A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan
pada dasarnya merupakan suatu proses pengembangan potensi individu. Melalui
pendidikan, potensi yang dimiliki oleh individu akan diubah menjadi kompetensi.
Kompetensi mencerminkan kemampuan dan kecakapan individu dalam melakukan suatu
tugas atau pekerjaan. Tugas pendidik atau guru dalam hal ini adalah
memfasilitasi anak didik sebagai individu untuk dapat mengembangkan potensi
yang dimiliki menjadi kompetensi sesuai dengan cita-citanya. Program pendidikan
dan pembelajaran seperti yang berlangsung saat ini oleh karenanya harus lebih
diarahkan atau lebih berorientasi kepada individu peserta didik.
Kenyataan
menunjukkan bahwa program pendidikan yang berlangsung saat ini lebih banyak
dilaksanakan dengan cara membuat generalisasi terhadap potensi dan kemampuan
siswa. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman pendidik tentang
karakteristik individu. Muncul keluhan dari pendidik atau guru bahwa mereka
merasa bahwa menjelakan sejelas jelasnya tetapi ada saja anak didik yang tidak
dapat memhami pelajaran dengan baik. Setiap kali orang belajar pasti melibatkan
pikirannya dan didalam pikiran tersebut ada kecerdasan. Dalam kehidupan sehari-hari
kita bertemu dengan banyak
sekali orang-orang. Dari sekian banyak orang yang kita temui ada begitu
banyak perbedaan antara mereka. Sebagian orang ada yang begitu mudah
beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya
dan sebagian lagi tidak atau
kurang begitu mampu dan selalu menyalahkan keadaan. Perbedaan itulah yang kita
sebut dengan kecerdasan intelegensi.
Intelegensi
merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang
umum ini, terdapat
kemampuan-kemampuan yang
amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang
spesifik ini memberikan pada individu
suatu kondisi yang
memungkinkan tercapainya
pengetahuan, kecakapan, atau
keterampilan tertentu setelah
melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena
suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan
khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes intelegensi.
B. Rumusan Masalah
Terdapat
beberapa rumusan masalah, diantaranya:
1. Apa hakekat
intelegensi?
2. Apa
teori-teori intelegensi dari para ahli?
3. Bagaimana
pengukuran potensi intelegensi?
4. Apa
yang dimaksud dengan kecerdasan emosional?
5. Apa
yang dimaksud dengan kecerdasan spriritual?
6. Apa Peranan
Alam dan Lingkungan dalam Mempengaruhi Intelligence?
7. Bagaimana
Implementasi Multipe Intelegensi dalam Kurikulum?
8. Bagaimana
Pendekatan dan Implementasi Multiple
Intelegensi Dalam pembelajaran?
C. Tujuan Penyusunan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, dapat diuraikan tujuan penulisan makalah ini sebagai
berikut :
1. Untuk
mengetahui hakekat intelegensi
2. Untuk
mengetahui teori-teori intelegensi menurut para ahli
3. Untuk
mengetahui bagaimana cara pengukuran potensi intelegensi
4. Untuk
mengetahui mengenai kecerdasan emosional
5. Untuk
mengetahui mengenai kecerdasan spiritual
6. Untuk
mengetahui peranan alam dan lingkungan dalam mempengaruhi intelegence
7. Untuk
mengetahui implementasi multiple intelegensi dalam kurikulum
8. Untuk
mengetahui pendekatan dan implementasi multiple intelegensi dalam pembelajaran
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Intelegensi
Intelligere
adalah asal kata intelegensi yang biasa kita kenal, yang mengandung arti
menghubungkan atau menyatukan satu sama lain.Novelis Inggris abad ke-20 Aldous
Huxley mengatakan bahwa anak-anak itu hebat dalam hal rasa ingin tahu dan
intelegensinya. Apa yang dimaksud Huxley ketika ia menggunakan kata intelegensi
(intelligence)? Intelegensi adalah salah satu milik kita yang paling berharga,
tetapi bahkan orang yang paling cerdas sekalipun tidak sepakat tentang apa
intelegensi itu Para ahli mempunyai pengertian yang beragam tentang intelegensi
yaitu :
1. Anita
E. Woolfolk mengemukakan bahwa menurut teori-teori lama, intelegensi itu
meliputi tiga pengertian, yaitu (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan
pengetahuan yang diperoleh; (3) kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil
dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya Woolfolk
mengemukakan bahwa intelegensi itu merupakan satu atau beberapa kemampuan untuk
memperoleh dan menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan masalah dan beradaptasi
dengan lingkungan
2. Alfred
Binet, seorang tokoh utama perintis pengukuran intelegensi bersama Theodore
simon mendefinisikan intelegensi atas tiga komponen yaitu (a) kemampuan untuk
mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan; (b) kemampuan untuk mengubah
arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan dan (c) kemampuan untuk
mengkritik diri sendiri atau melakukan autocriticism.
3. David
Wechsler pencipta skala-skala intelegensi yang populer sampai saat ini,
mendefinisikan intelegensi sebagai kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang
untuk bertindak dalam tujuan tertentu, berfikir secara rasional, serta
mengahadapi lingkungannya dengan efektif.
3.
Beberapa
pakar mendeskripsikan intelegensi sebagai keahlian untuk memecahkan masalah
(problem-solving). Yang lainnya mendeskripsikannya sebagai kemampuan untuk
beradaptasi dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari. Dengan mengkombinasikan
ide-ide ini kita dapat menyusun definisi inteligensi yang cukup fair:keahlian
memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi pada, dan belajar dari,
pengalaman hidup sehari-hari. Tetapi, bahkan definisi yang luas ini tidak
memuaskan semua orang. Seperi yang akan anda lihat sebentar lagi, beberapa ahli
teori mengatakan bahwa keahlian bermusik harus dianggap sebagai bagian dari
intelegensi. Juga, sebuah definisi intelegensi yang didasarkan pada teori
seperti teori Vygotsky harus juga memasukkan factor kemampuan seseorang untuk
menggunakan alat kebudayaan dengan bantuan individu yang lebih ahli. Karena
intelegensi adalah konsep yang abstrak dan luas, maka tidak mengherankan jika
ada banyak definisi. Jadi menurut Santrock (2008) intelegensi (kecerdasan)
adalah keterampilan menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi dan
belajar dari pengalaman hidup sehari-hari
Wilhelm
Stern melihat, titik berat definisi intelegensi terletak pada kemampuan
penyesuaian diri
B. Teori-teori Intelegensi
Diantara
bebrapa uraian ringkas mengenai teori intelegensi beserta tokohnya
masing-masing sebagai berikut:
1. Alfred
Binet mengatakan bahwa intelegensi bersifat monogenetik yaitu berkembang dari
suatu faktor satuan. Menurutnya intelegensi merupakan sisa tunggal dari
karekteristik yang terus berkembang sejalan dengan proses kematangan seseorang.
2. Edward
Lee Thorndike, teori Thorndike menyatakan bahwa intelegensi terdiri dari
berbagai kemampuan spesifik yang ditampikan dalam wujud perilaku intelegensi.
3. Robert
J. Sternberg, teori ini menytikberatkan pada kesatuan dari berbagai aspek
intelegensi sehingga teorinya teorinya lebih berorientasi pada proses. Teori
ini disebut juga dengan Teori Intelegensi Triarchic. Teori ini berusaha
menjelaskan secara terpadu hubungan antara:
a. Intelegensi
dan dunia internal seseorang
b. Intelegensi
dan dunia eksternal seseorang
c. Intelegensi
dan pengalaman
4. Menurut
Gardner , paling tidak ada delapan inteligensi yang terpisah : linguistic
(erbal), musical, spasial, logis –matematis, jasmaniah-kinestetik(gerakan),
interpersonal (memahami orang lain), intrapersonal(memahami diri sendiri), dan
naturalis (mengamati dan memahami pola dan sistem-sistem alamiah dan buatan
manusia).
5. Pandangan
lainnya adalah teori Raymond Cartell dan John Horn tentang:
·
Fluid intelligence (inteligensi cair) adalah
efisiensi mental yang pada dasarnya bebas budaya dan nonverbal.
·
Aspek Crystalized intelligence (intelligensi
terkristalisasi), kemampuan untuk menerapkan metode-metode pengatasan-masalah
yang diterima secara cultural, dapat meningkatkan, fakta-fakta, memanggil
taksi, membuat quilt(potongan-potongan) yang kainnya disambung-sambung dengan
pola tertentu untuk sarung bantal, selimut, dan lain-lain), atau kuliah di
perguruan tinggi. [1]
Adapun dalam memahami hakikat
intelegensi, Maloney dan Ward (1976) mengemukakakn empat pendekatan umum,
yaitu.
·
Pendekatan Teori Belajar
Inti pendekatan ini mengenai masalah
hakikat intelegensi terletak pada pemahaman mengenai hukum-hukum dan prinsip
umum yang dipergunakan individu untuk memperoleh bentuk-bentuk perilaku baru.
·
Pendekatan Neurobiologis
Pendekatan ini beranggapan bahwa
intelegensi memiliki dasar anatomis dan biologis. Perilaku intelegensi menurut
pendekatan ini dapat ditelusuri dasar-dasar neuro-anatomis dan neuro-fisiologisnya.
·
Pendekatan Psikomotorik
Pendekatan ini beranggapan bahwa
intelegensi merupakan suatu konstrak atau sifat psikologis yang berbeda-beda
kadarnya bagi setiap dua arah study, yaitu.
a. Bersifat
praktis yang menekankan pada pemecahan masalah
b. Bersifat
teoritis yang menekankan pada konsep dan penyusunan teori
·
Pendekatan Teori Perkembangan
Dalam pendekatan ini, studi intelegensi
dipusatkan pada masalah perkembangan intelegensi secara kuantitatif dalam
kaitannya dengan tahap-tahap perkembangan biologis individu.
C. Faktor-Faktor dalam Intelegensi
Dalam intelgensi akan ditemukan
faktor-faktor tertentu yang para ahli sendiri belum terdapat pendapata yang
sama seratus persen. Berikut ini beberapa pendapat para ahli mengenai
faktor-faktor dalam intelegensi
1. Thorndike
dengan Teori Multi-Faktor
Teori ini menyatakan bahwa intelegensi
itu tersusun dari beberapa factor yang terdiri dari elemen-elemen, tiap elemen
terdiri dari atom-atom, dan tiap atom itu terdiri dari stimulus-respon. Jadi,
suatu aktivitas adalah merupakan kumpulan dari atom-atom aktivitas yang
berkombinasi satu dengan yang lainnya.
2.
Spearman
Menurut Spearman intelegensi mengandung
2 macam faktor, yaitu
a. General
ability atau general faktor (faktor G)
Faktor ini terdapat pada semua individu,
tetapi berbeda satu dengan yang lainnya. Faktor ini selalu didapati dalam semua
“performance”.
b. Special
ability atau special faktor (faktor S)
Faktor ini merupakan faktor yang khusus
mengenai bidang tertentu. Dengan demikian, maka jumlah faktor ini banyak, misalnya
ada S1, S2, S3, dan sebagainya sehingga kalau pada seseorang faktor S
dalambidang tertentu dominan, maka orang itu akan menonjol dalam bidang
tersebut.
Menurut Spearman tiap-tiap “performance”
adanya faktor G dan faktor S, atau dapat dirumuskan. P=G+S
3. Burt
Menurut Burt dalam intelegensi terdapat
3 faktor
a.
Special ability atau special faktor (faktor
S)
b.
General ability atau general faktor (faktor
G)
c.
Common ability atau common faktor disebut
juga group factor (faktor C)
Faktor ini merupakan
sesuatu kelompok kemampuan tertentu seperti kemampuan kelompok dalam bidang
bahasa. Sehingga rumus “performance” menjadi P=G+S+C
4. Thurstone
Thurnstone mempunyai pandangan
tersendiri. Dia berpendapat bahwa dalam intelegensi terdapat faktor-faktor primer
yang merupakan “group faktor”, yaitu
a. Spatial
relation (S)
Kemampuan untuk melihat gambar tiga
dimensi
b. Perceptual
speed (P)
Kecepatan dan ketepatan dalam
mempertimbangkan kesamaan dan perbedaan atau dalam merespon detil-detil visual.
c. Verbal
comprehension (V)
Kemampuan memahami bacaan, kosakata,
analogi verbal, dan sebagainya.
d. Word
fluency (W)
Kecepatan dalam menghubug-hubngkan kata
dengan berbagai rima dan intonasi.
e. Number
facility (N)
Kecepatan ketepatan dalam perhitungan
f. Associative memory (M)
Kemampuan menggunakan memori untuk
menghubungkan berbagi assosiasi.
g. Induction
(I)
Kemampuan untuk menarik suatu kesimpulan
suatu prinsip atau tugas.
Menurutnya
faktor-faktor tesebut berkombinasi sehingga menghasilkan tindakan atau
perbuatan yang intelegen[2].
D. Pengukuran Potensi Intelegensi
Pengukuran
adalah suatu prosedur pemberian angka (kuantifikasi) terhadap atribut atau
variabel sepanjang suatu kontinum. Dalam pengukuran terdapat dua kontinum,
yakni kontinum fisik yaitu berbagai kontinum seperti kontinum berat, kontinum
kecepatan, kontinum tinggi, dan semacamnya, dihasilkan oleh pengukuran yang
menggunakan skala fisik, dan kontinum
psikologis yaitu berbagai atribut fisik dan atribut psikologis yang dapat di
ukur dengan menggunakan skala psikologis dan hasilnya dapat disajikan dalam
suatu kontinum (saifuddin,2008).
Secara
operasional, pengukuran merupakan suatu prosedur perbandingan antara atribut
yang hendak diukur dengan alat ukurnya. Karakteristik pengukuran adalah
(saifuddin,2008):
Merupakan
perbandingan antara atribut yang diukur dengan alat ukurnya. Artinya, apa yang
diukur adalah atribut atau dimensi dari sesuatu, bukan sesuatu itu sendiri.
Hasilnya
dikatakan secara kuantitatif. Kuantitatif berarti berwujud angka. Suatu proses
pengukuran akan dinyatakan selesai apabila hasilnya telah diwujudkan dalam
bentuk angka yang biasanya –dalam pengukuran fisik disertai oleh satuan ukurnya
yang sesuai. Dan begitupula dalam pengukuran aspek nonfisik atau aspek
psikologis akan kita temui hasil pengukuran yang berupa angka.
Hasilnya
bersifat deskriptif. Artinya, hanya sebatas memberikan angka yang tidak
diinterpretasikan lebih jauh.
Dalam
interpretasi terhadap hasil pengukuran hanya dapat bersifat evaluatif apabila
disandarkan pada suatu norma atau suatu kriteria. Norrma berarti rata-rata,
yaitu harga rata-rata bagi suatu kelompok subjek. Karena hasil tes psikologi
seringkali tidak memiliki satuan ukur maka perlu dinyatakan secara normatif.
Dan dalam tingkat hasil pengukuran, memiliki tiga skala pengukuran (saifuddin,
2008).
Hasil
pengukuran akan berada pada salah satu tingkat pengukuran (level of
measurement) menurut kompleksitasnya. Suatu angka hasil pengukuran disebut
berada pada tingkat nominal atau berskala nominal apabila angka tersebut
berfungsi untuk identifikasi, yaitu
membedakan antara satu objek dengan subjek yang lain. Dan selain untuk
identifikasi, angka dapat dikatakan berada pada level nominal apabila digunakan
untuk klasifikasi atau kategorisasi. Pengubahan angka yang tidak mengubah
fungsi identifikasi dan kategorisasi objek disebut transformasi isomorfik.
Suatu
hasil pengukuran disebut berada pada level ordinal kalau angkanya berfungsi
menunjukkan adanya penjenjangan kualitatif. Adapun angka boleh berubah namun
urutan objek masih tetap dinamai transformasi monotonik. Dan Ketiga, hasil ukur
berskala interval adalah hasil pengukuran ordinal yang memiliki jarak antar
jenjang yang tetap selalu sama. Skala ini pun tidak memiliki harga O mutlak
sehingga kita tidak dapat mengatakan bahwa 6 adalah dua kali 3.
Wilayah
pengukuran psikologis, digolong-golongkan menurut cara tertentu. Terdapat
penggolongan berbagai atribut psikologis menjadi empat kelompok, yaitu :
(1)
kepribadian,
(2)
intelegensi,
(3)
hasil belajar, dan
(4)
hasil belajar.
Dan
berdasarkan penggolongan tersebut maka tes psikologi digolongkan menjadi empat,
yaitu :
(1)
tes kepribadian,
(2)
tes intelegensi,
(3)
tes potensi intelektual, dan
(4)
tes hasil belajar.
Terdapat
beberapa kontribusi yang mempengaruhi dalam perkembangan upaya pengukuran
psikologis,
1. Pertama,
kontribusi psikofisika yang dianggap suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari
hubungan kuantitatif antara kejadian-kejadian fisik dan kejadian-kejadian
psikologis.
2. Kedua,
kontribusi francis galton yang merintis penerapan metode “rating” dan
kuesioner.
3. ketiga,
kontribusi lainnya yaitu upaya mengembangkan metode statistik guna menganalisis
data mengenai perbedaan individual. awal gerakan testing psikologis yang
memiliki kontribusi penting adalah seorang ahli psikologis amerika, yaitu James
McKeen Cattelyang memperkenalkan istilah “mental test” yang selanjutnya banyak
digunakan dan menjadi populer.
4. Empat,
binet dan tes intelegensi memiliki kontribusi menghasilkan skala yang terkenal
dengan nama skala 1905.
5. Kelima,
Testing kelompok dikembangkan karena kebutuhan yang mendesak. Tes yang
dikembangkan oleh ahli psikologi dalam militer itu kemudian terkenal dengan
nama Army Alpha dan Army Beta.
6. Enam,
pengukuran potensi intelektual yang dirancang untuk mencakup fungsi intelektual
yang luas ragamnya guna mengistemasikan taraf intelektual umum individu, namun
seraya nyata bahwa liputan tes intelegensi itu sangat tebatas. Tujuh tes hasil
belajar, yang dikembangkan para ahli psikologi dengan mengembangkan tes
intelegensi dan tes potensi intelektual khusus. Delapan, tes projektif dikembangkan
oleh kelompok psikiater dan psikolog untuk mengungkapkan isi batin yang tidak
disadari.
Macam-macam
tes intelgensi :
1. Stanford-Binet
Intelligence Scale
Revisi terhadap Skala Stanford-Binet yang
diterbitkan pada tahun 1972, yaitu norma penilaiannya yang diperbaharui.
Tes-tes dalam skala ini dikelompokkan menurut berbgai level usia mulai dari
Usia II sampai dengan Usia Dewasa-Superior. Dalam masing-masing tes untuk
setiap level usia terisi soal-soal dengan taraf kesukaran yang tidak jauh
berbeda. Bagi setiap level usia terdapat pula tes pengganti yang setara,
sehingga apabila suatu tes pada level usia tertentu tidak dapat digunakan
karena sesuatu hal maka tes penggantipun dapat dimanfaatkan
Skala Stanford-Binet dikenakan secara
individual dan soal-soalnya diberikan secara lisan oleh pemberi tes. Oleh
karena itu pemberi tes haruslah orang yang mempunyai latar belakang pendidikan
yang cukup di bidang psikologi, sangat terlatih dalam penyajian tesnya, dan
mengenal betul isi berbagai tes dalam skala tersebut. Skala ini tidak cocok
untuk dikenakan pada orang dewasa, karena level tersebut merupakan level
intelektual dan dimaksudkan hanya sebagai batas-batas usia mental yang mungkin
dicapai oleh anak-anak.
Versi terbaru skala Stanford-Binet diterbitkan
pada tahun 1986. Dalam revisi terakhir ini konsep inteligensi dikelompokkan
menjadi empat tipe penalaran yang masing-masing diwakili oleh beberapa tes.
Yaitu penalaran verbal, penalaran kuantitatif, penalaran visual abstrak,
memori jangka pendek.
Revisi skala Binet
Dilakukan pertama kali di tahun 1916.
Perubahan benar-benar dilakukan sehingga menampilkan suatu tes baru. Untuk
pertama kalinya digunakan istilah IQ. Revisi kedua di tahun 1937. Skala
diperluas dan distandardisasi ulang berdasar sampel masyarakat AS. Revisi
ketiga dilakukan di tahun 1960, menyediakan satu bentuk tunggal yang memuat
soal-soal terbaik dari bentuk 1937. Di tahun 1972, tes ini di-restandardisasi.
Penyelenggaraan tes dan Penentuan Skor
menggunakan buku-buku kecil berisi kartu-kartu tercetak untuk presentasi,
flip-over soal tes, objek tes misal : balok, manik, papan bentuk, sebuah gambar
besar boneka yang uniseks dan multietnik, buku kecil untuk tester, serta
pedoman penyelenggaraan dan pen-skoran skala.
Dalam penyelenggaraan tes Stanford-Binet, kita
membutuhkan penguji yang amat terlatih. Ragu-ragu dan gugup bisa
menghancurkan rapport, apalagi jika peserta tes masih muda.
2. David Wechsler
Memperkenalkan versi pertama tes inteligensi
yang dirancang khusus untuk digunakan bagi orang dewasa. Terbit pada tahun 1939
dan dinamai Wechsler-Bellevue Intelligence Scale (WBIS), disebut juga skala
W-B.
Pada tahun 1949 Wechsler menerbitkan pula
skala inteligensi untuk digunakan pada anak-anak yang dikembangkan berdasar isi
skala W-B. Skala ini diberi nama Wechsler Intelligence Scale for Children
(WISC). Isinya terdiri dari dua sub bagian Verbal (V) dan sub bagian
Performance (P).
Pada tahun 1974 suatu revisi terhadap tes WISC
dilakukan kembali dengan nama WISC-R (R adalah revised). Di tahun 1955,
Wechsler menyusun sakala lain untuk orang dewasa dengan memperluas isi tes
WISC. Skala ini bernama Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS). Revisi
terhadap WAIS telah dilakukan dan diterbitkan pada tahun 1981 dengan nama
WAIS-R.
3. The Wechsler
Inteligence Scale for Children-Revised (WISC-R)
Skala Wechsler pertama terbit tahun 1939. Ada
tiga macam skala Wechsler:
a. WISC (Wechsler
Intelligence Scale for Children) di tahun 1949. Banyak soal diambil
langsung dari tes orang dewasa. WISC third edition untuk usia 6-16 tahun
11 bulan.
b. WAIS (Wechsler Adult
Intelligence Scale) di tahun 1955. Untuk usia 16-74 tahun.
c. WPPS (“Wechsler
Prerschool and Primary Scale” of Intelligence-Revised) tahun 1989. Tes ini
untuk rentang usia 3-7 tahun 3 bulan.
Revisi skala WISC yang dinamai WISC-R
diterbitkan tahun 1974 dan dimaksudkan untuk mengukur inteligensi anak-anak
usia 6 sampai dengan 16 tahun. WISC-R terdiri atas 12 subtes yang dua
diantaranya digunakan hanya sebagai persediaan apabila diperlukan penggantian
subtes.
Kekurangan skala Wechsler : kurangnya
pendasaran teoritis yang menyulitkan penemuan basis interpretasi yang koheren.
Selain itu juga komposisi skala-skala ini tampak menganggap bahwa domain
kemampuan yang dipilih oleh subtesnya dalam semua tingkat umur sama.
Skala Verbal :
|
Skala Performansi :
|
· Information (Informasi)
· Comprehension (Pemahaman)
· Arithmetic (Hitungan)
· Similarities (Kesamaan)
· Vocabulary (Kosakata)
· Digit Span (Rentang Angka)
|
· Picture Completion (Kelengkapan Gambar)
· Picture Arrangement (Susunan Gambar)
· Block Design (Rancangan Balok)
· Object Assembly (Perakitan Objek)
· Coding (Sandi)
· Mazes (Taman Sesat)
|
Pemberian
skor pada subtes WISC-R didasarkan atas kebenaran jawaban dan waktu yang
diperlukan oleh subjek dalam memberikan jawaban yang benar tersebut. Skor
tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk angka standar melalui table
norma sehingga akhirnya diperoleh satu angka IQ-deviasi untuk skala verbal,
satu angka IQ-deviasi untuk keseluruhan skala.
4. The Wechsler Adult
Intelligence Scale-Revised (WAIS-R)
WAIS-R
terdiri dari skala verbal dan skala performansi. Skala Verbal terdiri dari:
a. Informasi
Berisi 29 pertanyaan
mengenai pengetahuan umum yang dianggap dapat diperoleh oleh setiap orang dari
lingkungan sosial dan budaya sehari-hari dimana ia berada.
b. Rentang Angka
Berupa rangkaian angka
antara 3 sampai 9 angka yang disebutkan secara lisan dan subjek diminta untuk
mengulangnya dengan urutan yang benar.
c. Kosa Kata
Berisi 40 kata-kata
yang disajikan dari yang paling mudah didefinisikan sampai kepada yang paling
sulit.
d. Hitungan
Berupa problem
hitungan yang setaraf dengan soal hitungan di sekolah dasar.
e. Pemahaman
Isi subtes ini
dirancang untuk mengungkap pemahaman umum.
f. Kesamaan
Berupa 13 soal yang
menghendaki subjek untuk menyatakan pada hal apakah dua benda memiliki
kesamaan.
Skala performansi
antara lain :
a.
Kelengkapan Gambar
Subjek diminta
menyebutkan bagian yang hilang dari gambar dalam kartu yang jumlahnya 21 kartu.
b. Susunan Gambar
Berupa delapan seri
gambar yang masing-masing terdiri dari beberapa kartu yang disajikan dalam
urutan yang tidak teratur.
c. Rancangan Balok
Terdiri atas suatu
seri pola yang masing-masing tersusun atas pola merah-putih. Setiap macam pola
diberikan di atas kartu sebagai soal.
d. Perakitan Objek
Terdiri dari
potongan-potongan langkap bentuk benda yang dikenal sehari-hariyang disajikan
dalam susunan tertentu.
e. Simbol Angka
Berupa Sembilan angka
yang masing-masing mempunyai simbolnya sendiri-sendiri. Subjek diminta menulis
symbol untuk masing-masing angka di bawah deretan angka yang tersedia sebanyak
yang dapat dia lakukan selama 90 detik.
5. WPPSI-R
Yaitu
Wechsler Preschool and Primary Scale. Untuk usia 3 tahun sampai 7 tahun 3
bulan.
6. Advance Progressive
Matrices (APM)
Disusun
oleh J.C Raven pada tahun 1943
a. Bentuk yang tersedia
Tes APM terdiri dari 2
set dan bentuknya non-verbal. Set 1 disajikan dalam buku tes yang berisikan 12
butir soal. Set II berisikan 36 butir soal tes.
b. Aspek yang diukur
Tes APM dimaksudkan
untuk mengungkap kemampuam efisiensi intelektual. Tes APM ini sesungguhnya
untuk membedakan secara jelas antara individu-individu yang berkemampuan
intelektual lebih dari normal bahkan yang berkemampuan intelektual superior.
c. Tujuan
Untuk mengatur tingkat
intelegensi, di samping untuk tujuan analisis klinis.
7. Colours Progressive
Matrices (CPM)
Bentuk
tes CPM ada dua macam yaitu berbentuk cetakan buku dan yang lainnya berbentuk
papan dan gamabr-gambarnya tidak berbeda dengan yang di buku cetak. Materi tes
terdiri dari 36 item/gambar. Item ini dikelompokkan menjadi 3 kelompok atau 3
set yaitu set A, set AB dan set B. item disusun bertingkat dari item yang mudah
ke item yang sukar. Tiap item terdiri dari sebuah gambar besar yang berlubang
dan dibawahnya terdapat 6 gambar penutup. Tugas testi adalah memilih salah satu
diantara gambar ini yang tepat untuk menutupi kekosongan pada gambar besar.
Pada dasarnya kedua bentuk tersebut dalam pelaksanaan tes memberikan hasil yang
sama. (Raven, 1974). Kedua bentuk tes CPM dicetak berwarna, dimaksudkan untuk
menarik dan memikat perhatian anak-anak kecil. (Raven, 1974)
a. Aspek yang diukur
Raven berpendapat
bahwa tes CPM dimaksudkan untuk mengungkap aspek:
1. berpikir logis
2. kecakapan pengamatan
ruang
3. kemampuan untuk
mencari dan mengerti hubungan antara keseluruhan dan bagian-bagian, jadi
termasuk kemampuan analisa dan kemampuan integrasi
4. kemapuan berpikir
secara analogi.
b. Tujuan
Tes
CPM dapat digunakan untuk mengungkap taraf kecerdasan bagi anak-anak yang
berusia 5 samapai 1 tahun. Di samping itu juga digunakan untuk orang-orang yang
lanjut usia dan bahkan utnuk anak-anak defective
8. Culture Fair
Intelligence Test (CFIT), Scale 2 and 3 From A and From B
a. Bentuk yang tersedia
Buku soal dan lembar
jawaban yang terpisah.
b. Aspek yang diukur
Tes ini mengukur
factor kemampuan mental umum (g-factor)
c. Tujuan
Tes ini dipergunakan
untuk keperluan yang berkaitan dengan factor kemampuan mental umum atau
kecerdasan. Skala 2 untuk anak-anak usia 8-14 tahun dan untuk orang dewasa yang
memiliki kecerdasan di bawah normal. Skala 3 untuk usia sekolah lanjutan atas
dan orang dewasa dengan kecerdasan tinggi.
9. The Standard
Progressive Matrices (SPM)
Merupakan salah
satu contoh bentuk skala inteligensi yang dapat diberikan secara individual
ataupun kelompok. Skala ini dirancang oleh J.C. Raven dan terbit pada tahun
1960.
SPM
merupakan tes yang bersifat nonverbal, artinya materi soal-soalnya diberikan
tidak dalam bentuk tulisan ataupun bacaan melainkan dalam bentuk gambar-gambar.
Raven sendiri menyebut skala ini sebagai tes kejelasan pengamatan dan kejelasan
berfikir, bukan tes inteligensi umum.
SPM
tidak memberikan suatu angka IQ akan tetapi menyatakan hasilnya dalam tingkat
atau level intelektualitas dalam beberapa kategori, menurut besarnya skor dan
usia subjek yang dites, yaitu:
Grade
I : Kapasitas
intelektual Superior.
Grade
II : Kapasitas
intelektual Di atas rata-rata
Grade
III : Kapasitas
intelektual Rata-rata.
Grade
IV : Kapasitas
intelektual Di bawah rata-rata.
Grade
V : Kapasitas
intelektual Terhambat.
10. The Kauffman Assesment
Battery for Children (K-ABC)
Kumpulan
tes ini menghasilkan empat skor global : Pemrosesan Berurutan, Simultan, Komposit, dan Pemrosesan
Mental. Pemrosesan Simultan dipresentasikan tujuh subtes sementara
Pemrosesan Berurutan dipresentasikan oleh tiga subtes. K-ABC dimaksudkan untuk
mengakomodasi kebutuhan pengetesan bagi kelompok-kelompok khusus, seperti
anak-anak cacat dan anak-anak dari kelompok minoritas kultural dan bahasa, dan
untuk membantu diagnosis ketidakmampuan belajar.
Terfokus
pada pengolahan informasi. K-ABC merupakan rangkaian tes yang relatif baru yang
diperuntukkan bagi anak-anak usia 2,5 sampai 12,5 tahun. Tes ini diciptakan
oleh Alan S. Kaufman dan Nadeen L. Kaufman dari University of Alabama. Karena
kurang mengandalkan kemampuan verbal, K-ABC bisa merupakan pengukuran pilihan
untuk anak-anak yang kemahiran bahasa inggrisnya terbatas atau pendengarannya
rusak.
11. Kaufman Addolesent And
Adult Inteligence Test (KAIT)
Tes
ini dirancang untuk usia 11 hingga 85 tahun atau lebih. Tes ini menampilkan
upaya untuk mengintegrasikan teori tentang inteligensi cair dan kristal. Skala
yang dikristalisasikan mengukur konsep-konsep yang didapat dari proses sekolah
dan akulturasi. Skala cairan mengukur kemampuan untuk menyelesaikan
problem-problem baru. Soal-soal dalam tes ini cenderung menuntut semacam
penyelesaian masalah dari pikiran operasional formal Piaget dan fungsi-fungsi
evaluatif perencanaan yang menjadi ciri pemikiran orang dewasa.
12. Kaufman Brief
Inteligence Test (K-BIT)
Tes
ini mencakup usia 4 hingga 90 tahun. Tes ini dirancang sebagai instrumen
penyaringan yang cepat untuk memperkirakan tingkat fungsi intelektual.
- Kecerdasan Emosional
Teori tentang
kecerdasan emosi dikembangkan pertama kali tahun 1980-an oleh beberapa psikolog
dari Amerika Serikat: Howard Gardner, Peter Salovey dan John Mayer dan menjadi
terkenal saat Daniel Goleman, psikolog dari Harvard University, menulis buku
Emotional Intelligence tahun 1995.
Kecerdasan
emosional dapat dikembangkan sejak usia dini. Konon anak yang punya EQ tinggi memiliki kepribadian yang disukai,
lebih mudah bergaul dan lebih sehat jasmaninya berkat kemampuannya mengontrol
emosi.
5 Wilayah Kecerdasan Emosi (Menurut
Goleman)
a. Kemampuan Mengenali Emosi Diri: anak
kenal perasaannya sendiri sewaktu emosi itu muncul. Seseorang yang mampu
mengenali emosinya akan memiliki kepekaan yang tajam atas perasaan yang muncul
seperti senang, bahagia, sedih, marah, benci dan sebagainya.
b. Kemampuan Mengelola Emosi: anak
mampu mengendalikan perasaannya sehingga emosinya tidak meledak-ledak yang
akibatnya memengaruhi perilakunya secara salah. Meski sedang marah, orang yang
mampu mengelola emosinya akan mengendalikan kemarahannya dengan baik, tidak
teriak-teriak atau bicara kasar, misalnya.
c. Kemampuan Memotivasi Diri: anak
dapat memberikan semangat pada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik
dan bermanfaat. Ia punya harapan dan optimisme yang tinggi sehingga memiliki
semangat untuk melakukan suatu aktivitas.
d. Kemampuan Mengenali Emosi Orang
Lain: balita bisa mengerti perasaan dan kebutuhan orang lain, sehingga orang
lain merasa senang dan dimengerti perasaannya. Kemampuan ini sering juga
disebut sebagai kemampuan berempati. Orang yang memiliki empati cenderung
disukai orang lain.
e.
Kemampuan
Membina Hubungan: anak sanggup mengelola emosi
orang lain sehingga tercipta
keterampilan sosial yang tinggi dan membuat pergaulan seseorang lebih luas.
Anak-anak dengan kemampuan ini cenderung punya banyak teman, pandai bergaul
dan populer.
Kemudian, Salovey
dan Mayer (Lenaghan, Buda, dan Eisner, 2007), mengungkapkan empat aspek
kecerdasan emosi, yaitu:
a. Perception (persepsi), yaitu
kemampuan untuk memahami emosi diri sendiri dan dapat mengekspresikan kebutuhan
emosionalnya.
b. Assimilation (asimilasi), adalah
suatu kemampuan untuk membedakan antara emosi-emosi yang berbeda, yang individu
rasakan dan memilih mana di antara emosi-emosi tersebut yang dapat mempengaruhi
proses berpikir.
c. Understanding (pemahaman), yaitu
kemampuan individu untuk memahami emosi-emosi yang kompleks seperti perasaan
bersama dari kesetiaan dan pengkhianatan. Understanding adalah kemampuan untuk
membedakan emosi-emosi yang muncul dari persepsi, pentingnya mengatasi respon
emosi negatif, termasuk kemampuan untuk memahami ekspresi emosional dan tingkah
laku lainnya.
d. Management (pengelolaan), yaitu
kemampuan individu untuk menghubungkan atau tidak menghubungkan emosi-emosi,
tergantung kegunaannya pada situasi yang dihadapi.
Henry R Meyer, melihat tiga
komponen penting kecerdasan emosional, yakni relasi bisnis, hubungan CEO dengan
karyawan dan hubungan keluarga sang CEO. Dari sini sudah nampak arahnya, bahwa
kecerdasan emosional tidak lain dimaksudkan untuk pengembangan kepribadian
seseorang sebagai pemimpin yang rasional, modern dan humanis. Seorang CEO yang
memiliki kecerdasan emosional berarti memiliki enam langkah, yakni pengakuan
diri, niat yang teguh untuk berubah, jangka waktu dan disiplin, transformasi,
pemantauan periodik terhadap diri sendiri, gaya manajemen yang cerdas secara
emosional.
Modal kecerdasan emosional ini
penting, sebab posisi CEO di era liberal saat ini sangat sentral. Sentralisme
ini bukan karena kekuasaan modalnya, melainkan karena tuntutan merespons arus
perubahan eksternal dalam dunia bisnis yang sedang berlangsung. Liberalisasi
telah meningkatkan aktivitas kerja namun miskin produktivitas. Dampak lain
misalnya, memudarnya hubungan antara antasan dengan bawahan, rasionalitas kaum
pekerja dan efektivitas kerja teknologi. Melihat kondisi ini, sudah seyogianya
CEO harus benar-benar mampu mengendalikan gerak kerja perusahaan secara
efektif. Dalam kondisi seperti itu, seorang CEO tidak bisa bertingkah dan
menerapkan pola kebijakan semau-gue; tukang kritik, menekan bawahan atas nama
jabatan, menerapkan kebijakan non-transparan (irasional), mengontrol secara
kaku, gemar mencari kelemahan pekerja, membuat aturan tanpa melibatkan
karyawan.
Jika masih ada bos berkarakter
seperti itu, Henry memprediksi, perusahaan akan mengalami involusi, bahkan
menuju jurang kebangkrutan. CEO harus benar-benar menempatkan organisasi yang
berpandangan jauh ke depan. Katanya, “Seseorang bisa saja memiliki visi, target
atau sasaran, tetapi dia masih saja memiliki cara berpikir model lama, terutama
dalam kaitannya dengan relasi bos-bawahan, di mana motivasi dan pemberdayaan
saja tidak ada. Ini mereduksi sukses peluang Anda. Pengetahuan tentang
kecerdasan emosional, dalam pandangan Henry, memberikan kepada seseorang sebuah
garis kompetitif dalam bisnis dan bidang aktivitas lainnya. “Kata-kata dapat
menggerakkan gunung jika difungsikan secara efisien dan efektif “. Di sini
Henry sangat menekankan kepercayaan. Sebab jika seorang CEO tidak dipercaya,
dipastikan para karyawan hanya menjalankan tugasnya sebagai bentuk
keterpaksaaan dirinya sebagai pekerja yang membutuhkan uang, bukan karena
kultur produktif.
Harus diakui pula bahwa seorang
CEO sering punya musuh dalam selimut tanpa menyadarinya, dan karenanya menjadi
cerdas secara emosional membuat perbedaan besar dalam hal ini. Dalam kecerdasan
emosional, kata Henry, seorang pemimpin dituntut harus marah, tapi ia tidak
berhak untuk menjadi kejam dan bengis. Pujian adalah obat yang menakjubkan;
empati adalah sebuah terapi yang murah.
Perusahaan yang memiliki CEO
yang bekerja berdasar pada kecerdasan emosional bisa dilihat dari empat
karakter berikut ini, 1) Manajemen dengan motivasi, nilai perusahaan dan
pemberdayaan. 2) Manajemen dengan inovasi, teladan dan sasaran. 3) Manajemen
dengan kerja tim dan strategi. 4) Manajemen dengan konsultasi dan kolaborasi.
Perusahaan yang dipimpin CEO
hebat berbasis kecerdasan emosional bak kampus yang humanis sebab dalam
keseharian kerja, perusahaan menekankan rasionalitas hubungan, mentalitas
produktif dan pergaulan yang setara antara bos dan karyawan. Semua pekerjaan
dilakukan dengan penuh kebahagiaan dan fleksibilitas yang tinggi. Dalam konteks
relationships, kecerdasan emosional adalah investasi yang sangat penting.
Menjaga hubungan dapat meningkatkan peluang bagi bidang perdagangan yang lebih
luas, karena pengenalan melalui orang per orang akhirnya dapat mendatangkan
bisnis dan keuntungan yang lebih besar.
Bagaimana
hubungan dengan pelanggan?
Kenyataan di era
serba-cepat-berubah sekarang ini, produk yang baik tidaklah cukup. Henry
menyarankan agar perusahaan tidak hanya bisa menawarkan kualitas produk, tapi
juga harus mampu mengantarkan produk melalui kecerdasan emosional kepada
pelanggan. Jangan sekadar menjual barang; juallah perasaan yang menyertai
pembelian suatu produk, baik itu mobil, kapal atau rumah yang indah; atau
pembelian tiket ke tempat eksotik di luar negeri. Pelanggan masa depan terbaik
adalah pelanggan terdahulu.
Jika
loyalitas pelanggan ini mampu kita jaga, maka mereka akan kembali. Pelayan yang
baik adalah mereka yang terlihat gembira, peduli, memberikan informasi, sabar,
santun, jujur, banyak akal dan suka minta maaf. Henry melihat, produktivitas
dalam penjualan sangat bergantung pada stabilitas emosional, dan ini merupakan
sifat penting yang harus diperhatikan semua perusahaan. Seorang CEO yang cerdas
secara emosional dipastikan akan memiliki perhatian dan empati terhadap kultur
masyarakat. Tugas CEO di era hiper-konsumen sekarang ini benar-benar harus
mampu menyelinap masuk dalam ruang emosi masyarakat dengan cara memperhatikan
kearifan lokal.
Di
level yang lebih mikro, seorang CEO juga harus mampu menjadi pemimpin yang
dipercaya dan mampu mengendalikan kehidupan keluarganya. Berbagai pengalaman
yang dihimpun dalam buku ini membuktikan, sukses CEO mengelola perusahaan juga
ditentukan oleh sukses yang bersangkutan dalam membangun rumah tangga. Jika Francis
Fukuyama menganggap bahwa modal sosial adalah penentu kesuksesan seseorang
dalam lapangan sosial, ekonomi dan politik, maka buku ini mengajak kita untuk
menyadari bahwa modal emosional adalah salah satu penentu kesuksesan dalam
dunia bisnis.[3]
Komponen Kecerdasan
Emosional
Dari
definisi atau pengertian di atas dapat dirumuskan bahwa ada beberapa komponen yang
membentuk kecerdasan emosional, yaitu :
1.
Manajemen
Diri
Yaitu kemampuan seseorang untuk
mengontrol atau mengarahkan dorongan hati dan suasana hati yang akan mengatur
prilakunya.
2.
Pemahaman
Diri
Adalah kemampuan untuk mengenali dan
memahami suasana hati dan kepercayaan diri, dan penilaian diri yang realistis.
3.
Pemahaman
Sosial
Ialah kemampuan untuk memahami
karakter, emosi orang lain dan juga ketrampilan memperlakukan orang lain sesuai
dengan reaksi emosional mereka.
4.
Ketrampilan
Sosial
Yaitu kemampuan untuk mengelola
hubungan orang-orang yang ada di lingkungannya dan membangun jaringan kerja.
Jadi kecerdasan emosional bisa
memainkan peran penting dalam pelaksanaan pekerjaan seseorang, artinya
kecerdasan emosional lebih penting dari pada kecerdasan akademik. Seseorang
yang mempunyai level kecerdasan emosional yang tinggi akan mempunyai kinerja yang
lebih tinggi. Sehingga kecerdasan emosional menjadi ciri orang yang berkinerja
tinggi dan mempunyai kemampuan untuk dapat berhubungan lebih baik dangan orang
lain.
Langkah-langkah Membangun
Kecerdasan Emosional
Ada
beberapa langkah yang dibutuhkan untuk dapat membangun kecerdasan emosional, (Michael
Armstrong, 2003), yaitu :
1.
Menilai,
kecerdasan emosional seperti apa yang dibutuhkan oleh suatu jabatan.
2.
Menilai
secara pribadi tingkat kecerdasan emosional mereka yang akan menempati jabatan
tersebut.
3.
Mengukur
kesiapan orang-orang untuk mau memperbaiki kecerdasan emosionalnya.
4.
Memotivasi
orang-orang untuk percaya bahwa pengalaman belajar akan lebih bermanfaat.
5.
Memusatkan
perhatian pada sasaran yang jelas.
6.
Mencegah
adanya penurunan kemampuan yang tidak dapat dihindari
7.
Memberi
umpan balik kinerja
8.
Mendorong
orang-orang untuk mau melakukan aplikasi kemajuan dalam praktek kerja.
9.
Memberikan
model perilaku yang diinginkan
10.
Mendorong
dan menciptakan iklim untuk memperbaiki diri sendiri.
11.
Mengevaluasi,
dengan ukuran hasil kinerja yang dapat diandalkan.
Pengaruh Kecerdasan
Emosional terhadap Kepemimpinan
Tidak terdapat formula khusus bagi
kepemimpinan yang hebat, banyak jalan untuk meraih keunggulan kepemimpinan.
Pemimpin yang hebat bisa memiliki gaya personal yang berbeda, namun pemimpin
yang efektif tipikalnya menunjukkan keunggulan pada salah satu kompetensi dari
keempat bidang kecerdasan emosional. Hal tersebut diperkuat hasil penelitian
Goleman (1999), bahwa pemimpin yang ideal mempunyai kompetensi personal dan
kompetensi sosial. Kompetensi Personal, yang meliputi :
1.
pengaruh kecerdasan emosional terhadap kepemimpinan
dan organisasi
1. Kesadaran Diri :
·
Kesadaran
diri emosional : dapat membaca diri dan mengenali dampaknya, menggunakan
insting,nyali untuk memandu pembuatan keputusan.
·
Penilaian
Diri : secara akurat dapat mengukur kekuatan dan keterbatasan diri-sendiri.
·
Kepercayaan
Diri: perasaan akan harga diri dan kemampuan diri yang baik.
2. Manajemen Diri :
·
Kendali
Diri emosi : mengendalikan emosi dan gerak hati yang mengganggu.
·
Transparansi
: menunjukkan kejujuran dan integritas; terpercaya
·
Pencapaian
: hasrat untuk memperbaiki performa untuk mencapai standard keunggulan diri.
·
Adaptabilitas
: maksudnya bisa fleksibel dalam mengatasi perubahan
·
Inisiatif
: kesiapan untuk bertindak dan mengambil keputusan
·
Optimisme
: selalu melihat sisi baik, setiap kejadian.
2.
Kompetensi
Sosial, yang terdiri dari :
1. Kesadaran Sosial:
·
Empaty
: merasakan emosi orang lain, memahami perspektif mereka, dan berminat dengan
urusan mereka
·
Kesadaran
organisasi : dapat membaca arus, jaringan pembuat keputusan dan politik pada
tingkat organisasi.
·
Pelayanan
: mengenali dan memenuhi kebutuhan pendukung, klien dan konsumen.
2. Manajemen Hubungan :
· Pengaruh : dapat menggunakan teknik
persuasif yang efektif.
· Manajemen konflik : dapat
menyelesaikan perselisihan yang timbul, dengan baik
· Inspiratif : memandu dan memotivasi
dengan pandangan yang mendorong.
· Katalis perubahan : memulai,
mengatur dan memimpin jalan ke arah yang baru
· Membangun ikatan : menebar dan
mempertahankan jaringan/hubungan yang ada
· Kerja tim dan Kolaborasi :
mengedepankan kerjasama dan membangun tim.
Dengan demikian seseorang
pemimpin/manajer yang hebat bukanlah seseorang yang melakukan kesia-siaan
dengan mempelajari bakat baru, akan tetapi mereka yang lebih focus menyesuaikan
bakat yang dimiliki dengan tuntutan peran (sebagai pemimpin). Jadi kecocokan antara
peran, bakat ,kompetensi dan kecerdasan emosional adalah faktor penting dalam menentukan
performa seorang pemimpin.
Pengaruh Kecerdasan
Emosional terhadap Organisasi
Organisasi/Perusahaan harus memusatkan
perhatian pada kebutuhan pelanggan, hal tersebut telah membawa kesadaran akan
pentingnya menyatukan sikap dan komitmen semua individu yang ada di dalamnya,
dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka secara efektif. Organisasi yang
mengharapkan dapat berkinerja dengan baik atau mempunyai produktivitas yang
tinggi haruslah beranggotakan atau mempunyai karyawan/ orang-orang yang sesuai
dengan budaya ‘unik’ dari organisasi yang bersangkutan.
Orang-orang
yang dimaksud adalah mereka yang memiliki Kecerdasan emosional yang memadai.
Untuk itu dalam melakukan perekrutan tenaga kerja atau anggota, haruslah melakukan
evaluasi secara menyeluruh, yaitu memilih karyawan/anggota berdasarkan pada empat
elemen utama pada kecerdasan
emosional, yaitu : kesadaran
diri; manajemen diri;
Dimulai dari perekrutan
anggota/karyawan berdasarkan elemen kecerdasan emosional, organisasi/perusahaan
akan mendapatkan individu-individu yang bermanfaat tinggi, sehingga keberhasilan
organisasi bukanlah menjadi sesuatu yang sulit. Karena dengan kecerdasan emosional
yang dimiliki individu-individu di dalam organisasi maka akan terbentuk 5 pola utama
yang dapat mewujudkan suatu lingkungan yang seimbang di dalam organisasi,
artinya karyawan tidak hanya akan mencari dan meningkatkan keberhasilan diri
mereka sendiri, akan tetapi juga keberhasilan organisasi mereka.
Lima
pola utama tersebut menurut Department of Trade and Industry and Departmen Education
(1997) adalah :
1.
Tujuan bersama, artinya semua individu dalam
organisasi memahami bisnis/usaha yang sedang dijalankan
2.
Budaya bersama, yaitu mamahami dan menyetujui
nilai-nilai yang dapat menyatukan mereka
3.
Pembelajaran bersama, maksudnya secara berkelanjutan
mereka mau dan mampu memperbaiki diri sendiri.
4.
Usaha bersama, menyadari bahwa
perusahaan/organisasi adalah suatu bisnis yang dikendalikan oleh tim yang
fleksibel, sehingga arus informasi yang mengalir dari dan untuk tim akan
meningkatkan keefektifan mereka.
5.
Informasi bersama, mengutamakan komunikasi yang
efektif di seluruh organisasi/ perusahaan .
- Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan
spiritual atau yang biasa dikenal dengan SQ (bahasa Inggris: spiritual
quotient) adalah kecerdasan jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan
dirinya secara utuh melalui penciptaan kemungkinan untuk menerapkan nilai- nilai
positif. SQ merupakan fasilitas yang membantu seseorang untuk mengatasi
persoalan dan berdamai dengan persoalannya itu. Ciri utama dari SQ ini
ditunjukkan dengan kesadaran seseorang untuk menggunakan pengalamannya sebagai
bentuk penerapan nilai dan makna. Kecerdasan spiritual yang berkembang dengan
baik akan ditandai dengan kemampuan seseorang untuk bersikap fleksibel dan
mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, memiliki tingkat kesadaran yang
tinggi, mampu menghadapi penderitaan dan rasa sakit, mampu mengambil pelajaran
yang berharga dari suatu kegagalan, mampu mewujudkan hidup sesuai dengan visi
dan misi, mampu melihat keterkaitan antara berbagai hal, mandiri, serta pada
akhirnya membuat seseorang mengerti akan makna hidupnya
Menurut Ary
Ginanjar Agustian (2003) menjelaskan bahwa Spiritual Quotient (SQ) berisi suara
hati dan hati adalah bagian dari aspek spiritualitas. Emosi adalah getaran pada
kalbu yang terjadi akibat tersentuhnya spiritualitas seseorang. God Spot berisi
kekuatan spiritual manusia yang tertutup oleh berbagai belenggu, paradigma atau
cover.
Menurut Harjani
Hefni (2008) menerangkan bahwa suara hati adalah suara kebenaran yang ditiupkan
Allah kepada manusia bersamaan dengan peniupan ruh pada jasad. Suara hati tidak
bisa dibohongi dan berkata apa adanya. Suara hati mempunyai berbagai pengaruh
positif terhadap jiwa. Untuk lebih memahami suara hati memerlukan pemahaman dan
pengenalan nama-nama dan sifat-sifat Allah, sebab konsekwensi dari tuntutan
nama-nama dan sifat-sifat Allah itulah ditiupkan kepada kita dan menjadi suara
hati yang tertancap kokoh di alam sanubari.
Manusia
dikarunia Tuhan Yang Maha Kuasa potensi luar biasa berupa pikiran yang perlu
dikelola dengan baik. Dalam pikiran tersebut ada dua hal yang melandasi sifat,
sikap, dan perilaku seseorang, yaitu pikiran yang negatif dan positif. Dalam
kehidupan nyata sifat positif dan negatif tersebut tercermin dalam perbuatan
baik dan buruk.
Pikiran yang
dapat terkelola dengan baik akan berdampak positif dalam kehidupan, orang yang
cerdas mempunyai kelebihan dalam mengolah dan menggunakan informasi yang
terekam dalam otaknya. Akan tetapi dalam kehidupan tidak hanya cukup dengan
kecerdasan otak (Intelektual Quotient disingkat dengan IQ), perlu diseimbangkan
dengan Kecerdasan Spiritual (Emotional Quotient disingkat dengan EQ), dan
kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient disingkat dengan SQ). Sehingga dengan
pengelolaan pikiran yang seimbang terhadap ketiga kecerdasan tersebut yaitu IQ,
EQ, dan SQ maka kehidupan yang diharapkan oleh semua orang (paripurna) atau
suksesnya seseorang dalam berkarir akan mudah didapatkan[4].
SQ dalam bukunya Danah Zohar dan
Ian Marshall (SQ : Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, 2000)
dikatakan adalah Kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan
nilai menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih
luas dan kaya; menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna
dibandingkan dengan yang lain.
SQ adalah kecerdasan yang bertumpu pada
bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego atau jiwa
sadar. SQ menjadikan manusia yang benar-benar utuh secara intelektual,
emosional dan spiritual. SQ adalah kecerdasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang
dapat membantu manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh.
Namun, pada zaman sekarang ini terjadi
krisis spiritual karena kebutuhan makna tidak terpenuhi sehingga hidup manusia
terasa dangkal dan hampa. Ada tiga sebab yang membuat seseorang dapat terhambat
secara spiritual, yaitu tidak mengembangkan beberapa bagian dari dirinya
sendiri sama sekali, telah mengembangkan beberapa bagian, namun tidak
proporsional, dan bertentangannya / buruknya hubungan antara bagian-bagian.
Zohar (SQ, Mizan : 2001) mengatakan
“Enam Jalan Menuju Kecerdasan Spiritual yang Lebih Tinggi” dan “Tujuh Langkah
Praktis Mendapatkan SQ Lebih Baik”. Tetapi sebelum Zohar menguraikan
jalan-jalan itu, ia membagi Kepribadian Manusia (dengan menggunakan Topografi
Kepribadian Jung yang dimodifikasi) menjadi 6 yaitu; 1) Kepribadian
Konvensional, 2) Kepribadian Sosial, 3) Kepribadian Incestigatif, 4)
Kepribadian Artistik, 5) Kepribadian Realistik, 6) Kepribadian Pengusaha.
(Semestinya di MBTI-Jung ada 16 Type Kepribadian).[5]
Spiritually berkaitan dengan apa yang
paling penting dalam pengalaman manusia, yaitu berbagi kemampuan dan
keterampilan dalam memberdayakan seorang untuk hidup secara harmonis dengan
nilai hidup yang tinggi dan bergeser dari ketidakmampuan untuk menjawabke arah
tujuan hidup yang jelas(Bowel,2010)[6]
Zohar selanjunya mengatakan; Bila SQ
seseorang telah berkembang dengan baik, maka tanda-tanda yang akan terlihat
pada diri seseorang adalah (1) Kemampuan bersikap fleksibel, (2) Tingkat
kesadaran diri tinggi, (3) kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan,
(4) kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit, (5) kualitas hidup
yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, (6) keengganan untuk menyebabkan
kerugian yang tidak perlu, (7) kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara
berbagai hal (berpandangan holistik), (8) kecenderungan nyata untuk bertanya
“Mengapa?” atau “Bagaimana jika?” untuk mencari jawaban yang mendasar, (9)
memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.
Kecerdasan
Spiritual dalam Kaitannya dengan Manajemen
Kecerdasan Spiritual (SQ) Kaitannya
dengan manajemen sangat bermanfaat karena dengan kemampuan seorang pemimpin
menempatkan diri dan mengetahui arah dan tujuan yang jelas dalam menjalani
kehidupan, menjadikan seseorang baik pemimpin maupun pengelola cerdas dan
memiliki kemampuan dan arah yang jelas dalam menentukan tujuan satu
organisasi. Kecerdasan
Spiritual(Spiritual Intelligence) memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
·
Kesadaran akan diri sendiri, yaitu
pengetahuan terhadap nilai yang diyakini dan apa yang memberikan motivasi
hidup.
·
Spontanitas, yaitu hidup dengan memberikan
respins terhadap masa dan keadaan yang dihadapi
·
Memiliki visi dan nilai yang ditunjukkan
melalui keyakinan dan prinsip-prinsip
·
Melihat sesuatu secara keseluruhan dengan
jalan memahami secara luas pola-pola hubungan yang mengandung makna dan
perasaan memiliki
·
Gairah hidup, yaitu memiliki kualitas
perasaan yang baik dan empati
·
Memahami perbedaan dengan jalan menghargai
orang lain dan perbedaan yang dimilikinya.
·
Mandiri, yaitu kemampuan untuk melawa arus dengan
orang banyak dan tidak tergantung pada pengaruh satu orang
·
Kemanusiaan, yatiu memiliki kemampua untuk
mengambil peran dalam kehidupan,
·
Kemampuan untuk mengajukan berbagai
pertanyaan fundamental, seperti “ mengapa?”
yang membutuhkan pemahaman terhadap sesuatu secara mendalam
·
Kemampuan untuk membingkai kembali
pengalaman-pengalaman masa lalu dalam konteks yang lebih bermakna
·
Secara positif dapat memanfaatkan berbagai
perbedaan dengan jalan belajar melalui kesalahan
·
Kesediaan untuk memberikan pelayanan dan
memberikan sesuatu yang bernilai.[7]
G. Peranan Alam dan Lingkungan dalam
Mempengaruhi Intelligence
Beberapa
psikolog (seperti Herrnstein & Murray, 1994; Toga & Thompson, 2005)
berpendapat bahwa kecerdasan kebanyakan merupakan produk keturunan-bahwa kecerdasan
anak-anak sebagian besar ditentukan oleh kecerdasan orang tua mereka dan sudah
ditetapkan pada hari pertama mereka dikandung. Pakar lain (seperti Gordon &
Bhattacharyya, 1994; Plomin, 1989; Rifkin, 1998) dengan sama-sama tegas
berpendapat bahwa kecerdasan dibentuk kebanyakan oleh factor di dalam
lingkungan social seseorang, seperti seberapa banyak dibacakan dan dibicarakan
kepada anak tertentu. Kebanyakan peneliti setuju bahwa keturunan maupun
lingkungan memainkan peran penting bagi kecerdasan (Petrill & Wilkerson,
2000).
Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah :
1. Faktor
Bawaan atau Keturunan
Penelitian membuktikan bahwa korelasi
nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak
kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya
adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 - 0,50
dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 - 0,20 dengan ayah dan ibu
angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah,
IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah
saling kenal.
2. Faktor
Lingkungan
Walaupun ada ciri-ciri yang pada
dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan
perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari
otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain
gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan
juga memegang peranan yang amat penting. Jelas bahwa anak-anak yang orang
tuanya berpencapaian tinggi secara rata-rata lebih mungkin pada dirinya menjadi
orang yang berpencapaian tinggi, tetapi hal ini terjadi karena lingkungan
keluarga yang diciptakan oleh orang tua yang berpencapaian tinggi maupun karena
genetika (Turkheimer, 1994). Salah satu bagian penting bukti yang mendukung
pandangan lingkungan ialah bahwa sekolah sendiri jelas mempengaruhi nilai[8]
H. Multiple intelligence
Kecerdasan menurut
Howard Gardner, merupakan kemampuan untuk menangkap situasi baru serta
kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu seseorang. Kecerdasan
bergantung pada konteks, tugas serta tuntutan yang diajukan oleh kehidupan
kita, dan bukan tergantung pada nila IQ, gelar perguruan tinggi atau reputasi
bergengsi.
Kita bisa mencontohkan apakah Einstein akan sukses seperti
itu bila dia masuk di Jurusan Biologi atau belajar main bola dan musik ? jelas
masalah fisika-teoritis Einstein, Max Planc, Stephen Howking, Newton adalah
jenius-jenius, tetapi bab olah-raga maka Zidane, Jordane, Maradona adalah
jenius-jenius dilapangan, juga Mozart, Bach adalah jenius-jenius dimusik.
Dst..dst…juga Thoman A. Edison adalah jenius lain, demikian juga dengan para
sutradara film, bagaimana mereka mampu membayangkan harus disyuting bagian ini,
kemudian setelah itu, adegan ini, ini yang mesti keluar dengan pakaian jenis
ini, latar suara ini, dan bahkan dialog seperti itu, ini adalah jenius-jenius
bentuk lain. Disinilah Howard Gardner mengeluarkan teori baru dalam buku Frame of Mind, tentang Multiple
Intelligences (Kecerdasan Majemuk), dimana dia mengatakan bahwa era baru sudah
merubah dari Test IQ yang melulu hanya test tulis (dimana didominasi oleh
kemampuan Matematika dan Bahasa), menjadi Multiple Intelligences.
Intellegence (Kecerdasan) masih menurut Howard Gardner adalah
kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu
setting yang bermacam-macam dan dalam situasi nyata (Gardner; 1983;1993).
Multiple
intelegencies = Kecerdasan Ganda meliputi;
1.
Intelegensi Linguistik
2.
Intelegensi matematis-Logis
3.
Intelegensi Ruang-Spasial
4.
Intelegensi Kinestetik-badani
5.
Intelegensi Musik
6.
Intelegensi Interpersonal
7.
Intelegensi Intrapersonal
8.
Intelegensi lingkungan/Naturalis (Perkembangan
selanjutnya dari 7)
9.
Intelegensi eksistensial (Perkembangan lebih lanjut
dari 8)
Awal dalam bukunya, hanya 7 kecerdasan, tetapi dikemudian
hari dan sampai sekarang berkembang menjadi 8, 9 bahkan terakhir katanya 10
kecerdasan. Kekurangan atau problem, tapi juga mungkin kelebihan, dari teori
kecerdasan ganda adalah, kecerdasan ini bisa berkembang terus, sebab tergantung
syarat yang bisa dipenuhinya. Gardner (dalam Frame of Mind: The Theory of
multiple Intelligences; 1985) menyatakan; “kecerdasan
kandidat” dalam modelnya “lebih menyerupai pertimbangan artistic ketimbang
penaksiran ilmiah” (hal 63). Dengan demikian, kecerdasan tambahan sebanyak
apapun bisa dimasukkan kedalam model Gardner, karena menurutnya: “Tidak ada,
dan tidak akan pernah ada, daftar kecerdasan manusia yang tidak terbantahkan
dan diterima secara universal….kita bisa lebih mendekati tujuan itu jika kita
berpegang hanya pada satu tingkat analisis (misalnya neurofisiologis)” (hal
60). (Barbara K. Given, “Brain-Based Teaching”, hal 75).
Gardner
menetapkan syarat khusus yang harus dipenuhi oleh setiap kecerdasan agar dapat
dimasukkan dalam teorinya; Empat diantaranya adalah;
1.
Setiap kecerdasan dapat dilambangkan
misal
matematika jelas mempunyai lambang, Musik ada lambing (not dll), kinestetik ada
lambing atau irama gerak dst, lambaian tangan, untuk selamat tinggal atau mau
tidur dll.
2.
Setiap Kecerdasan mempunyai riwayat perkembangan
Artinya
tidak seperti IQ yang meyakini bahwa kecerdasan itu mutlak tetap dan sudah
ditetapkan saat kelahiran atau tidak berubah, MI (Multiple Intelligences)
percaya bahwa kecerdasan itu muncul pada titik tertentu dimasa kanak-kanan,
mempunyai periode yang berpotensi untuk berkembang selama rentang hidup, dan
berisikan pola unik yang secara berlahan atau cepat semakin merosot seiring
dengan menuanya seseorang. Kecerdasan paling awal muncul adalah Musik lalu
Logis-Matematis.
3.
Setiap Kecerdasan rawan terhadap cacat akibat
kerusakan atau cedera pada wilayah otak tertentu
Misal orang
dengan kerusakan pada Lobus Frontal pada belahan otak kiri, tidak mampu
berbicara atau menulis dengan mudah, namun tanpa kesulitan dapat menyanyi,
melukis dan menari. Orang yang lobus Temporalnya kanan yang rusak, mungkin
mengalami kesulitan dibidang music tetapi dengan mudah mampu bicara, membaca
dan menulis. Pasien dengan kerusakan pada Lobus oksipital belahan otak kanan
mengkin mengalami kesulitan dalam mengenali wajah, membayangkan atau mengamati
detail visual[9].
Kecerdasan
linguistic ada pada belahan otak kiri, sementara music, spatial dan
antarpribadi cenderung di belahan otak kanan. Kinestetik-jasmani menyangkut
kortek motor, ganglia basal, dan serebellum (otak kecil). Lobus frontal
mengambil peran penting pada kecerdasan intrapribadi (intrapersonal).
4.
Setiap kecerdasan mempunyai keadaan akhir berdasar
nilai budaya.
Artinya
tidak harus matematis-logis yang penting atau Spatial atau Musik atau
tergantung budaya masing-masing misal ada kemampun naik kuda, melacak jejak dll
dalam budaya tertentu itu sangat-sangat penting dst.
Inilah
empat syarat yang diberikan oleh Howard Gardner, makanya teorinya berkembang
dari 7 Kecerdasan (Linguistik, Logis-Matematis, Musik, Spatial-Visual,
Kenestetik, Intrerpersonal dan intrapersonal) Menjadi 9 (tambahan 2 yaitu;
Naturalis dan terbaru Eksistensialis). Adalah menarik sebagai contoh;
bagaimana anda menghafal nomor telpon? Apakah anda mengulang-ngulang nomor tadi
sebelum menelpon (ini berarti anda menggunakan teknik Liguistik) atau anda
menbayangkan pola tombol yang harus anda tekan dalam pola peletakan tombol
angka-angka (menggunakan metode Spatial-Visual) atau malah anda mengingat-ingat
nada khas tiap-tiap angka (strategi Musikal).
Perincian Kecerdasan Majemuk
Sembilan
Jenis Kecerdasan
1.
kecerdasan
linguistik, adalah kecerdasan dalam mengolah kata. Ini merupakan
kecerdasan para jurnalis, juru cerita, penyair, dan pengacara. Jenis pemikiran
inilah yang menghasilkan King Lear karya Shakespeare, Odyssey karya Homerus,
dan Kisah Seribu Satu Malam dari Arab. Orang yang cerdas dalam bidang ini dapat
berargu-mentasi, meyakinkan orang, menghibur, atau mengajar dengan efektif
lewat kata-kata yang diucapkannya. Mereka senang bermain-main dengan bunyi
bahasa melalui teka-teki kata, permainan kata (pun), dan tongue twister.
Kadang-kadang mereka pun mahir dalam hal-hal kecil, sebab mereka mampu
mengingat berbagai fakta. Bisa jadi mereka adalah ahli sastra. Mereka gemar
sekali membaca, dapat menulis dengan jelas, dan dapat mengartikan bahasa
tulisan secara luas.
2.
Kecerdasan
Logis-matematis, adalah kecerdasan dalam hal angka dan hgika. Ini
merupakan kecerdasan para ilmuwan, akuntan, dan pemrogram komputer. Newton
menggunakan kecerdasan ini ketika ia menemukan kalkulus. Demikian pula dengan
Einstein ketika ia menyu-sun teori relativitasnya. Ciri-ciri orang yang cerdas
secara logis-mate-matis mencakup kemampuan dalam penalaran, mengurutkan,
berpikir dalam pola sebab-akibat, menciptakan hipotesis, mencari keteraturan
konseptual atau pola numerik, dan pandangan hidupnya umumnya bersifat rasional.
3.
Kecerdasan
Spasial adalah jenis kecerdasan yang ketiga, mencakup bapikir dalam
gambar, serta kemampuan untuk mencerap, mengubah, dan menciptakan kembali
berbagai macam aspek dunia visual-spasial. Kecerdasan ini merupakan kecerdasan
para arsitek, fotografer, artis, pilot, dan insinyur mesin. Siapa pun yang
merancang piramida di Mesir, pasti mempunyai kecerdasan ini. Demikian pula
dengan tokoh-tokoh seperti Thomas Edison, Pablo Picasso, dan Ansel Adams. Orang
dengan tingkat kecerdasan spasial yang tinggi hampir selalu mempunyai kepekaan
yang tajam terhadap detail visual dan dapat menggambarkan sesuatu dengan begitu
hidup, melukis atau membuat sketsa ide secara jelas, serta dengan mudah
menyesuaikan orientasi dalam ruang tiga dimensi.
4.
Kecerdasan
musikal adalah jenis kecerdasan keempat. Ciri utama kecerdasan ini
adalah kemampuan untuk mencerap, menghargai, dan menciptakan irama dan melodi.
Bach, Beethoven, atau Brahms, dan juga pemain gamelan Bali atau penyanyi cerita
epik Yugoslavia, se-muanya mempunyai kecerdasan ini. Kecerdasan musikal juga
dimiliki orang yang peka nada, dapat menyanyikan lagu dengan tepat, dapat
mengikuti irama musik, dan yang mendengarkan berbagai karya musik dengan
tingkat ketajaman tertentu.
5.
Kecerdasan
kinestetik-jasmani, adalah kecerdasan fisik. Kecerdasan ini mencakup
bakat dalam mengendalikan gerak tubuh dan kete-rampilan dalam menangani benda.
Atlet, pengrajin, montir, dan ahli bedah mempunyai kecerdasan
kinestetik-jasmani tingkat tinggi. Demikian pula Charlie Chaplin, yang
memanfaatkan kecerdasan ini untuk melakukan gerakan tap dance sebagai "Little Tramp". Orang dengan
kecerdasan fisik memiliki keterampilan dalam menjahit, bertukang, atau merakit
model. Mereka juga menikmati kegiatan fisik, seperti berjalan kaki, menari,
berlari, berkemah, berenang, atau berperahu. Mereka adalah orang-orang yang
cekatan, indra perabanya sangat peka, tidak bisa tinggal diam, dan berminat
atas segala sesuatu.
6.
Kecerdasan
Antarpribadi. Ini adalah kemampuan untuk memahami dan bekerja sama
dengan orang lain. Kecerdasan ini terutama menuntut kemampuan untuk mencerap
dan tang-gap terhadap suasana hati, perangai, niat, dan hasrat orang lain.
Direk-tur sosial sebuah kapal pesiar harus mempunyai kecerdasan ini, sama
halnya dengan pemimpin perusahaan besar. Seseorang yang mempunyai kecerdasan
antarpribadi bisa mempunyai rasa belas kasihan dan tanggung jawab sosial yang
besar seperti Mahatma Gandhi, atau bisa juga suka memanipulasi dan licik
seperti Machiavelli. Namun, mereka semua mempunyai kemampuan untuk memahami
orang lain dan melihat dunia dari sudut pandang orang yang bersangkutan. Oleh
karena itu, mereka dapat menjadi networker,
perunding, dan guru yang ulung.
7.
Kecerdasan
Intrapribadi atau kecerdasan dalam diri sendiri. Orang yang kecerdasan
intrapribadinya sangat baik dapat dengan mudah mengakses perasaannya sendiri,
membedakan berbagai macam keadaan emosi, dan menggunakan pemahamannya sendiri
untuk memperkaya dan membimbing hidupnya. Contoh orang yang mempunyai
kecerdasan ini, yaitu konselor, ahli teologi, dan wirau-sahawan. Mereka sangat
mawas diri dan suka bermeditasi, berkontemplasi, atau bentuk lain penelusuran
jiwa yang mendalam. Sebaliknya, mereka juga sangat mandiri, sangat terfokus
pada tujuan, dan sangat disiplin. Secara garis besar, mereka merupakan orang
yang gemar bela-jar sendiri dan lebih suka bekerja sendiri daripada bekerja dengan
orang lain. (Armstrong: 1999: 3-6)
8.
Kecerdasan
Naturalis (Lingkungan). Gardner menjelaskan inteligensi lingkungan sebagai
kemampuan seseorang untuk dapat mengerti flora dan fauna dengan baik, dapat
membuat distingsi konsekuensial lain dalam alam natural; kemampuan untuk
memahami dan menikmati alam; dan menggunakan kemampuan itu secara produktif
dalam berburu, bertani, dan mengembangkan pengetahuan akan alam. Orang yang
punya inteligensi lingkungan tinggi biasanya mampu hidup di luar rumah, dapat
berkawan dan berhubungan baik dengan alam, mudah membuat identifikasi dan
kla-sifikasi tanaman dan binatang. Orang ini mempunyai kemampuan mengenal
sifat dan tingkah laku binatang, biasanya mencintai lingkungan, dan tidak suka
merusak lingkungan hidup. Salah satu contoh orang yang mungkin punya
inteligensi lingkungan tinggi adalah Charles Darwin. Kemampuan Darwin untuk
mengidentifikasi dan mengklasifikasi serangga, burung, ikan, mamalia,
membantunya mengembangkan teori evolusi.
Inteligensi lingkungan masih dalam penelitian lebih
lanjut karena masih ada yang merasa bahwa inteligensi ini sudah termasuk dalam
inteligensi matematis-logis. Namun, Gardner berpendapat bahwa inteligensi ini
memang berbeda dengan inteligensi matematis-logis.
9.
Kecerdasan
Eksistensial, intelegensi
ini menyangkut kemampuan seseorang
untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam eksistensi atau keberadaan manusia.
Orang tidak puas hanya menerima keadaannya, keberadaannya secara otomatis,
tetapi mencoba menyadarinya dan mencari jawaban yang terdalam. Pertanyaan itu
antara lain: mengapa aku ada, mengapa aku mati, apa makna dari hidup ini,
bagaimana kita sampai ke tujuan hidup. Inteligensi ini tampaknya sangat
berkembang pada banyak filsuf, terlebih filsuf eksistensialis yang selalu
mempertanyakan dan mencoba menjawab persoalan eksistensi hidup manusia.
Filsuf-filsuf seperti Sokrates, Plato, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Kindi, Ibn
Rusyd, Thomas Aquinas, Descartes, Kant, Sartre, Nietzsche termasuk mempunyai
inteligensi eksistensial tinggi.
Anak yang
menonjol dengan inteligensi eksistensial akan mempersoalkan keberadaannya di
tengah alam raya yang besar ini. Mengapa kita ada di sini? Apa peran kita dalam
dunia yang besar ini? Mengapa aku ada di sekolah, di tengah teman-teman, untuk
apa ini semua? Anak yang menonjol di sini sering kali mengajukan pertanyaan
yang jarang dipikirkan orang, termasuk gurunya sendiri. Misalnya, tiba-tiba ia
bertanya, "Apa manusia semua akan mati? Kalau semua akan mati, untuk apa
aku hidup?"
Ingatlah
bahwa meskipun Anda merasa sangat cocok dengan salah satu atau dua definisi di
atas, sebenarnya Anda mempunyai semua kecerdasan itu. Tambahan lagi, setiap
manusia normal dapat mengem-bangkan ketujuh jenis kemampuan itu sampai ke
tingkat penguasaan tertentu. Setiap pribadi adalah unik, sebagaimana
ketujuh/Delapan/Sembilan kecerdasan itu memperlihatkan bentuknya dalam
kehidupan kita. Jarang sekali ada orang yang dapat mencapai tingkat penguasaan
yang tinggi dalam enam, tujuh atau delapan kecerdasan tersebut. Ibn Sina atau
Al Kindi mungkin beberapa orang dengan kecerdasan yang sangat banyak. Ia Dokter
ulung, filosof, ahli bahasa, Negarawan, penulis dll, Al Kindi juga Dokter,
Pemusik handal (konon katanya ia menyembuhkan penyakit orang dengan music),
Filosof, penulis, penerjemah dengan penguasaan berbagai bahasa, dan pemilik
kebun-binatang yang cukup luas dan lengkap. Rudolf Steiner, pemikir Jerman awal
abad ke-20 juga. Ia adalah filsuf, penulis, dan ilmuwan. Ia juga menciptakan
sistem dansa, teori warna, dan sistem berkebun, sekaligus pematung, ahli teori
sosial, dan arsitek.
Manfaat Multiple Intelligence bagi seseorang dalam
mencapai kesuksesan
Howard Gardner mengatakan, walaupun
diidentifikasi ada sembilan kecerdasan, tetapi mesti diingat bahwa pada
dasarnya kita memiliki ke sembilan kecerdasan itu, dengan komposisi dan
proporsi yang berbeda-beda. Intinya adalah;
a) Setiap orang memiliki kesembilan
kecerdasan itu. Semua kecerdasan itu bekerja berbarengan dengan cara yang
berbeda-beda. Tetapi sebagian lebih menonjol dibanding sebagian yang lain.
b) Orang pada umumnya dapat mengembangkan
setiap kecerdasan sampai pada tingkat penguasaan yang memadai. Kata hanya
memadai ini penting. Artinya bila seseorang tidak punya bakat, talent maka
kalaupun dia berusaha itu hanya mampu sampai tingkat memadai, bukan super atau
jenius.
c) Kecerdasan pada umumnya bekerja
bersamaan dengan cara yang komplek. Kecerdasan selalu berinteraksi satu sama
lain. Untuk bermain bola misalnya, seorang pemain bola, semacam Zidane,
disamping punya kecerdasan kinestetik-Jasmani, mereka pasti memiliki kecerdasan
Spatial (control bola panjang, tendangan volley, mencari posisi dan lain-lain,
juga kecerdasan Interpersonal, bekerjasama dalam team, mengoperkan bola ke
kawan untuk dimasukkan, bukan individual, juga matematis-logis, mengira-ngira
kecepatan bola, dengan langkah-langkah dia dan seterusnya,
d)
Setiap kecerdasan keluar dengan berbagai macam cara dan variasi. Orang bisa
tidak mampu berpidato (linguistic), walau ia sangat piawai dalam bercerita.
Orang mungkin tidak mampu berolah raga dengan baik (kinestetik), walau ia
sangat mahir dalam merajut atau lainnya (Amstrong, 2000; 16-18).
Tentu saja, ada ratusan, jika tidak
ribuan, jenis usaha, masing-masing dengan misi dan masalah sendiri-sendiri.
Sama seperti tidak ada dua orang yang persis sama, tidak ada dua bisnis yang
adalah identik. MI itu dirancang untuk mengetahui gambaran potensi individual,
walaupun demikian kita juga tahu bahwa organisasi adalah gabungan dari
manusia-manusia dan seringkali dianalogkan dengan manusia. Orang tertentu punya
sifat tertentu memiliki kapasitas kemungkinan produktivitas tertentu ditempat
tertentu.
Jadi
penting bagi individu, orang tua, guru, kepala sekolah/manajer atau pemimpin
perusahaan untuk mengetahui potensi intelegensi dari diri sendiri dan karyawan
lalu mengembangkannya. Setelah menyimak penjelasan di atas dapat disimpulkan
semua manusia terlahir cerdas, bahkan menurut Howard Gardner manusia terlahir dengan 9 s.d 10
jenis kecerdasan. Dengan porsi yang berbeda - beda. Sekarang tinggal dilihat
dimana letak potensi kecerdasan dominan dari setiap individu.
Karena salah satu kunci kesuksesan adalah
dengan terus mengembangkan potensi yang ada dalam diri kita. Begitu juga kunci
kesuksesan suatu perusahaan, yaitu memiliki individu - individu berkualitas
yaitu orang - orang yang mengenal potensinya (the right man in the right place)
I. Implementasi Multipe Intelegensi dalam
Kurikulum
Pengembangan
potensi intelegensi, yang mencakup kemampuan kognitif, psikomotorik dan
afektif, adalah beberapa aspek yang menjadi tujuan akhir dari proses
pembelajaran. Di sini intelegensi tidak semata-mata dimaknai kecakapan dalam
aspek kognitif semata, namun aspek psikomotorik dan afektif juga menjadi
indikator kecerdasan (intelegensi).
Teori
multiple intelegensi, dengan menitikberatkan pengembangan kecakapan
(kecerdasan) majemuk, bisa dijadikan sebagai pendekatan dalam desain dunia
pendidikan. Kesadaran fitrah manusia, yang dibekali dengan potensi berbeda
(faktor gen) dan hidup dalam lingkungan yang berbeda (faktor lingkungan),
diharapkan akan mampu menampilkan bentuk kurikulum pendidikan yang dinamis.
Artinya, kurikulum pendidikan, mulai dari infrastruktur, materi ajar, pendidik,
tenaga kependidikan, dan stakeholders diharapkan akan mampu mengembangkan
potensi peserta didik yang beraneka ragam. Melalui pendekatan ini pula,
diharapkan dunia pendidikan mampu melihat potensi peserta didik.
Implementasi
teori multiple intelegensi dalam kurikulum bisa dibatasi dengan menciptakan
kurikulum pembelajaran yang selaras dengan dimensi intelegensi yang dicakup
dalam teori multiple intelegensi. Upaya ini diharapkan lebih bisa mendiagnosis
potensi para peserta didik, serta tepat dalam pengembangan potensi-potensi
tersebut.
Adapun
dimensi psikologis yang diharapkan akan menjadi titik pijak desain kurikulum
pendidikan sebagaimana kami sampaikan di atas, yaitu 1) Kecerdasan linguistic
(linguistik intelligence); 2) Intelegensi logis-matematis (logical matematich);
3) Intelegensi musik (musical intelegence); 4) Intelegensi Kinestetik; 5) Intelegensi
Visual-spasial; 6) Intelegensi Interpersonal; 7) Intelegensi Intrapersonal; 8)
Intelegensi Naturalis; 9) Intelegensi Emosional; dan 10) Intelegensi Spiritual.
Kesepuluh
dimensi tersebut, diharapkan akan menjadi karakter kurikulum pendidikan. Sehingga
akan mudah dilakukan diagnosis terhadap potensi para peserta didik, dan akan
lebih memudahkan dalam optimalisasi potensi peserta didik
J. Pendekatan dan Impementasi Multiple
Intelegensi Dalam pembelajaran
Kemampuan-kemampuan
yang termasuk dalam sepuluh aspek kecerdasan majemuk (multiple intelegensi)
yang dimiliki oleh masing-masing orang tersebut di atas adalah merupakan
potensi intelektual. Salah satu contoh kongkrit potensi intelektual adalah
kemampuan seseorang dalam mengikuti proses pembelajaran.
Pembelajaran
sendiri dipandang sebagai suatu proses pengembangan aspek kognitif,
psikomotorik, dan afektif seseorang pada lingkungan tertentu. Menurut
Kemendiknas, pembelajaran adalah pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan
sikap baru pada saat seseorang berinteraksi dengan informasi dan lingkungan.
Pembelajaran
tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan multiple intelegensi.
Dengan menggunakan pendekatan multiple intelegensi, maka pengembangan aspek
kognitif, psikomotorik, dan afektif peserta didik akan maksimal.
Adapun
implementasi penerapan multiple intelegensi sebagai pendekatan dalam
pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Proses
pembelajaran yang mengembangkan intelegensi verbal linguistic
Proses pembelajaran yang mengembangkan
intelegensi verbal linguistic dapat merangsang perkembangnya multi intelegensi
dalam setiap mata pelajaran. Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam
pembelajaran untuk mengembangkan intelegensi verbal linguistic dalam
pembelajaran adalah mendengarkan materi yang akan dibahas dari kaset maupun
dari informasi yang langsung disampaikan oleh guru, diskusi kelas, membuat
hasil laporan pengamatan, melakukan kegiatan wawancara, mencari bahan untuk
melengkapi tugas, menulis karya ilmiah dan sebagainya.\
2. Pembelajaran
yang mengembangkan intelegensi logika matematika
Dalam proses pembelajaran, yang patut
diperhatikan adalah penerapan konsep dasar materi pembelajaran secara tepat. Penerapan
intelegensi logika matematika dalam pembelajaran IPA dapat melalui beberapa
cara, yaitu:
a. Metoda
Ilmiah
Metoda ilmiah adalah suatu cara untuk
menemukan produk ilmiah dengan langkah-langkah yang logis dan matematis. Proses
umum metode ilmiah secara empiris adalah:
1)
Menemukan masalah;
2)
Menyusun hipotesa atau dugaan sementara;
3)
Menguji hipotesis dengan melakukan percobaan;
4)
Menarik kesimpulan; dan
5)
Menguji kesimpulan.
b. Berfikir
secara Ilmiah Berdasarkan Kurikulum
c. Logika
Deduktif
Logika deduktif adalah cara berfikir
dengan menguraikan konsep yang umum ke konsep yang khusus. Contohnya :
1) Silogisme, yaitu argumen yang
tersusun dari dasar pemikiran dan kesimpulan;
2) Diagram venn, yakni menggunakan
lingkaran yang saling melengkapi untuk membandingkan sekumpulan informasi.
d. Logika
Induktif
Logika induktif adalah cara berfikir
seseorang dengan mempertimbangkan kenyataan fakta khusus kepada kasimpulan umum
dengan menggunakan analogi.
e. Meningkatkan
Belajar dan Berfikir
Meningkatkan berfikir siswa, guru dalam
pembelajaran menggunakan media pembelajaran.
f. Proses
Berfikir secara Matematika
Matematika mata pelajaran yang khusus
berfikir abstrak dan sulit, sehingga anak tidak tertarik. Untuk itu guru dapat
menyusun pembelajaran dengan pola gambar, grafik, dan pembuatan kode untuk
menimbulkan keingintahuan.
g. Bekerja
dengan angka-angka
Siswa yang menyukai ketelitian akan
menemukan kesenangan bekerja dengan angka-angka seperti pengukuran, peluang,
masalah-masalah dalam bentuk cerita.
h. Teknologi
yang meningkatkan intelegensi logi-matematika
Siswa dapat belajar dengan efektif
dengan menggunakan software yang menarik.
3. Proses
pembelajaran yang mengembangkan intelegensi music. Musik memilki kaitan yang
erat dengan emosional seseorang, yaitu:
a)
Memberikan suasana yang ramah ketika siswa memasuki ruangannya;
b)
Menawarkan efek yang meredakan setelah melakukan aktivitas fisik;
c)
Melancarkan peralihan antar kelas;
d)
Membangkitkan kembali energy yang mulai sedikit;
e)
Mengurangi strees;
f)
Menciptakan suasana positif di sekolah;
4. Proses
pembelajaran yang mengembangkan intelegensi kinestetik
Ada bermacam-macam aktivitas tectile-kinestetik
yang bertujuan untuk mempertinggi pembelajaran siswa di segala usia, yaitu:
a)
Lingkungan fisik: daerah ruang kelas, dalam merencanakan ruang kelas, para
pengajar membuat ruangan yang bisa membuat perasaan siswa menjadi senang;
b)
Drama: teater, permainan peran, drama kreatif, simulasi (keadaan yang meniru)
keadaan sebenarnya;
c)
Gerak kreatif : memahami pengetahuan jasmaniah, memperkenalkan aktifitas gerak
kreatif,menerapkan gerak kreatif keahlian dasar, menciptakan isi yang lebih
terarah dari aktivitas gerakan;
d)
Tari : bagian-bagian tari, rangkaian pembelajaran melalui tari;
e)
Memainkan alat-alat: kartu-kartu tugas, teka-teki kartu tugas, menggambar
alat-alat tambahan, membuat tanda-tanda bagi ruang kelas.
f)
Permainan ruangan kelas: binatang buruan (binatang pemakan bangkai)
permainan-permainan lantai besar, permainan-permainan merespon gerak fisik
secara meanyeluruh, permainan mengulang hal yang umum;
5. Proses
belajar yang mengembangkan intelegensi visual spasial
Proses belajar ini merupakan suatu
proses yang mengembangkan kemampuan persepsi, imajinasi dan estestika. Ada 3
komponen dari gambaran visual:
a)
Gambaran eksternal yang kita rasakan;
b)
Gambaran internal yang kita impikan/kita bayangkan;
c)
Gambaran yang kita ciptakan melalui gambar yang tak beraturan.
6. Proses
belajar yang mengembangkan intelegensi interpersonal
Adapun cara belajar dengan mengembangkan
pendekatan intelegensi interpersonal dengan membangun lingkungan interpersonal
yang positif, yaitu:
1)
Lingkungan kelas hangat dan terbuka;
2)
Guru dan siswa bersama-sama membuat tata tertib dan sanksi berdasarkan
kemanusiaan;
3)
Proses pembelajaran saling ketergantungan yaitu melakukan peran aktif dan
kontribusi darai semua siswa;
4)
Belajar bertujuan untuk belajar dari kurikulum, dari teman dan dari pengalaman;
5)
Tugas dan tanggung jawab dibagi rata, sehingga setiap anggota kelas merasa
penting dalam kelas;
6)
Pembelajaran kolaboratif;
7)
Penanganan konflik;
8)
Belajar melalui tugas sosial/jasa;
9)
Menghargai perbedaan;
10)
Membangun persfektif yang beragam;
11)
Pemecahan masalah global dan local dalam pendidikan multicultural;
12)
Tekhnologi yang meningkatkan intelegensi interpersonal;
7. Proses
belajar yang mengembangkan intelegensi intrapersonal
Adapun penerapan pendekatan intelegensi
intrapersonal adalah sebagai berikut:
a)
Membangun suatu lingkungan untuk mengembangkan pengetahuan diri;
b)
Penopang penghargaan diri;
c)
Penyusunan dan pencapaian tujuan;
d)
Keterampilan berfikir;
e)
Pendidikan keterampilan emosional dalam kelas;
f)
Mengetahui diri sendiri melalui orang lain;
g)
Merefleksikan ketakjupan dan tujuan hidup;
h)
Belajar mengarahkan diri sendiri;
i)
Teknologi yang mempertinggi intelegensi interpersonal.
8. Proses
pembelajaran yang mengembangkan intelegensi naturalism
Proses pembelajaran ini merupakan suatu
proses yang mengembangkankemampuan naturalism pada siswa yaitu:
a) Menata lingkungan sekolah yang hijau dan asri;
b)
Dalam mempelajari materi yang berhubungan dengan klasifikasi tumbuhan,
ekosistem, pencemaran lingkungan siswa diajak langsung ke alam;
c)
Sekolah menyediakan alat bantu pelajaran seperti torso dan charta tentang
organ-organ tubuh manusia;
d)
Menerapkan pelajaran pertanian atau perikanan yang disesuaikan dengan kondisi
daerah masing-masing;
e) Sekolah
mengembangkan proses pembelajaran yang dapat membangkitkan kepedulian siswa
terhadap lingkungan;
9. Proses
pembelajaran yang mengembangkan intelegensi emosional
Pembelajaran emosional dapat
meningkatkan sistem pembelajaran kognitif, dimana dengan cara ini otak
emosional terlibat dalam pembelajaran/penalaran sama kuatnya dengan otak
berfikir. Prinsip ini harus diterapkan oleh guru dalam mengajar. Menurut
Goleman, 1995 (dalam barbara k.given, 2002). Hal-hal yang dapat diterapkan oleh
guru dalam mengembangkan intelegensi emosional adalah sebagai berikut:
a)
Sebaiknya guru dalam mengawali pelajaran dengan sikap lemah lembut, dengan cara
bertahap meningkatkan antusiame;
b)
Menciptakan suasana kelas seperti yang diinginkan siswa;
c)
Guru bias menggerakkan siswa perlahan-lahan menuju keadaan sosial emosional
yang berbeda;
d)
Dalam mengajar hendaknya guru mengembangkan rasa humor yang bisa menurunkan
ketegangan yang mungkin timbul akibat ketidak selarasan antara guru dan siswa.
10. Proses
pembelajaran yang mengembangkan intelegensi spiritual
Dalam proses pembelajaran sebaiknya
memperluas cakupan dari ayat- ayat Al Qur’an serta makna-makna yang terkandung
di dalamnya, sehingga mengakar di dalam jiwa dan pikiran siswa dengan cara
menarik hikmah dari materi pembelajaran yang disampaikan kepada siswa.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Intelegensi
mengandung unsur-unsur yang sama dengan yang dimaksudkan dalam istilah
intelektual, yang menggambarkan kemampuan seseorang dalam berpikir dan
bertindak dan Intelektual berarti cerdas, berakal, berpikiran jernih
berdasarkan ilmu pengetahuan dan mempunyai kecerdasan tinggi, cendikiawan dan
totalitas pengertian atau kesadaran terutama yang menyangkut pemikiran dan
pemahaman.
Adapun
tipe – tipe intelektual antara lain : Inteligensi kristal, Fleksibilitas
kognitif, Fleksibilitas visuomotor dan Visualisasi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan intelektual, Menurut Mappiare (1982), antara lain
bertambahnya informasi yang disimpan dalam otak seseorang sehingga mampu
berpikir reflekstif, banyaknya pengalaman dan latihan-latihan memecahkan
masalah.
Pendidikan
diharapkan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik. Pendidikan dengan
berbagai muatan kurikulum di dalamnya hendaknya dapat mendorong anak didik
berfikir lebih kreatif dan inovatif. Dalam pengimplementasiannya pendidikan di
Indonesia perlu memajukan SDM nya dalam bidang intelektual agar dapat bersaing
dengan SDM negara lain. Implementasi
Intelektual dalam Dunia Pendidikan
B. Rekomendasi
1. Pendidik
semaksimal mungkin memfasilitasi perbedaan kecerdasan para peserta didik agar
kegiatan pembelajaran dapat berlangsung efektif dan efisien.
2. Guru
harus bijaksana dalam menyikapi perbedaan kecerdasan para peserta ddik agar
peserta didik mampu mencapai keberhasilan dalam belajar secara maksimal.
3. Kepada
orang tua diharapkan mengetahui dan memahami tingkat kecerdasan anaknya dan
ikut berperan serta dalam membimbing peserta agar peserta didik dapat
memanfaatkan kemampuan yang dimiliki.
4. Kepada
peserta didik diharapkan untuk belajar tekun dan terus meningkatkan kemampuan
intelek.
DAFTAR PUSTAKA
Anita Woolfolk
(2007). Educational Psychology (ninth edition, International edition). Boston:
Pearson education, Inc.
Jamaris, Martini.
(2013).Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Bogor : Ghalia Indonesia.
John W. Santrock
(2001). Educational Psychology (international edition). Boston: Mc Graw Hill
Dr. Henry R.Meyer. Manajemen
dengan Kecerdasan Emosional(Nuansa Books, Bandung 2007
http://mukhoiyaroh.blogspot.com/2012/11/pendidikan-multikultural.html
http://amriblog-amriblog.blogspot.com/2012/02/makalah-intelegensi.html
[1]
Anita Woolfolk, educational
physicology, Pustaka Pelajar, 2009
[2]
http://yogieaffandi.blogspot.com/2011/09/teori-teori-dan-pendekatan-pendekatan.html
[3] Dr. Henry R.Meyer. Manajemen dengan
Kecerdasan Emosional(Nuansa Books, Bandung 2007.
[4]
Jamaris, Martini. (2013).Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Bogor :
Ghalia Indonesia.
[5]
http://pendidikanpositif.wordpress.com/2012/09/28/konsep-spiritual-multiple-intelligence-dalam-diri-kita-iq-mi-sq-dan-smi-seri-2/
[6]
Prof. Dr. Martini Jamaris,
M.Sc.Ed, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, Ghalia Indonesia, 2012)
[7]
Prof. Dr. Martini Jamaris,
M.Sc.Ed, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, Ghalia Indonesia, 2012)
[8]
Anita Woolfolk (2007). Educational Psychology (ninth edition, International
edition). Boston: Pearson education, Inc.
[9] Thomas Amstrong, 1999, hal 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar