi bisa diungkapkan
kembali secara lebih jelas, rinci dan setepat-tepatnya.
Metodis
berarti dalam proses menemukan dan mengolah pengetahuan menggunakan metode
tertentu, tidak serampangan. Sistematis berarti dalam usaha menemukan kebenaran
dan menjabarkan pengetahuan yang diperoleh, menggunakan langkah-langkah
tertentu yang teratur dan terarah sehingga menjadi suatu keseluruhan yang
terpadu. Koheren berarti setiap bagian dari jabaran ilmu pengetahuan itu
merupakan rangkaian yang saling terkait dan berkesesuaian (konsisten).
Sedangkan suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran
suatu pengetahuan disebut penelitian (research). Usaha-usaha itu
dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.
Ilmu
pengetahuan atau pengetahuan ilmiah dapat dibedakan atas:
1. Ilmu Pengetahuan Fisis-Kuantitatif,
sering disebut pengetahuan empiris. Pengetahuan ini diperoleh melalui proses
observasi serta analisis atas data dan fenomena empiris. Termasuk dalam
kelompok ilmu ini adalah geologi, biologi, antropologi, sosiologi, dan
lain-lain.
2. Ilmu Pengetahuan Formal-Kualitatif,
sering disebut pengetahuan matematis. Ilmu ini diperoleh dengan cara analisis
refleksi dengan mencari hubungan antara konsep-konsep. Termasuk dalam kelompok
ilmu ini adalah logika formal, matematika, fisika, kimia, dan lain-lain.
3. Ilmu Pengetahuan
Metafisis-Substansial, sering disebut pengetahuan filsafat. Pengetahuan
filsafat diperoleh dengan cara analisis refleksi (pemahaman, penafsiran,
spekulasi, penilaian kritis, logis rasional) dengan mencari hakikat prinsip
yang melandasi keberadaan seluruh kenyataan.
a).
Pengertian Metode Ilmiah
Metode
Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi. Metode ini menggunakan langkah-langkah yang
sistematis, teratur dan terkontrol. Pelaksanaan metode ilmiah ini melalui
tahap-tahap berikut:
1. Merumuskan masalah. Masalah adalah
sesuatu yang harus diselesaikan, yang dapat muncul karena adanya pengamatan
dari suatu gejala-gejala yang ada di lingkungan.
2. Mengumpulkan keterangan, yaitu
segala informasi yang mengarah dan dekat pada pemecahan masalah. Sering disebut
juga mengkaji teori atau kajian pustaka.
3. Merumuskan hipotesis. Hipotesis
merupakan jawaban sementara yang disusun berdasarkan data atau keterangan yang
diperoleh selama observasi atau telaah pustaka.
4. Menguji hipotesis dengan melakukan
percobaan atau penelitian.
5. Menganalisis data (hasil) percobaan
untuk menghasilkan kesimpulan.
6. Penarikan kesimpulan. Penarikan
kesimpulan ini berdasarkan pada analisis data-data penelitian. Hasil penelitian
dengan metode ini adalah data yang objektif, tidak dipengaruhi subyektifitas
ilmuwan peneliti dan universal (dilakukan dimana saja dan oleh siapa saja akan
memberikan hasil yang sama).
7. Menguji kesimpulan. Untuk meyakinkan
kebenaran hipotesis melalui hasil percobaan perlu dilakukan uji ulang. Apabila
hasil uji senantiasa mendukung hipotesis maka hipotesis itu bisa menjadi kaidah
(hukum) dan bahkan menjadi teori.
Metode
ilmiah didasari oleh sikap ilmiah. Sikap ilmiah semestinya dimiliki oleh setiap
penelitian dan ilmuwan. Adapun sikap ilmiah yang dimaksud adalah :
1. Rasa ingin tahu
2. Jujur (menerima kenyataan hasil
penelitian dan tidak mengada-ada)
3. Objektif (sesuai fakta yang ada, dan
tidak dipengaruhi oleh perasaan pribadi)
4. Tekun (tidak putus asa)
5. Teliti (tidak ceroboh dan tidak
melakukan kesalahan)
6. Terbuka (mau menerima pendapat yang
benar dari orang lain)
b). Penelitian Ilmiah
Salah satu
hal yang penting dalam ilmu pengetahuan adalah penelitian (research).
Research berasal dari kata re yang berarti kembali dan search
yang berarti mencari, sehingga research atau penelitian dapat
didefinisikan sebagai suatu usaha untuk mengembangkan dan mengkaji kebenaran
suatu pengetahuan. Penelitian ilmiah didefinisikan sebagai rangkaian pengamatan
yang sambung menyambung, berakumulasi dan melahirkan teori-teori yang mampu
menjelaskan dan meramalkan fenomena-fenomena. Penelitian ilmiah sering
diasosiasikan dengan metode ilmiah sebagai tata cara sistimatis yang digunakan
untuk melakukan penelitian. Penelitian ilmiah juga menjadi salah satu cara
untuk menjelaskan gejala-gejala alam. Adanya penelitian ilmiah membuat ilmu
berkembang, karena hipotesis-hipotesis yang dihasilkan oleh penelitian ilmiah
seringkali mengalami retroduksi.
Suatu
penelitian harus memenuhi beberapa karakteristik untuk dapat dikatakan sebagai
penelitian ilmiah. Umumnya ada empat karakteristik penelitian ilmiah, yaitu :
1. Sistematik, yang berarti suatu
penelitian harus disusun dan dilaksanakan secara berurutan sesuai pola dan
kaidah yang benar, dari yang mudah dan sederhana sampai yang kompleks.
2. Logis. Suatu penelitian dikatakan
benar bila dapat diterima akal dan berdasarkan fakta empirik. Pencarian
kebenaran harus berlangsung menurut prosedur atau kaidah bekerjanya akal, yaitu
logika. Prosedur penalaran yang dipakai bisa prosedur induktif yaitu cara
berpikir untuk menarik kesimpulan umum dari berbagai kasus individual (khusus)
atau prosedur deduktif yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang
bersifat khusus dari pernyataan yang bersifat umum.
3. Empirik, artinya suatu penelitian
biasanya didasarkan pada pengalaman sehari-hari (fakta aposteriori, yaitu fakta
dari kesan indra) yang ditemukan atau melalui hasil coba-coba yang kemudian
diangkat sebagai hasil penelitian. Landasan penelitian empirik ada tiga yaitu :a).
Hal-hal empirik selalu memiliki persamaan dan perbedaan (ada penggolongan atau
perbandingan satu sama lain). b). Hal-hal empirik selalu berubah-ubah
sesuai dengan waktu. c). Hal-hal empirik tidak bisa secara kebetulan,
melainkan ada penyebabnya (ada hubungan sebab akibat).
4. Replikatif. Artinya suatu penelitian
yang pernah dilakukan harus diuji kembali oleh peneliti lain dan harus
memberikan hasil yang sama bila dilakukan dengan metode, kriteria, dan kondisi
yang sama. Agar bersifat replikatif, penyusunan definisi operasional variabel
menjadi langkah penting bagi seorang peneliti.
Sains,
suatu proses yang bekerja dengan metode ilmiah, telah banyak memperbaiki
pandangan-pandangan manusia. Salah satu keberhasilan itu adalah koreksi atas teori
generasi spontan yang telah ada sejak jaman pertengahan. Teori ini menganggap
bahwa makhluk hidup berasal dari makhluk tak hidup. Contohnya, katak muncul
dari lumpur, serangga dari sisa makanan, kain kotor yang ditaburi gandum dapat
memunculkan tikus, dan belatung berasal dari daging. Setelah bekerja keras
melalui penelitian yang panjang, Louis Pasteur, seorang ilmuwan kenamaan
Prancis, mengumumkan kesimpulannya yang menggugurkan teori generasi spontan
maupun teori evolusi Charles Robert Darwin.
4. Persfektif Islam tentang Sains dan
Teknologi
Kita
tak dapat menyangkal bahwa semua penemuan sains dan teknologi, serta rangkaian
kejadian alam semesta ini merupakan mata rantai yang berharga dalam Islam.
Islam telah menunjukan kemuliaan yang luar biasa, yang sekaligus menjadi
tonggak pemikiran bagi saintis modern untuk meneliti dan memahami misteri alam
ciptaan-Nya. Al-Qur'an al-karim ditinjau dari segi bahasanya adalah suatu
mu'jizat yang besar, disamping isinya pun (al-Qur'an) mengandung
mu'jizat-mu'jizat pencerahan ilmu pengetahuan dan dasar-dasar pengembangan
teknologi.
Dalam
kandungan al-Qur'an terdapat berita dan janji-janji Allah SWT mengenai masa
yang akan datang. Kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa depan adalah di
luar kekuasaan manusia untuk mengetahuinya. Di dalamnya terdapat pula
fakta-fakta ilmiah yang tidak mungkin diketahui manusia di tanah Arab pada
waktu al-Qur'an diwahyukan kepada Rasulullah saw.
Akan
tetapi, fakta-fakta tersebut dijelaskan dengan tepat dan sekarang diakui
kebenarannya, seperti pada masa itu, ilmu kedokteran di tanah Arab boleh
dikatakan tidak ada, yang ada hanya ilmu pengobatan secara primitif dan
takhyul. Namun demikian dalam surat al-Mu'minuun : 12-14 diterangkan tentang
proses pembentukan janin (manusia) yang diakui kebenarannya dalam ilmu
kedokteran modern.
Oleh
karena kecintaannya kepada al-Qur'an, ummat Islam di masa khalifah Ustman bin '
Affan mulai mengarang dan menterjemahkan bermacam-macam buku ilmu pengetahuan
tentang falsafah, kesenian, ekonomi, ilmu alam, ilmu kedokteran, ilmu
pertanian, ilmu mekanika, geografi, metafisika, kimia, dan lain sebagainya,
sehingga perpustakaan-perpustakaan Islam di kota-kota besar (Cairo dan Cordoba)
dipenuhi dengan buku-buku ilmiah.
Hal
ini sesuai dengan anjuran al-Qur'an seperti dalam surat Al-Alaq : 1-5 yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Ilmu memberikan pengertian tentang alam
dimana kita hidup. Sehubungan dengan kaidah ilmiah ini, Karl Jaspers pernah
menulis, bahwa "ilmu adalah usaha manusia untuk mendengarkan jawaban-jawaban
yang keluar dari dunia yang dihuninya". Oleh sebab itu, kemudian munculah
suatu pola pikir yang sama sekali berlawanan dengan rasionalisme, yang dikenal
dengan istilah emprisme, yang menganjurkan agar kita kembali ke alam semesta
untuk 'memperoleh' pengetahuan. Menurut mereka, pengetahun ini tidak ada secara
apriori di benak kita, melainkan harus diperoleh dari pengalaman batiniah.
Dewasa
ini, iman seorang muslim dihadapkan pada persoalan yang timbul dari kehidupan
modern, dipengaruhi oleh benturan gelombang budaya, peradaban sekuler dan
agnostic. Teknologi di samping asas manfaatnya yang luar biasa bagi kualitas
kehidupan ummat manusia juga bisa disalahgunakan seperti: narkotika, internet
dan sebagainya.
Dunia memerlukan
pribadi-pribadi muslim yang tangguh dan brillian seperti Al-Kindi, Ibnu Sina
atau Ibnu Rusta, dan pribadi-pribadi yang religius yang sekaligus memahami dan
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karenanya, kita wajib menguasai
sains dan teknologi (ilmu). Tanpa ilmu, manusia sering dan suka berdusta
terhadap yang lainnya, dengan maksud menyesatkan manusia lainnnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar