Selasa, 31 Januari 2017

Intelegensi dalam Pendidikan




A.   Latar Belakang Masalah
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses pengembangan potensi individu. Melalui pendidikan, potensi yang dimiliki oleh individu akan diubah menjadi kompetensi. Kompetensi mencerminkan kemampuan dan kecakapan individu dalam melakukan suatu tugas atau pekerjaan. Tugas pendidik atau guru dalam hal ini adalah memfasilitasi anak didik sebagai individu untuk dapat mengembangkan potensi yang dimiliki menjadi kompetensi sesuai dengan cita-citanya. Program pendidikan dan pembelajaran seperti yang berlangsung saat ini oleh karenanya harus lebih diarahkan atau lebih berorientasi kepada individu peserta didik.
Kenyataan menunjukkan bahwa program pendidikan yang berlangsung saat ini lebih banyak dilaksanakan dengan cara membuat generalisasi terhadap potensi dan kemampuan siswa. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman pendidik tentang karakteristik individu. Muncul keluhan dari pendidik atau guru bahwa mereka merasa bahwa menjelakan sejelas jelasnya tetapi ada saja anak didik yang tidak dapat memhami pelajaran dengan baik. Setiap kali orang belajar pasti melibatkan pikirannya dan didalam pikiran tersebut ada kecerdasan. Dalam kehidupan  sehari-hari  kita bertemu  dengan  banyak  sekali orang-orang. Dari sekian banyak orang yang kita temui ada begitu banyak perbedaan antara mereka. Sebagian orang ada yang begitu mudah beradaptasi  dengan lingkungan  sekitarnya  dan sebagian  lagi tidak atau kurang begitu mampu dan selalu menyalahkan keadaan. Perbedaan itulah yang kita sebut dengan kecerdasan intelegensi.
Intelegensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan  diri dengan lingkungannya.  Dalam kemampuan  yang  umum  ini,  terdapat  kemampuan-kemampuan   yang amat  spesifik.  Kemampuan-kemampuan  yang  spesifik  ini  memberikan pada  individu  suatu  kondisi  yang  memungkinkan  tercapainya pengetahuan,  kecakapan,  atau  keterampilan  tertentu  setelah  melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes intelegensi.

B.   Rumusan Masalah
Terdapat beberapa rumusan masalah, diantaranya:
1.    Apa hakekat intelegensi?
2.    Apa teori-teori intelegensi dari para ahli?
3.    Bagaimana pengukuran potensi intelegensi?
4.    Apa yang dimaksud dengan kecerdasan emosional?
5.    Apa yang dimaksud dengan kecerdasan spriritual?
6.    Apa Peranan Alam dan Lingkungan dalam Mempengaruhi Intelligence?
7.    Bagaimana Implementasi Multipe Intelegensi dalam Kurikulum?
8.    Bagaimana   Pendekatan dan Implementasi Multiple Intelegensi Dalam pembelajaran?

C.   Tujuan Penyusunan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat diuraikan tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut :
1.    Untuk mengetahui hakekat intelegensi
2.    Untuk mengetahui teori-teori intelegensi menurut para ahli
3.    Untuk mengetahui bagaimana cara pengukuran potensi intelegensi
4.    Untuk mengetahui mengenai kecerdasan emosional
5.    Untuk mengetahui mengenai kecerdasan spiritual
6.    Untuk mengetahui peranan alam dan lingkungan dalam mempengaruhi intelegence
7.    Untuk mengetahui implementasi multiple intelegensi dalam kurikulum
8.    Untuk mengetahui pendekatan dan implementasi multiple intelegensi dalam pembelajaran
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Definisi Intelegensi
Intelligere adalah asal kata intelegensi yang biasa kita kenal, yang mengandung arti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain.Novelis Inggris abad ke-20 Aldous Huxley mengatakan bahwa anak-anak itu hebat dalam hal rasa ingin tahu dan intelegensinya. Apa yang dimaksud Huxley ketika ia menggunakan kata intelegensi (intelligence)? Intelegensi adalah salah satu milik kita yang paling berharga, tetapi bahkan orang yang paling cerdas sekalipun tidak sepakat tentang apa intelegensi itu Para ahli mempunyai pengertian yang beragam tentang intelegensi yaitu :
1.    Anita E. Woolfolk mengemukakan bahwa menurut teori-teori lama, intelegensi itu meliputi tiga pengertian, yaitu (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; (3) kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya Woolfolk mengemukakan bahwa intelegensi itu merupakan satu atau beberapa kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan masalah dan beradaptasi dengan lingkungan
2.    Alfred Binet, seorang tokoh utama perintis pengukuran intelegensi bersama Theodore simon mendefinisikan intelegensi atas tiga komponen yaitu (a) kemampuan untuk mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan; (b) kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan dan (c) kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan autocriticism.
3.    David Wechsler pencipta skala-skala intelegensi yang populer sampai saat ini, mendefinisikan intelegensi sebagai kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dalam tujuan tertentu, berfikir secara rasional, serta mengahadapi lingkungannya dengan efektif.
3.
Beberapa pakar mendeskripsikan intelegensi sebagai keahlian untuk memecahkan masalah (problem-solving). Yang lainnya mendeskripsikannya sebagai kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari. Dengan mengkombinasikan ide-ide ini kita dapat menyusun definisi inteligensi yang cukup fair:keahlian memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi pada, dan belajar dari, pengalaman hidup sehari-hari. Tetapi, bahkan definisi yang luas ini tidak memuaskan semua orang. Seperi yang akan anda lihat sebentar lagi, beberapa ahli teori mengatakan bahwa keahlian bermusik harus dianggap sebagai bagian dari intelegensi. Juga, sebuah definisi intelegensi yang didasarkan pada teori seperti teori Vygotsky harus juga memasukkan factor kemampuan seseorang untuk menggunakan alat kebudayaan dengan bantuan individu yang lebih ahli. Karena intelegensi adalah konsep yang abstrak dan luas, maka tidak mengherankan jika ada banyak definisi. Jadi menurut Santrock (2008) intelegensi (kecerdasan) adalah keterampilan menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari
Wilhelm Stern melihat, titik berat definisi intelegensi terletak pada kemampuan penyesuaian diri

B.   Teori-teori Intelegensi
Diantara bebrapa uraian ringkas mengenai teori intelegensi beserta tokohnya masing-masing sebagai berikut:
1.    Alfred Binet mengatakan bahwa intelegensi bersifat monogenetik yaitu berkembang dari suatu faktor satuan. Menurutnya intelegensi merupakan sisa tunggal dari karekteristik yang terus berkembang sejalan dengan proses kematangan seseorang.
2.    Edward Lee Thorndike, teori Thorndike menyatakan bahwa intelegensi terdiri dari berbagai kemampuan spesifik yang ditampikan dalam wujud perilaku intelegensi.
3.    Robert J. Sternberg, teori ini menytikberatkan pada kesatuan dari berbagai aspek intelegensi sehingga teorinya teorinya lebih berorientasi pada proses. Teori ini disebut juga dengan Teori Intelegensi Triarchic. Teori ini berusaha menjelaskan secara terpadu hubungan antara:
a.    Intelegensi dan dunia internal seseorang
b.    Intelegensi dan dunia eksternal seseorang
c.    Intelegensi dan pengalaman

4.  Menurut Gardner , paling tidak ada delapan inteligensi yang terpisah : linguistic (erbal), musical, spasial, logis –matematis, jasmaniah-kinestetik(gerakan), interpersonal (memahami orang lain), intrapersonal(memahami diri sendiri), dan naturalis (mengamati dan memahami pola dan sistem-sistem alamiah dan buatan manusia).
5.  Pandangan lainnya adalah teori Raymond Cartell dan John Horn tentang:
·         Fluid intelligence (inteligensi cair) adalah efisiensi mental yang pada dasarnya bebas budaya dan nonverbal. 
·         Aspek Crystalized intelligence (intelligensi terkristalisasi), kemampuan untuk menerapkan metode-metode pengatasan-masalah yang diterima secara cultural, dapat meningkatkan, fakta-fakta, memanggil taksi, membuat quilt(potongan-potongan) yang kainnya disambung-sambung dengan pola tertentu untuk sarung bantal, selimut, dan lain-lain), atau kuliah di perguruan tinggi. [1]

          Adapun dalam memahami hakikat intelegensi, Maloney dan Ward (1976) mengemukakakn empat pendekatan umum, yaitu.
·         Pendekatan Teori Belajar
Inti pendekatan ini mengenai masalah hakikat intelegensi terletak pada pemahaman mengenai hukum-hukum dan prinsip umum yang dipergunakan individu untuk memperoleh bentuk-bentuk perilaku baru.
·         Pendekatan Neurobiologis
Pendekatan ini beranggapan bahwa intelegensi memiliki dasar anatomis dan biologis. Perilaku intelegensi menurut pendekatan ini dapat ditelusuri dasar-dasar neuro-anatomis dan neuro-fisiologisnya.
·         Pendekatan Psikomotorik
Pendekatan ini beranggapan bahwa intelegensi merupakan suatu konstrak atau sifat psikologis yang berbeda-beda kadarnya bagi setiap dua arah study, yaitu.
a.    Bersifat praktis yang menekankan pada pemecahan masalah
b.    Bersifat teoritis yang menekankan pada konsep dan penyusunan teori
·         Pendekatan Teori Perkembangan
Dalam pendekatan ini, studi intelegensi dipusatkan pada masalah perkembangan intelegensi secara kuantitatif dalam kaitannya dengan tahap-tahap perkembangan biologis individu.

C.   Faktor-Faktor dalam Intelegensi
          Dalam intelgensi akan ditemukan faktor-faktor tertentu yang para ahli sendiri belum terdapat pendapata yang sama seratus persen. Berikut ini beberapa pendapat para ahli mengenai faktor-faktor dalam intelegensi

1.       Thorndike dengan Teori Multi-Faktor
Teori ini menyatakan bahwa intelegensi itu tersusun dari beberapa factor yang terdiri dari elemen-elemen, tiap elemen terdiri dari atom-atom, dan tiap atom itu terdiri dari stimulus-respon. Jadi, suatu aktivitas adalah merupakan kumpulan dari atom-atom aktivitas yang berkombinasi satu dengan yang lainnya.

2.        Spearman
Menurut Spearman intelegensi mengandung 2 macam faktor, yaitu
a.    General ability atau general faktor (faktor G)
Faktor ini terdapat pada semua individu, tetapi berbeda satu dengan yang lainnya. Faktor ini selalu didapati dalam semua “performance”.

b.    Special ability atau special faktor (faktor S)
Faktor ini merupakan faktor yang khusus mengenai bidang tertentu. Dengan demikian, maka jumlah faktor ini banyak, misalnya ada S1, S2, S3, dan sebagainya sehingga kalau pada seseorang faktor S dalambidang tertentu dominan, maka orang itu akan menonjol dalam bidang tersebut.
Menurut Spearman tiap-tiap “performance” adanya faktor G dan faktor S, atau dapat dirumuskan. P=G+S

3.       Burt
Menurut Burt dalam intelegensi terdapat 3 faktor
a.        Special ability atau special faktor (faktor S)
b.        General ability atau general faktor (faktor G)
c.        Common ability atau common faktor disebut juga group factor (faktor C)
Faktor ini merupakan sesuatu kelompok kemampuan tertentu seperti kemampuan kelompok dalam bidang bahasa. Sehingga rumus “performance” menjadi P=G+S+C

4.       Thurstone
Thurnstone mempunyai pandangan tersendiri. Dia berpendapat bahwa dalam intelegensi terdapat faktor-faktor primer yang merupakan “group faktor”, yaitu
a.    Spatial relation (S)
Kemampuan untuk melihat gambar tiga dimensi
b.    Perceptual speed (P)
Kecepatan dan ketepatan dalam mempertimbangkan kesamaan dan perbedaan atau dalam merespon detil-detil visual.
c.    Verbal comprehension (V)
Kemampuan memahami bacaan, kosakata, analogi verbal, dan sebagainya.
d.    Word fluency (W)
Kecepatan dalam menghubug-hubngkan kata dengan berbagai rima dan intonasi.
e.    Number facility (N)
Kecepatan ketepatan dalam perhitungan
f.       Associative memory (M)
Kemampuan menggunakan memori untuk menghubungkan berbagi assosiasi.
g.    Induction (I)
Kemampuan untuk menarik suatu kesimpulan suatu prinsip atau tugas.
Menurutnya faktor-faktor tesebut berkombinasi sehingga menghasilkan tindakan atau perbuatan yang intelegen[2].

D.   Pengukuran Potensi Intelegensi
Pengukuran adalah suatu prosedur pemberian angka (kuantifikasi) terhadap atribut atau variabel sepanjang suatu kontinum. Dalam pengukuran terdapat dua kontinum, yakni kontinum fisik yaitu berbagai kontinum seperti kontinum berat, kontinum kecepatan, kontinum tinggi, dan semacamnya, dihasilkan oleh pengukuran yang menggunakan skala fisik,  dan kontinum psikologis yaitu berbagai atribut fisik dan atribut psikologis yang dapat di ukur dengan menggunakan skala psikologis dan hasilnya dapat disajikan dalam suatu kontinum (saifuddin,2008).
Secara operasional, pengukuran merupakan suatu prosedur perbandingan antara atribut yang hendak diukur dengan alat ukurnya. Karakteristik pengukuran adalah (saifuddin,2008):
Merupakan perbandingan antara atribut yang diukur dengan alat ukurnya. Artinya, apa yang diukur adalah atribut atau dimensi dari sesuatu, bukan sesuatu itu sendiri.
Hasilnya dikatakan secara kuantitatif. Kuantitatif berarti berwujud angka. Suatu proses pengukuran akan dinyatakan selesai apabila hasilnya telah diwujudkan dalam bentuk angka yang biasanya –dalam pengukuran fisik disertai oleh satuan ukurnya yang sesuai. Dan begitupula dalam pengukuran aspek nonfisik atau aspek psikologis akan kita temui hasil pengukuran yang berupa angka.
Hasilnya bersifat deskriptif. Artinya, hanya sebatas memberikan angka yang tidak diinterpretasikan lebih jauh.
Dalam interpretasi terhadap hasil pengukuran hanya dapat bersifat evaluatif apabila disandarkan pada suatu norma atau suatu kriteria. Norrma berarti rata-rata, yaitu harga rata-rata bagi suatu kelompok subjek. Karena hasil tes psikologi seringkali tidak memiliki satuan ukur maka perlu dinyatakan secara normatif. Dan dalam tingkat hasil pengukuran, memiliki tiga skala pengukuran (saifuddin, 2008).
Hasil pengukuran akan berada pada salah satu tingkat pengukuran (level of measurement) menurut kompleksitasnya. Suatu angka hasil pengukuran disebut berada pada tingkat nominal atau berskala nominal apabila angka tersebut berfungsi untuk identifikasi,  yaitu membedakan antara satu objek dengan subjek yang lain. Dan selain untuk identifikasi, angka dapat dikatakan berada pada level nominal apabila digunakan untuk klasifikasi atau kategorisasi. Pengubahan angka yang tidak mengubah fungsi identifikasi dan kategorisasi objek disebut transformasi isomorfik.
Suatu hasil pengukuran disebut berada pada level ordinal kalau angkanya berfungsi menunjukkan adanya penjenjangan kualitatif. Adapun angka boleh berubah namun urutan objek masih tetap dinamai transformasi monotonik. Dan Ketiga, hasil ukur berskala interval adalah hasil pengukuran ordinal yang memiliki jarak antar jenjang yang tetap selalu sama. Skala ini pun tidak memiliki harga O mutlak sehingga kita tidak dapat mengatakan bahwa 6 adalah dua kali 3.
Wilayah pengukuran psikologis, digolong-golongkan menurut cara tertentu. Terdapat penggolongan berbagai atribut psikologis menjadi empat kelompok, yaitu :
(1) kepribadian,                                                                                                              
(2) intelegensi,
(3) hasil belajar, dan
(4) hasil belajar.

Dan berdasarkan penggolongan tersebut maka tes psikologi digolongkan menjadi empat, yaitu :
(1) tes kepribadian,
(2) tes intelegensi,
(3) tes potensi intelektual, dan
(4) tes hasil belajar.

Terdapat beberapa kontribusi yang mempengaruhi dalam perkembangan upaya pengukuran psikologis,
1.    Pertama, kontribusi psikofisika yang dianggap suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan kuantitatif antara kejadian-kejadian fisik dan kejadian-kejadian psikologis.
2.    Kedua, kontribusi francis galton yang merintis penerapan metode “rating” dan kuesioner.
3.    ketiga, kontribusi lainnya yaitu upaya mengembangkan metode statistik guna menganalisis data mengenai perbedaan individual. awal gerakan testing psikologis yang memiliki kontribusi penting adalah seorang ahli psikologis amerika, yaitu James McKeen Cattelyang memperkenalkan istilah “mental test” yang selanjutnya banyak digunakan dan menjadi populer.
4.    Empat, binet dan tes intelegensi memiliki kontribusi menghasilkan skala yang terkenal dengan nama skala 1905.
5.    Kelima, Testing kelompok dikembangkan karena kebutuhan yang mendesak. Tes yang dikembangkan oleh ahli psikologi dalam militer itu kemudian terkenal dengan nama Army Alpha dan Army Beta.
6.    Enam, pengukuran potensi intelektual yang dirancang untuk mencakup fungsi intelektual yang luas ragamnya guna mengistemasikan taraf intelektual umum individu, namun seraya nyata bahwa liputan tes intelegensi itu sangat tebatas. Tujuh tes hasil belajar, yang dikembangkan para ahli psikologi dengan mengembangkan tes intelegensi dan tes potensi intelektual khusus. Delapan, tes projektif dikembangkan oleh kelompok psikiater dan psikolog untuk mengungkapkan isi batin yang tidak disadari.
Macam-macam tes intelgensi :
1.    Stanford-Binet Intelligence Scale
Revisi terhadap Skala Stanford-Binet yang diterbitkan pada tahun 1972, yaitu norma penilaiannya yang diperbaharui. Tes-tes dalam skala ini dikelompokkan menurut berbgai level usia mulai dari Usia II sampai dengan Usia Dewasa-Superior. Dalam masing-masing tes untuk setiap level usia terisi soal-soal dengan taraf kesukaran yang tidak jauh berbeda. Bagi setiap level usia terdapat pula tes pengganti yang setara, sehingga apabila suatu tes pada level usia tertentu tidak dapat digunakan karena sesuatu hal maka tes penggantipun dapat dimanfaatkan
Skala Stanford-Binet dikenakan secara individual dan soal-soalnya diberikan secara lisan oleh pemberi tes. Oleh karena itu pemberi tes haruslah orang yang mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup di bidang psikologi, sangat terlatih dalam penyajian tesnya, dan mengenal betul isi berbagai tes dalam skala tersebut. Skala ini tidak cocok untuk dikenakan pada orang dewasa, karena level tersebut merupakan level intelektual dan dimaksudkan hanya sebagai batas-batas usia mental yang mungkin dicapai oleh anak-anak.
Versi terbaru skala Stanford-Binet diterbitkan pada tahun 1986. Dalam revisi terakhir ini konsep inteligensi dikelompokkan menjadi empat tipe penalaran yang masing-masing diwakili oleh beberapa tes. Yaitu penalaran verbal, penalaran kuantitatif, penalaran visual abstrak, memori jangka pendek.
Revisi skala Binet
Dilakukan pertama kali di tahun 1916. Perubahan benar-benar dilakukan sehingga menampilkan suatu tes baru. Untuk pertama kalinya digunakan istilah IQ. Revisi kedua di tahun 1937. Skala diperluas dan distandardisasi ulang berdasar sampel masyarakat AS. Revisi ketiga dilakukan di tahun 1960, menyediakan satu bentuk tunggal yang memuat soal-soal terbaik dari bentuk 1937. Di tahun 1972, tes ini di-restandardisasi.
Penyelenggaraan tes dan Penentuan Skor menggunakan buku-buku kecil berisi kartu-kartu tercetak untuk presentasi, flip-over soal tes, objek tes misal : balok, manik, papan bentuk, sebuah gambar besar boneka yang uniseks dan multietnik, buku kecil untuk tester, serta pedoman penyelenggaraan dan pen-skoran skala.
Dalam penyelenggaraan tes Stanford-Binet, kita membutuhkan penguji yang amat terlatih. Ragu-ragu dan gugup bisa menghancurkan rapport, apalagi jika peserta tes masih muda.

2.    David Wechsler
Memperkenalkan versi pertama tes inteligensi yang dirancang khusus untuk digunakan bagi orang dewasa. Terbit pada tahun 1939 dan dinamai Wechsler-Bellevue Intelligence Scale (WBIS), disebut juga skala W-B.
Pada tahun 1949 Wechsler menerbitkan pula skala inteligensi untuk digunakan pada anak-anak yang dikembangkan berdasar isi skala W-B. Skala ini diberi nama Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC). Isinya terdiri dari dua sub bagian Verbal (V) dan sub bagian Performance (P).
Pada tahun 1974 suatu revisi terhadap tes WISC dilakukan kembali dengan nama WISC-R (R adalah revised). Di tahun 1955, Wechsler menyusun sakala lain untuk orang dewasa dengan memperluas isi tes WISC. Skala ini bernama Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS). Revisi terhadap WAIS telah dilakukan dan diterbitkan pada tahun 1981 dengan nama WAIS-R.
3.    The Wechsler Inteligence Scale for Children-Revised (WISC-R)
Skala Wechsler pertama terbit tahun 1939. Ada tiga macam skala Wechsler:
a.    WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) di tahun 1949. Banyak soal diambil langsung dari tes orang dewasa. WISC third edition untuk usia 6-16 tahun 11 bulan.
b.    WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) di tahun 1955. Untuk usia 16-74 tahun.
c.    WPPS (“Wechsler Prerschool and Primary Scale” of Intelligence-Revised) tahun 1989. Tes ini untuk rentang usia 3-7 tahun 3 bulan.

Revisi skala WISC yang dinamai WISC-R diterbitkan tahun 1974 dan dimaksudkan untuk mengukur inteligensi anak-anak usia 6 sampai dengan 16 tahun. WISC-R terdiri atas 12 subtes yang dua diantaranya digunakan hanya sebagai persediaan apabila diperlukan penggantian subtes.
Kekurangan skala Wechsler : kurangnya pendasaran teoritis yang menyulitkan penemuan basis interpretasi yang koheren. Selain itu juga komposisi skala-skala ini tampak menganggap bahwa domain kemampuan yang dipilih oleh subtesnya dalam semua tingkat umur sama.



Skala Verbal :
Skala Performansi :
· Information (Informasi)
· Comprehension (Pemahaman)
· Arithmetic (Hitungan)
· Similarities (Kesamaan)
· Vocabulary (Kosakata)
· Digit Span (Rentang Angka)
· Picture Completion (Kelengkapan Gambar)
· Picture Arrangement (Susunan Gambar)
· Block Design (Rancangan Balok)
· Object Assembly (Perakitan Objek)
· Coding (Sandi)
· Mazes (Taman Sesat)

Pemberian skor pada subtes WISC-R didasarkan atas kebenaran jawaban dan waktu yang diperlukan oleh subjek dalam memberikan jawaban yang benar tersebut. Skor tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk angka standar melalui table norma sehingga akhirnya diperoleh satu angka IQ-deviasi untuk skala verbal, satu angka IQ-deviasi untuk keseluruhan skala.
4.    The Wechsler Adult Intelligence Scale-Revised (WAIS-R)
WAIS-R terdiri dari skala verbal dan skala performansi. Skala Verbal terdiri dari:
a.    Informasi
Berisi 29 pertanyaan mengenai pengetahuan umum yang dianggap dapat diperoleh oleh setiap orang dari lingkungan sosial dan budaya sehari-hari dimana ia berada.
b.    Rentang Angka
Berupa rangkaian angka antara 3 sampai 9 angka yang disebutkan secara lisan dan subjek diminta untuk mengulangnya dengan urutan yang benar.
c.    Kosa Kata
Berisi 40 kata-kata yang disajikan dari yang paling mudah didefinisikan sampai kepada yang paling sulit.
d.    Hitungan
Berupa problem hitungan yang setaraf dengan soal hitungan di sekolah dasar.
e.    Pemahaman
Isi subtes ini dirancang untuk mengungkap pemahaman umum.
f.     Kesamaan
Berupa 13 soal yang menghendaki subjek untuk menyatakan pada hal apakah dua benda memiliki kesamaan.

Skala performansi antara lain :
a.            Kelengkapan Gambar
Subjek diminta menyebutkan bagian yang hilang dari gambar dalam kartu yang jumlahnya 21 kartu.
b.    Susunan Gambar
Berupa delapan seri gambar yang masing-masing terdiri dari beberapa kartu yang disajikan dalam urutan yang tidak teratur.
c.    Rancangan Balok
Terdiri atas suatu seri pola yang masing-masing tersusun atas pola merah-putih. Setiap macam pola diberikan di atas kartu sebagai soal.
d.    Perakitan Objek
Terdiri dari potongan-potongan langkap bentuk benda yang dikenal sehari-hariyang disajikan dalam susunan tertentu.
e.    Simbol Angka
Berupa Sembilan angka yang masing-masing mempunyai simbolnya sendiri-sendiri. Subjek diminta menulis symbol untuk masing-masing angka di bawah deretan angka yang tersedia sebanyak yang dapat dia lakukan selama 90 detik.
5.    WPPSI-R
Yaitu Wechsler Preschool and Primary Scale. Untuk usia 3 tahun sampai 7 tahun 3 bulan.
6.    Advance Progressive Matrices (APM)
Disusun oleh J.C Raven pada tahun 1943
a.    Bentuk yang tersedia
Tes APM terdiri dari 2 set dan bentuknya non-verbal. Set 1 disajikan dalam buku tes yang berisikan 12 butir soal. Set II berisikan 36 butir soal tes.
b.    Aspek yang diukur
Tes APM dimaksudkan untuk mengungkap kemampuam efisiensi intelektual. Tes APM ini sesungguhnya untuk membedakan secara jelas antara individu-individu yang berkemampuan intelektual lebih dari normal bahkan yang berkemampuan intelektual superior.
c.    Tujuan
Untuk mengatur tingkat intelegensi, di samping untuk tujuan analisis klinis.
7.    Colours Progressive Matrices (CPM)
Bentuk tes CPM ada dua macam yaitu berbentuk cetakan buku dan yang lainnya berbentuk papan dan gamabr-gambarnya tidak berbeda dengan yang di buku cetak. Materi tes terdiri dari 36 item/gambar. Item ini dikelompokkan menjadi 3 kelompok atau 3 set yaitu set A, set AB dan set B. item disusun bertingkat dari item yang mudah ke item yang sukar. Tiap item terdiri dari sebuah gambar besar yang berlubang dan dibawahnya terdapat 6 gambar penutup. Tugas testi adalah memilih salah satu diantara gambar ini yang tepat untuk menutupi kekosongan pada gambar besar. Pada dasarnya kedua bentuk tersebut dalam pelaksanaan tes memberikan hasil yang sama. (Raven, 1974). Kedua bentuk tes CPM dicetak berwarna, dimaksudkan untuk menarik dan memikat perhatian anak-anak kecil. (Raven, 1974)
a.    Aspek yang diukur
Raven berpendapat bahwa tes CPM dimaksudkan untuk mengungkap aspek:
1.    berpikir logis
2.    kecakapan pengamatan ruang
3.    kemampuan untuk mencari dan mengerti hubungan antara keseluruhan dan bagian-bagian, jadi termasuk kemampuan analisa dan kemampuan integrasi
4.    kemapuan berpikir secara analogi. 
b.    Tujuan
Tes CPM dapat digunakan untuk mengungkap taraf kecerdasan bagi anak-anak yang berusia 5 samapai 1 tahun. Di samping itu juga digunakan untuk orang-orang yang lanjut usia dan bahkan utnuk anak-anak defective
8.    Culture Fair Intelligence Test (CFIT), Scale 2 and 3 From A and From B
a.    Bentuk yang tersedia
Buku soal dan lembar jawaban yang terpisah.
b.    Aspek yang diukur
Tes ini mengukur factor kemampuan mental umum (g-factor)
c.    Tujuan
Tes ini dipergunakan untuk keperluan yang berkaitan dengan factor kemampuan mental umum atau kecerdasan. Skala 2 untuk anak-anak usia 8-14 tahun dan untuk orang dewasa yang memiliki kecerdasan di bawah normal. Skala 3 untuk usia sekolah lanjutan atas dan orang dewasa dengan kecerdasan tinggi.
9.    The Standard Progressive Matrices (SPM) 
Merupakan salah satu contoh bentuk skala inteligensi yang dapat diberikan secara individual ataupun kelompok. Skala ini dirancang oleh J.C. Raven dan terbit pada tahun 1960.
SPM merupakan tes yang bersifat nonverbal, artinya materi soal-soalnya diberikan tidak dalam bentuk tulisan ataupun bacaan melainkan dalam bentuk gambar-gambar. Raven sendiri menyebut skala ini sebagai tes kejelasan pengamatan dan kejelasan berfikir, bukan tes inteligensi umum.
SPM tidak memberikan suatu angka IQ akan tetapi menyatakan hasilnya dalam tingkat atau level intelektualitas dalam beberapa kategori, menurut besarnya skor dan usia subjek yang dites, yaitu:
Grade I            : Kapasitas intelektual Superior.
Grade II           : Kapasitas intelektual Di atas rata-rata
Grade III          : Kapasitas intelektual Rata-rata.
Grade IV          : Kapasitas intelektual Di bawah rata-rata.
Grade V           : Kapasitas intelektual Terhambat.
10. The Kauffman Assesment Battery for Children (K-ABC)
Kumpulan tes ini menghasilkan empat skor global : Pemrosesan Berurutan, Simultan, Komposit, dan Pemrosesan Mental. Pemrosesan Simultan dipresentasikan tujuh subtes sementara Pemrosesan Berurutan dipresentasikan oleh tiga subtes. K-ABC dimaksudkan untuk mengakomodasi kebutuhan pengetesan bagi kelompok-kelompok khusus, seperti anak-anak cacat dan anak-anak dari kelompok minoritas kultural dan bahasa, dan untuk membantu diagnosis ketidakmampuan belajar.
Terfokus pada pengolahan informasi. K-ABC merupakan rangkaian tes yang relatif baru yang diperuntukkan bagi anak-anak usia 2,5 sampai 12,5 tahun. Tes ini diciptakan oleh Alan S. Kaufman dan Nadeen L. Kaufman dari University of Alabama. Karena kurang mengandalkan kemampuan verbal, K-ABC bisa merupakan pengukuran pilihan untuk anak-anak yang kemahiran bahasa inggrisnya terbatas atau pendengarannya rusak.
11. Kaufman Addolesent And Adult Inteligence Test (KAIT)
Tes ini dirancang untuk usia 11 hingga 85 tahun atau lebih. Tes ini menampilkan upaya untuk mengintegrasikan teori tentang inteligensi cair dan kristal. Skala yang dikristalisasikan mengukur konsep-konsep yang didapat dari proses sekolah dan akulturasi. Skala cairan mengukur kemampuan untuk menyelesaikan problem-problem baru. Soal-soal dalam tes ini cenderung menuntut semacam penyelesaian masalah dari pikiran operasional formal Piaget dan fungsi-fungsi evaluatif perencanaan yang menjadi ciri pemikiran orang dewasa.
12. Kaufman Brief Inteligence Test (K-BIT)
Tes ini mencakup usia 4 hingga 90 tahun. Tes ini dirancang sebagai instrumen penyaringan yang cepat untuk memperkirakan tingkat fungsi intelektual.

  1. Kecerdasan Emosional
Teori tentang kecerdasan emosi dikembangkan pertama kali tahun 1980-an oleh beberapa psikolog dari Amerika Serikat: Howard Gardner, Peter Salovey dan John Mayer dan menjadi terkenal saat Daniel Goleman, psikolog dari Harvard University, menulis buku Emotional Intelligence tahun 1995.
Kecerdasan emosional dapat dikembangkan sejak usia dini. Konon anak yang punya  EQ tinggi memiliki kepribadian yang disukai, lebih mudah bergaul dan lebih sehat jasmaninya berkat kemampuannya mengontrol emosi.

5 Wilayah Kecerdasan Emosi (Menurut Goleman)
a.    Kemampuan Mengenali Emosi Diri: anak kenal perasaannya sendiri sewaktu emosi itu muncul. Seseorang yang mampu mengenali emosinya akan memiliki kepekaan yang tajam atas perasaan yang muncul seperti senang, bahagia, sedih, marah, benci dan sebagainya.
b.    Kemampuan Mengelola Emosi: anak mampu mengendalikan perasaannya sehingga emosinya tidak meledak-ledak yang akibatnya memengaruhi perilakunya secara salah. Meski sedang marah, orang yang mampu mengelola emosinya akan mengendalikan kemarahannya dengan baik, tidak teriak-teriak atau bicara kasar, misalnya.
c.    Kemampuan Memotivasi Diri: anak dapat memberikan semangat pada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Ia punya harapan dan optimisme yang tinggi sehingga memiliki semangat untuk melakukan suatu aktivitas.
d.    Kemampuan Mengenali Emosi Orang Lain: balita bisa mengerti perasaan dan kebutuhan orang lain, sehingga orang lain merasa senang dan dimengerti perasaannya. Kemampuan ini sering juga disebut sebagai kemampuan berempati. Orang yang memiliki empati cenderung disukai orang lain.
e.            Kemampuan Membina Hubungan: anak sanggup mengelola emosi
orang lain sehingga tercipta keterampilan sosial yang tinggi dan membuat pergaulan seseorang lebih luas. Anak-anak dengan kemampuan ini cenderung punya banyak teman, pandai bergaul dan  populer.
Kemudian, Salovey dan Mayer (Lenaghan, Buda, dan Eisner, 2007), mengungkapkan empat aspek kecerdasan emosi, yaitu:
a.    Perception (persepsi), yaitu kemampuan untuk memahami emosi diri sendiri dan dapat mengekspresikan kebutuhan emosionalnya.
b.    Assimilation (asimilasi), adalah suatu kemampuan untuk membedakan antara emosi-emosi yang berbeda, yang individu rasakan dan memilih mana di antara emosi-emosi tersebut yang dapat mempengaruhi proses berpikir.
c.    Understanding (pemahaman), yaitu kemampuan individu untuk memahami emosi-emosi yang kompleks seperti perasaan bersama dari kesetiaan dan pengkhianatan. Understanding adalah kemampuan untuk membedakan emosi-emosi yang muncul dari persepsi, pentingnya mengatasi respon emosi negatif, termasuk kemampuan untuk memahami ekspresi emosional dan tingkah laku lainnya.
d.    Management (pengelolaan), yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan atau tidak menghubungkan emosi-emosi, tergantung kegunaannya pada situasi yang dihadapi.

Henry R Meyer, melihat tiga komponen penting kecerdasan emosional, yakni relasi bisnis, hubungan CEO dengan karyawan dan hubungan keluarga sang CEO. Dari sini sudah nampak arahnya, bahwa kecerdasan emosional tidak lain dimaksudkan untuk pengembangan kepribadian seseorang sebagai pemimpin yang rasional, modern dan humanis. Seorang CEO yang memiliki kecerdasan emosional berarti memiliki enam langkah, yakni pengakuan diri, niat yang teguh untuk berubah, jangka waktu dan disiplin, transformasi, pemantauan periodik terhadap diri sendiri, gaya manajemen yang cerdas secara emosional.
Modal kecerdasan emosional ini penting, sebab posisi CEO di era liberal saat ini sangat sentral. Sentralisme ini bukan karena kekuasaan modalnya, melainkan karena tuntutan merespons arus perubahan eksternal dalam dunia bisnis yang sedang berlangsung. Liberalisasi telah meningkatkan aktivitas kerja namun miskin produktivitas. Dampak lain misalnya, memudarnya hubungan antara antasan dengan bawahan, rasionalitas kaum pekerja dan efektivitas kerja teknologi. Melihat kondisi ini, sudah seyogianya CEO harus benar-benar mampu mengendalikan gerak kerja perusahaan secara efektif. Dalam kondisi seperti itu, seorang CEO tidak bisa bertingkah dan menerapkan pola kebijakan semau-gue; tukang kritik, menekan bawahan atas nama jabatan, menerapkan kebijakan non-transparan (irasional), mengontrol secara kaku, gemar mencari kelemahan pekerja, membuat aturan tanpa melibatkan karyawan.
Jika masih ada bos berkarakter seperti itu, Henry memprediksi, perusahaan akan mengalami involusi, bahkan menuju jurang kebangkrutan. CEO harus benar-benar menempatkan organisasi yang berpandangan jauh ke depan. Katanya, “Seseorang bisa saja memiliki visi, target atau sasaran, tetapi dia masih saja memiliki cara berpikir model lama, terutama dalam kaitannya dengan relasi bos-bawahan, di mana motivasi dan pemberdayaan saja tidak ada. Ini mereduksi sukses peluang Anda. Pengetahuan tentang kecerdasan emosional, dalam pandangan Henry, memberikan kepada seseorang sebuah garis kompetitif dalam bisnis dan bidang aktivitas lainnya. “Kata-kata dapat menggerakkan gunung jika difungsikan secara efisien dan efektif “. Di sini Henry sangat menekankan kepercayaan. Sebab jika seorang CEO tidak dipercaya, dipastikan para karyawan hanya menjalankan tugasnya sebagai bentuk keterpaksaaan dirinya sebagai pekerja yang membutuhkan uang, bukan karena kultur produktif.
Harus diakui pula bahwa seorang CEO sering punya musuh dalam selimut tanpa menyadarinya, dan karenanya menjadi cerdas secara emosional membuat perbedaan besar dalam hal ini. Dalam kecerdasan emosional, kata Henry, seorang pemimpin dituntut harus marah, tapi ia tidak berhak untuk menjadi kejam dan bengis. Pujian adalah obat yang menakjubkan; empati adalah sebuah terapi yang murah.
Perusahaan yang memiliki CEO yang bekerja berdasar pada kecerdasan emosional bisa dilihat dari empat karakter berikut ini, 1) Manajemen dengan motivasi, nilai perusahaan dan pemberdayaan. 2) Manajemen dengan inovasi, teladan dan sasaran. 3) Manajemen dengan kerja tim dan strategi. 4) Manajemen dengan konsultasi dan kolaborasi.
Perusahaan yang dipimpin CEO hebat berbasis kecerdasan emosional bak kampus yang humanis sebab dalam keseharian kerja, perusahaan menekankan rasionalitas hubungan, mentalitas produktif dan pergaulan yang setara antara bos dan karyawan. Semua pekerjaan dilakukan dengan penuh kebahagiaan dan fleksibilitas yang tinggi. Dalam konteks relationships, kecerdasan emosional adalah investasi yang sangat penting. Menjaga hubungan dapat meningkatkan peluang bagi bidang perdagangan yang lebih luas, karena pengenalan melalui orang per orang akhirnya dapat mendatangkan bisnis dan keuntungan yang lebih besar.
Bagaimana hubungan dengan pelanggan?
Kenyataan di era serba-cepat-berubah sekarang ini, produk yang baik tidaklah cukup. Henry menyarankan agar perusahaan tidak hanya bisa menawarkan kualitas produk, tapi juga harus mampu mengantarkan produk melalui kecerdasan emosional kepada pelanggan. Jangan sekadar menjual barang; juallah perasaan yang menyertai pembelian suatu produk, baik itu mobil, kapal atau rumah yang indah; atau pembelian tiket ke tempat eksotik di luar negeri. Pelanggan masa depan terbaik adalah pelanggan terdahulu.
Jika loyalitas pelanggan ini mampu kita jaga, maka mereka akan kembali. Pelayan yang baik adalah mereka yang terlihat gembira, peduli, memberikan informasi, sabar, santun, jujur, banyak akal dan suka minta maaf. Henry melihat, produktivitas dalam penjualan sangat bergantung pada stabilitas emosional, dan ini merupakan sifat penting yang harus diperhatikan semua perusahaan. Seorang CEO yang cerdas secara emosional dipastikan akan memiliki perhatian dan empati terhadap kultur masyarakat. Tugas CEO di era hiper-konsumen sekarang ini benar-benar harus mampu menyelinap masuk dalam ruang emosi masyarakat dengan cara memperhatikan kearifan lokal.
Di level yang lebih mikro, seorang CEO juga harus mampu menjadi pemimpin yang dipercaya dan mampu mengendalikan kehidupan keluarganya. Berbagai pengalaman yang dihimpun dalam buku ini membuktikan, sukses CEO mengelola perusahaan juga ditentukan oleh sukses yang bersangkutan dalam membangun rumah tangga. Jika Francis Fukuyama menganggap bahwa modal sosial adalah penentu kesuksesan seseorang dalam lapangan sosial, ekonomi dan politik, maka buku ini mengajak kita untuk menyadari bahwa modal emosional adalah salah satu penentu kesuksesan dalam dunia bisnis.[3]





Komponen Kecerdasan Emosional
Dari definisi atau pengertian di atas dapat dirumuskan bahwa ada beberapa komponen yang membentuk kecerdasan emosional, yaitu :
1.            Manajemen Diri
Yaitu kemampuan seseorang untuk mengontrol atau mengarahkan dorongan hati dan suasana hati yang akan mengatur prilakunya.
2.            Pemahaman Diri
Adalah kemampuan untuk mengenali dan memahami suasana hati dan kepercayaan diri, dan penilaian diri yang realistis.
3.            Pemahaman Sosial
Ialah kemampuan untuk memahami karakter, emosi orang lain dan juga ketrampilan memperlakukan orang lain sesuai dengan reaksi emosional mereka.
4.            Ketrampilan Sosial
Yaitu kemampuan untuk mengelola hubungan orang-orang yang ada di lingkungannya dan membangun jaringan kerja.

Jadi kecerdasan emosional bisa memainkan peran penting dalam pelaksanaan pekerjaan seseorang, artinya kecerdasan emosional lebih penting dari pada kecerdasan akademik. Seseorang yang mempunyai level kecerdasan emosional yang tinggi akan mempunyai kinerja yang lebih tinggi. Sehingga kecerdasan emosional menjadi ciri orang yang berkinerja tinggi dan mempunyai kemampuan untuk dapat berhubungan lebih baik dangan orang lain.

Langkah-langkah Membangun Kecerdasan Emosional
Ada beberapa langkah yang dibutuhkan untuk dapat membangun kecerdasan emosional, (Michael Armstrong, 2003), yaitu :
1.            Menilai, kecerdasan emosional seperti apa yang dibutuhkan oleh suatu jabatan.
2.            Menilai secara pribadi tingkat kecerdasan emosional mereka yang akan menempati jabatan tersebut.
3.            Mengukur kesiapan orang-orang untuk mau memperbaiki kecerdasan emosionalnya.
4.            Memotivasi orang-orang untuk percaya bahwa pengalaman belajar akan lebih bermanfaat.
5.            Memusatkan perhatian pada sasaran yang jelas.
6.            Mencegah adanya penurunan kemampuan yang tidak dapat dihindari
7.            Memberi umpan balik kinerja
8.            Mendorong orang-orang untuk mau melakukan aplikasi kemajuan dalam praktek kerja.
9.            Memberikan model perilaku yang diinginkan
10.         Mendorong dan menciptakan iklim untuk memperbaiki diri sendiri.
11.         Mengevaluasi, dengan ukuran hasil kinerja yang dapat diandalkan.

Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Kepemimpinan
Tidak terdapat formula khusus bagi kepemimpinan yang hebat, banyak jalan untuk meraih keunggulan kepemimpinan. Pemimpin yang hebat bisa memiliki gaya personal yang berbeda, namun pemimpin yang efektif tipikalnya menunjukkan keunggulan pada salah satu kompetensi dari keempat bidang kecerdasan emosional. Hal tersebut diperkuat hasil penelitian Goleman (1999), bahwa pemimpin yang ideal mempunyai kompetensi personal dan kompetensi sosial. Kompetensi Personal, yang meliputi :
1.            pengaruh kecerdasan emosional terhadap kepemimpinan dan organisasi
1.    Kesadaran Diri :
·         Kesadaran diri emosional : dapat membaca diri dan mengenali dampaknya, menggunakan insting,nyali untuk memandu pembuatan keputusan.
·         Penilaian Diri : secara akurat dapat mengukur kekuatan dan keterbatasan diri-sendiri.
·         Kepercayaan Diri: perasaan akan harga diri dan kemampuan diri yang baik.
2.    Manajemen Diri :
·         Kendali Diri emosi : mengendalikan emosi dan gerak hati yang mengganggu.
·         Transparansi : menunjukkan kejujuran dan integritas; terpercaya
·         Pencapaian : hasrat untuk memperbaiki performa untuk mencapai standard keunggulan diri.
·         Adaptabilitas : maksudnya bisa fleksibel dalam mengatasi perubahan
·         Inisiatif : kesiapan untuk bertindak dan mengambil keputusan
·         Optimisme : selalu melihat sisi baik, setiap kejadian.
2.            Kompetensi Sosial, yang terdiri dari :
1.    Kesadaran Sosial:
·         Empaty : merasakan emosi orang lain, memahami perspektif mereka, dan berminat dengan urusan mereka
·         Kesadaran organisasi : dapat membaca arus, jaringan pembuat keputusan dan politik pada tingkat organisasi.
·         Pelayanan : mengenali dan memenuhi kebutuhan pendukung, klien dan konsumen.
2.    Manajemen Hubungan :
·      Pengaruh : dapat menggunakan teknik persuasif yang efektif.
·      Manajemen konflik : dapat menyelesaikan perselisihan yang timbul, dengan baik
·      Inspiratif : memandu dan memotivasi dengan pandangan yang mendorong.
·      Katalis perubahan : memulai, mengatur dan memimpin jalan ke arah yang baru
·      Membangun ikatan : menebar dan mempertahankan jaringan/hubungan yang ada
·      Kerja tim dan Kolaborasi : mengedepankan kerjasama dan membangun tim.

Dengan demikian seseorang pemimpin/manajer yang hebat bukanlah seseorang yang melakukan kesia-siaan dengan mempelajari bakat baru, akan tetapi mereka yang lebih focus menyesuaikan bakat yang dimiliki dengan tuntutan peran (sebagai pemimpin). Jadi kecocokan antara peran, bakat ,kompetensi dan kecerdasan emosional adalah faktor penting dalam menentukan performa seorang pemimpin.

Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Organisasi
Organisasi/Perusahaan harus memusatkan perhatian pada kebutuhan pelanggan, hal tersebut telah membawa kesadaran akan pentingnya menyatukan sikap dan komitmen semua individu yang ada di dalamnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka secara efektif. Organisasi yang mengharapkan dapat berkinerja dengan baik atau mempunyai produktivitas yang tinggi haruslah beranggotakan atau mempunyai karyawan/ orang-orang yang sesuai dengan budaya ‘unik’ dari organisasi yang bersangkutan.
Orang-orang yang dimaksud adalah mereka yang memiliki Kecerdasan emosional yang memadai. Untuk itu dalam melakukan perekrutan tenaga kerja atau anggota, haruslah melakukan evaluasi secara menyeluruh, yaitu memilih karyawan/anggota berdasarkan pada empat elemen utama pada kecerdasan emosional, yaitu : kesadaran diri; manajemen diri;
Dimulai dari perekrutan anggota/karyawan berdasarkan elemen kecerdasan emosional, organisasi/perusahaan akan mendapatkan individu-individu yang bermanfaat tinggi, sehingga keberhasilan organisasi bukanlah menjadi sesuatu yang sulit. Karena dengan kecerdasan emosional yang dimiliki individu-individu di dalam organisasi maka akan terbentuk 5 pola utama yang dapat mewujudkan suatu lingkungan yang seimbang di dalam organisasi, artinya karyawan tidak hanya akan mencari dan meningkatkan keberhasilan diri mereka sendiri, akan tetapi juga keberhasilan organisasi mereka.
Lima pola utama tersebut menurut Department of Trade and Industry and Departmen Education (1997) adalah :
1.            Tujuan bersama, artinya semua individu dalam organisasi memahami bisnis/usaha yang sedang dijalankan
2.            Budaya bersama, yaitu mamahami dan menyetujui nilai-nilai yang dapat menyatukan mereka
3.            Pembelajaran bersama, maksudnya secara berkelanjutan mereka mau dan mampu memperbaiki diri sendiri.
4.            Usaha bersama, menyadari bahwa perusahaan/organisasi adalah suatu bisnis yang dikendalikan oleh tim yang fleksibel, sehingga arus informasi yang mengalir dari dan untuk tim akan meningkatkan keefektifan mereka.
5.            Informasi bersama, mengutamakan komunikasi yang efektif di seluruh organisasi/ perusahaan .

  1. Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual atau yang biasa dikenal dengan SQ (bahasa Inggris: spiritual quotient) adalah kecerdasan jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan kemungkinan untuk menerapkan nilai- nilai positif. SQ merupakan fasilitas yang membantu seseorang untuk mengatasi persoalan dan berdamai dengan persoalannya itu. Ciri utama dari SQ ini ditunjukkan dengan kesadaran seseorang untuk menggunakan pengalamannya sebagai bentuk penerapan nilai dan makna. Kecerdasan spiritual yang berkembang dengan baik akan ditandai dengan kemampuan seseorang untuk bersikap fleksibel dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, memiliki tingkat kesadaran yang tinggi, mampu menghadapi penderitaan dan rasa sakit, mampu mengambil pelajaran yang berharga dari suatu kegagalan, mampu mewujudkan hidup sesuai dengan visi dan misi, mampu melihat keterkaitan antara berbagai hal, mandiri, serta pada akhirnya membuat seseorang mengerti akan makna hidupnya
Menurut Ary Ginanjar Agustian (2003) menjelaskan bahwa Spiritual Quotient (SQ) berisi suara hati dan hati adalah bagian dari aspek spiritualitas. Emosi adalah getaran pada kalbu yang terjadi akibat tersentuhnya spiritualitas seseorang. God Spot berisi kekuatan spiritual manusia yang tertutup oleh berbagai belenggu, paradigma atau cover.
Menurut Harjani Hefni (2008) menerangkan bahwa suara hati adalah suara kebenaran yang ditiupkan Allah kepada manusia bersamaan dengan peniupan ruh pada jasad. Suara hati tidak bisa dibohongi dan berkata apa adanya. Suara hati mempunyai berbagai pengaruh positif terhadap jiwa. Untuk lebih memahami suara hati memerlukan pemahaman dan pengenalan nama-nama dan sifat-sifat Allah, sebab konsekwensi dari tuntutan nama-nama dan sifat-sifat Allah itulah ditiupkan kepada kita dan menjadi suara hati yang tertancap kokoh di alam sanubari.
Manusia dikarunia Tuhan Yang Maha Kuasa potensi luar biasa berupa pikiran yang perlu dikelola dengan baik. Dalam pikiran tersebut ada dua hal yang melandasi sifat, sikap, dan perilaku seseorang, yaitu pikiran yang negatif dan positif. Dalam kehidupan nyata sifat positif dan negatif tersebut tercermin dalam perbuatan baik dan buruk.
Pikiran yang dapat terkelola dengan baik akan berdampak positif dalam kehidupan, orang yang cerdas mempunyai kelebihan dalam mengolah dan menggunakan informasi yang terekam dalam otaknya. Akan tetapi dalam kehidupan tidak hanya cukup dengan kecerdasan otak (Intelektual Quotient disingkat dengan IQ), perlu diseimbangkan dengan Kecerdasan Spiritual (Emotional Quotient disingkat dengan EQ), dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient disingkat dengan SQ). Sehingga dengan pengelolaan pikiran yang seimbang terhadap ketiga kecerdasan tersebut yaitu IQ, EQ, dan SQ maka kehidupan yang diharapkan oleh semua orang (paripurna) atau suksesnya seseorang dalam berkarir akan mudah didapatkan[4].
 SQ dalam bukunya Danah Zohar dan Ian Marshall (SQ : Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, 2000) dikatakan adalah Kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya; menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
SQ adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego atau jiwa sadar. SQ menjadikan manusia yang benar-benar utuh secara intelektual, emosional dan spiritual. SQ adalah kecerdasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat membantu manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh.
Namun, pada zaman sekarang ini terjadi krisis spiritual karena kebutuhan makna tidak terpenuhi sehingga hidup manusia terasa dangkal dan hampa. Ada tiga sebab yang membuat seseorang dapat terhambat secara spiritual, yaitu tidak mengembangkan beberapa bagian dari dirinya sendiri sama sekali, telah mengembangkan beberapa bagian, namun tidak proporsional, dan bertentangannya / buruknya hubungan antara bagian-bagian.
Zohar (SQ, Mizan : 2001) mengatakan “Enam Jalan Menuju Kecerdasan Spiritual yang Lebih Tinggi” dan “Tujuh Langkah Praktis Mendapatkan SQ Lebih Baik”.  Tetapi sebelum Zohar menguraikan jalan-jalan itu, ia membagi Kepribadian Manusia (dengan menggunakan Topografi Kepribadian Jung yang dimodifikasi) menjadi 6 yaitu; 1) Kepribadian Konvensional, 2) Kepribadian Sosial, 3) Kepribadian Incestigatif, 4) Kepribadian Artistik, 5) Kepribadian Realistik, 6) Kepribadian Pengusaha. (Semestinya di MBTI-Jung ada 16 Type Kepribadian).[5]
Spiritually berkaitan dengan apa yang paling penting dalam pengalaman manusia, yaitu berbagi kemampuan dan keterampilan dalam memberdayakan seorang untuk hidup secara harmonis dengan nilai hidup yang tinggi dan bergeser dari ketidakmampuan untuk menjawabke arah tujuan hidup yang jelas(Bowel,2010)[6]

Zohar selanjunya mengatakan; Bila SQ seseorang telah berkembang dengan baik, maka tanda-tanda yang akan terlihat pada diri seseorang adalah (1) Kemampuan bersikap fleksibel, (2) Tingkat kesadaran diri tinggi, (3) kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, (4) kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit, (5) kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, (6) keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu, (7) kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan holistik), (8) kecenderungan nyata untuk bertanya “Mengapa?” atau “Bagaimana jika?” untuk mencari jawaban yang mendasar, (9) memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.

Kecerdasan Spiritual dalam Kaitannya dengan Manajemen
Kecerdasan Spiritual (SQ) Kaitannya dengan manajemen sangat bermanfaat karena dengan kemampuan seorang pemimpin menempatkan diri dan mengetahui arah dan tujuan yang jelas dalam menjalani kehidupan, menjadikan seseorang baik pemimpin maupun pengelola cerdas dan memiliki kemampuan dan arah yang jelas dalam menentukan tujuan satu organisasi.  Kecerdasan Spiritual(Spiritual Intelligence) memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
·         Kesadaran akan diri sendiri, yaitu pengetahuan terhadap nilai yang diyakini dan apa yang memberikan motivasi hidup.
·         Spontanitas, yaitu hidup dengan memberikan respins terhadap masa dan keadaan yang dihadapi
·         Memiliki visi dan nilai yang ditunjukkan melalui keyakinan dan prinsip-prinsip
·         Melihat sesuatu secara keseluruhan dengan jalan memahami secara luas pola-pola hubungan yang mengandung makna dan perasaan memiliki
·         Gairah hidup, yaitu memiliki kualitas perasaan yang baik dan empati
·         Memahami perbedaan dengan jalan menghargai orang lain dan perbedaan yang dimilikinya.
·         Mandiri, yaitu kemampuan untuk melawa arus dengan orang banyak dan tidak tergantung pada pengaruh satu orang
·         Kemanusiaan, yatiu memiliki kemampua untuk mengambil peran dalam kehidupan,
·         Kemampuan untuk mengajukan berbagai pertanyaan fundamental, seperti “ mengapa?”  yang membutuhkan pemahaman terhadap sesuatu secara mendalam
·         Kemampuan untuk membingkai kembali pengalaman-pengalaman masa lalu dalam konteks yang lebih bermakna
·         Secara positif dapat memanfaatkan berbagai perbedaan dengan jalan belajar melalui kesalahan
·         Kesediaan untuk memberikan pelayanan dan memberikan sesuatu yang bernilai.[7]

G.   Peranan Alam dan Lingkungan dalam Mempengaruhi Intelligence
Beberapa psikolog (seperti Herrnstein & Murray, 1994; Toga & Thompson, 2005) berpendapat bahwa kecerdasan kebanyakan merupakan produk keturunan-bahwa kecerdasan anak-anak sebagian besar ditentukan oleh kecerdasan orang tua mereka dan sudah ditetapkan pada hari pertama mereka dikandung. Pakar lain (seperti Gordon & Bhattacharyya, 1994; Plomin, 1989; Rifkin, 1998) dengan sama-sama tegas berpendapat bahwa kecerdasan dibentuk kebanyakan oleh factor di dalam lingkungan social seseorang, seperti seberapa banyak dibacakan dan dibicarakan kepada anak tertentu. Kebanyakan peneliti setuju bahwa keturunan maupun lingkungan memainkan peran penting bagi kecerdasan (Petrill & Wilkerson, 2000).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah :
1.    Faktor Bawaan atau Keturunan
Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 - 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 - 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal.


2.    Faktor Lingkungan
Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting. Jelas bahwa anak-anak yang orang tuanya berpencapaian tinggi secara rata-rata lebih mungkin pada dirinya menjadi orang yang berpencapaian tinggi, tetapi hal ini terjadi karena lingkungan keluarga yang diciptakan oleh orang tua yang berpencapaian tinggi maupun karena genetika (Turkheimer, 1994). Salah satu bagian penting bukti yang mendukung pandangan lingkungan ialah bahwa sekolah sendiri jelas mempengaruhi nilai[8]

H.   Multiple intelligence

Kecerdasan menurut Howard Gardner, merupakan kemampuan untuk menangkap situasi baru serta kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu seseorang. Kecerdasan bergantung pada konteks, tugas serta tuntutan yang diajukan oleh kehidupan kita, dan bukan tergantung pada nila IQ, gelar perguruan tinggi atau reputasi bergengsi.
Kita bisa mencontohkan apakah Einstein akan sukses seperti itu bila dia masuk di Jurusan Biologi atau belajar main bola dan musik ? jelas masalah fisika-teoritis Einstein, Max Planc, Stephen Howking, Newton adalah jenius-jenius, tetapi bab olah-raga maka Zidane, Jordane, Maradona adalah jenius-jenius dilapangan, juga Mozart, Bach adalah jenius-jenius dimusik. Dst..dst…juga Thoman A. Edison adalah jenius lain, demikian juga dengan para sutradara film, bagaimana mereka mampu membayangkan harus disyuting bagian ini, kemudian setelah itu, adegan ini, ini yang mesti keluar dengan pakaian jenis ini, latar suara ini, dan bahkan dialog seperti itu, ini adalah jenius-jenius bentuk lain. Disinilah Howard Gardner mengeluarkan teori baru dalam buku Frame of Mind, tentang Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk), dimana dia mengatakan bahwa era baru sudah merubah dari Test IQ yang melulu hanya test tulis (dimana didominasi oleh kemampuan Matematika dan Bahasa), menjadi Multiple Intelligences.
Intellegence (Kecerdasan) masih menurut Howard Gardner adalah kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dan dalam situasi nyata (Gardner; 1983;1993).
Multiple intelegencies = Kecerdasan Ganda meliputi;
1.            Intelegensi Linguistik
2.            Intelegensi matematis-Logis
3.            Intelegensi Ruang-Spasial
4.            Intelegensi Kinestetik-badani
5.            Intelegensi Musik
6.            Intelegensi Interpersonal
7.            Intelegensi Intrapersonal
8.            Intelegensi lingkungan/Naturalis (Perkembangan selanjutnya dari 7)
9.            Intelegensi eksistensial (Perkembangan lebih lanjut dari 8)

Awal dalam bukunya, hanya 7 kecerdasan, tetapi dikemudian hari dan sampai sekarang berkembang menjadi 8, 9 bahkan terakhir katanya 10 kecerdasan. Kekurangan atau problem, tapi juga mungkin kelebihan, dari teori kecerdasan ganda adalah, kecerdasan ini bisa berkembang terus, sebab tergantung syarat yang bisa dipenuhinya. Gardner (dalam Frame of Mind: The Theory of multiple Intelligences; 1985) menyatakan; “kecerdasan kandidat” dalam modelnya “lebih menyerupai pertimbangan artistic ketimbang penaksiran ilmiah” (hal 63). Dengan demikian, kecerdasan tambahan sebanyak apapun bisa dimasukkan kedalam model Gardner, karena menurutnya: “Tidak ada, dan tidak akan pernah ada, daftar kecerdasan manusia yang tidak terbantahkan dan diterima secara universal….kita bisa lebih mendekati tujuan itu jika kita berpegang hanya pada satu tingkat analisis (misalnya neurofisiologis)” (hal 60). (Barbara K. Given, “Brain-Based Teaching”, hal 75).
Gardner menetapkan syarat khusus yang harus dipenuhi oleh setiap kecerdasan agar dapat dimasukkan dalam teorinya; Empat diantaranya adalah;
1.            Setiap kecerdasan dapat dilambangkan
misal matematika jelas mempunyai lambang, Musik ada lambing (not dll), kinestetik ada lambing atau irama gerak dst, lambaian tangan, untuk selamat tinggal atau mau tidur dll.
2.            Setiap Kecerdasan mempunyai riwayat perkembangan
Artinya tidak seperti IQ yang meyakini bahwa kecerdasan itu mutlak tetap dan sudah ditetapkan saat kelahiran atau tidak berubah, MI (Multiple Intelligences) percaya bahwa kecerdasan itu muncul pada titik tertentu dimasa kanak-kanan, mempunyai periode yang berpotensi untuk berkembang selama rentang hidup, dan berisikan pola unik yang secara berlahan atau cepat semakin merosot seiring dengan menuanya seseorang. Kecerdasan paling awal muncul adalah Musik lalu Logis-Matematis.
3.            Setiap Kecerdasan rawan terhadap cacat akibat kerusakan atau cedera pada wilayah otak tertentu
Misal orang dengan kerusakan pada Lobus Frontal pada belahan otak kiri, tidak mampu berbicara atau menulis dengan mudah, namun tanpa kesulitan dapat menyanyi, melukis dan menari. Orang yang lobus Temporalnya kanan yang rusak, mungkin mengalami kesulitan dibidang music tetapi dengan mudah mampu bicara, membaca dan menulis. Pasien dengan kerusakan pada Lobus oksipital belahan otak kanan mengkin mengalami kesulitan dalam mengenali wajah, membayangkan atau mengamati detail visual[9].
Kecerdasan linguistic ada pada belahan otak kiri, sementara music, spatial dan antarpribadi cenderung di belahan otak kanan. Kinestetik-jasmani menyangkut kortek motor, ganglia basal, dan serebellum (otak kecil). Lobus frontal mengambil peran penting pada kecerdasan intrapribadi (intrapersonal).
4.            Setiap kecerdasan mempunyai keadaan akhir berdasar nilai budaya.
Artinya tidak harus matematis-logis yang penting atau Spatial atau Musik atau tergantung budaya masing-masing misal ada kemampun naik kuda, melacak jejak dll dalam budaya tertentu itu sangat-sangat penting dst.
Inilah empat syarat yang diberikan oleh Howard Gardner, makanya teorinya berkembang dari 7 Kecerdasan (Linguistik, Logis-Matematis, Musik, Spatial-Visual, Kenestetik, Intrerpersonal dan intrapersonal) Menjadi 9 (tambahan 2 yaitu; Naturalis dan terbaru Eksistensialis). Adalah menarik sebagai contoh; bagaimana anda menghafal nomor telpon? Apakah anda mengulang-ngulang nomor tadi sebelum menelpon (ini berarti anda menggunakan teknik Liguistik) atau anda menbayangkan pola tombol yang harus anda tekan dalam pola peletakan tombol angka-angka (menggunakan metode Spatial-Visual) atau malah anda mengingat-ingat nada khas tiap-tiap angka (strategi Musikal).
Perincian Kecerdasan Majemuk
Sembilan Jenis Kecerdasan
1.            kecerdasan linguistik, adalah kecerdasan dalam mengolah kata. Ini merupakan kecerdasan para jurnalis, juru cerita, penyair, dan pengacara. Jenis pemikiran inilah yang menghasilkan King Lear karya Shakespeare, Odyssey karya Homerus, dan Kisah Seribu Satu Malam dari Arab. Orang yang cerdas dalam bidang ini dapat berargu-mentasi, meyakinkan orang, menghibur, atau mengajar dengan efektif lewat kata-kata yang diucapkannya. Mereka senang bermain-main de­ngan bunyi bahasa melalui teka-teki kata, permainan kata (pun), dan tongue twister. Kadang-kadang mereka pun mahir dalam hal-hal kecil, sebab mereka mampu mengingat berbagai fakta. Bisa jadi mereka adalah ahli sastra. Mereka gemar sekali membaca, dapat menulis dengan jelas, dan dapat mengartikan bahasa tulisan secara luas.
2.            Kecerdasan Logis-matematis, adalah kecerdasan dalam hal angka dan hgika. Ini merupakan kecerdasan para ilmuwan, akuntan, dan pemrogram komputer. Newton menggunakan kecerdasan ini ketika ia menemukan kalkulus. Demikian pula dengan Einstein ketika ia menyu-sun teori relativitasnya. Ciri-ciri orang yang cerdas secara logis-mate-matis mencakup kemampuan dalam penalaran, mengurutkan, berpikir dalam pola sebab-akibat, menciptakan hipotesis, mencari keteraturan konseptual atau pola numerik, dan pandangan hidupnya umumnya bersifat rasional.
3.            Kecerdasan Spasial adalah jenis kecerdasan yang ketiga, mencakup bapikir dalam gambar, serta kemampuan untuk mencerap, mengubah, dan menciptakan kembali berbagai macam aspek dunia visual-spasial. Kecerdasan ini merupakan kecerdasan para arsitek, fotografer, artis, pilot, dan insinyur mesin. Siapa pun yang merancang piramida di Mesir, pasti mempunyai kecerdasan ini. Demikian pula dengan tokoh-tokoh seperti Thomas Edison, Pablo Picasso, dan Ansel Adams. Orang dengan tingkat kecerdasan spasial yang tinggi hampir selalu mempunyai kepekaan yang tajam terhadap detail visual dan dapat menggambarkan sesuatu dengan begitu hidup, melukis atau membuat sketsa ide secara jelas, serta dengan mudah menyesuaikan orientasi dalam ruang tiga dimensi.
4.            Kecerdasan musikal adalah jenis kecerdasan keempat. Ciri utama kecerdasan ini adalah kemampuan untuk mencerap, menghargai, dan menciptakan irama dan melodi. Bach, Beethoven, atau Brahms, dan juga pemain gamelan Bali atau penyanyi cerita epik Yugoslavia, se-muanya mempunyai kecerdasan ini. Kecerdasan musikal juga dimiliki orang yang peka nada, dapat menyanyikan lagu dengan tepat, dapat mengikuti irama musik, dan yang mendengarkan berbagai karya musik dengan tingkat ketajaman tertentu.
5.            Kecerdasan kinestetik-jasmani, adalah kecerdasan fisik. Kecer­dasan ini mencakup bakat dalam mengendalikan gerak tubuh dan kete-rampilan dalam menangani benda. Atlet, pengrajin, montir, dan ahli bedah mempunyai kecerdasan kinestetik-jasmani tingkat tinggi. De­mikian pula Charlie Chaplin, yang memanfaatkan kecerdasan ini untuk melakukan gerakan tap dance sebagai "Little Tramp". Orang dengan ke­cerdasan fisik memiliki keterampilan dalam menjahit, bertukang, atau merakit model. Mereka juga menikmati kegiatan fisik, seperti berjalan kaki, menari, berlari, berkemah, berenang, atau berperahu. Mereka adalah orang-orang yang cekatan, indra perabanya sangat peka, tidak bisa tinggal diam, dan berminat atas segala sesuatu.
6.            Kecerdasan Antarpribadi. Ini adalah ke­mampuan untuk memahami dan bekerja sama dengan orang lain. Ke­cerdasan ini terutama menuntut kemampuan untuk mencerap dan tang-gap terhadap suasana hati, perangai, niat, dan hasrat orang lain. Direk-tur sosial sebuah kapal pesiar harus mempunyai kecerdasan ini, sama halnya dengan pemimpin perusahaan besar. Seseorang yang mempunyai kecerdasan antarpribadi bisa mempunyai rasa belas kasihan dan tanggung jawab sosial yang besar seperti Mahatma Gandhi, atau bisa juga suka memanipulasi dan licik seperti Machiavelli. Namun, mereka semua mempunyai kemampuan untuk memahami orang lain dan melihat dunia dari sudut pandang orang yang bersangkutan. Oleh karena itu, mereka dapat menjadi networker, perunding, dan guru yang ulung.
7.            Kecerdasan Intrapribadi atau kecer­dasan dalam diri sendiri. Orang yang kecerdasan intrapribadinya sangat baik dapat dengan mudah mengakses perasaannya sendiri, membedakan berbagai macam keadaan emosi, dan menggunakan pemahamannya sendiri untuk memperkaya dan membimbing hidupnya. Contoh orang yang mempunyai kecerdasan ini, yaitu konselor, ahli teologi, dan wirau-sahawan. Mereka sangat mawas diri dan suka bermeditasi, berkontemplasi, atau bentuk lain penelusuran jiwa yang mendalam. Sebaliknya, mereka juga sangat mandiri, sangat terfokus pada tujuan, dan sangat disiplin. Secara garis besar, mereka merupakan orang yang gemar bela-jar sendiri dan lebih suka bekerja sendiri daripada bekerja dengan orang lain. (Armstrong: 1999: 3-6)
8.            Kecerdasan Naturalis (Lingkungan). Gardner menjelaskan inteligensi lingkungan sebagai kemampuan seseorang untuk dapat mengerti flora dan fauna dengan baik, dapat membuat distingsi konsekuensial lain dalam alam natural; kemampuan untuk memahami dan menikmati alam; dan menggunakan kemampuan itu secara produktif dalam berburu, bertani, dan mengembangkan pengetahuan akan alam. Orang yang punya inteligensi lingkungan tinggi biasanya mampu hidup di luar rumah, dapat berkawan dan berhubungan baik dengan alam, mudah membuat identifikasi dan kla-sifikasi tanaman dan binatang. Orang ini mempunyai kemam­puan mengenal sifat dan tingkah laku binatang, biasanya mencintai lingkungan, dan tidak suka merusak lingkungan hidup. Salah satu contoh orang yang mungkin punya inteligensi lingkungan tinggi adalah Charles Darwin. Kemampuan Dar­win untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi serangga, burung, ikan, mamalia, membantunya mengembangkan teori evolusi.
Inteligensi lingkungan masih dalam penelitian lebih lanjut karena masih ada yang merasa bahwa inteligensi ini sudah termasuk dalam inteligensi matematis-logis. Namun, Gardner berpendapat bahwa inteligensi ini memang berbeda dengan inteligensi matematis-logis.
9.            Kecerdasan Eksistensial, intelegensi ini menyangkut kemampuan seseorang untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam eksistensi atau keberadaan manusia. Orang tidak puas hanya menerima keadaannya, keberadaannya secara otomatis, tetapi mencoba menyadarinya dan mencari jawaban yang ter­dalam. Pertanyaan itu antara lain: mengapa aku ada, mengapa aku mati, apa makna dari hidup ini, bagaimana kita sampai ke tujuan hidup. Inteligensi ini tampaknya sangat berkembang pada banyak filsuf, terlebih filsuf eksistensialis yang selalu mempertanyakan dan mencoba menjawab persoalan eksistensi hidup manusia. Filsuf-filsuf seperti Sokrates, Plato, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Kindi, Ibn Rusyd, Thomas Aquinas, Descartes, Kant, Sartre, Nietzsche termasuk mempunyai inteligensi eksistensial tinggi.
Anak yang menonjol dengan inteligensi eksistensial akan mempersoalkan keberadaannya di tengah alam raya yang besar ini. Mengapa kita ada di sini? Apa peran kita dalam dunia yang besar ini? Mengapa aku ada di sekolah, di tengah teman-teman, untuk apa ini semua? Anak yang menonjol di sini sering kali mengajukan pertanyaan yang jarang dipikirkan orang, termasuk gurunya sendiri. Misalnya, tiba-tiba ia bertanya, "Apa manusia semua akan mati? Kalau semua akan mati, untuk apa aku hidup?"
Ingatlah bahwa meskipun Anda merasa sangat cocok dengan salah satu atau dua definisi di atas, sebenarnya Anda mempunyai semua ke­cerdasan itu. Tambahan lagi, setiap manusia normal dapat mengem-bangkan ketujuh jenis kemampuan itu sampai ke tingkat penguasaan tertentu. Setiap pribadi adalah unik, sebagaimana ketujuh/Delapan/Sembilan kecerdasan itu memperlihatkan bentuknya dalam kehidupan kita. Jarang sekali ada orang yang dapat mencapai tingkat penguasaan yang tinggi dalam enam, tujuh atau delapan kecerdasan tersebut. Ibn Sina atau Al Kindi mungkin beberapa orang dengan kecerdasan yang sangat banyak. Ia Dokter ulung, filosof, ahli bahasa, Negarawan, penulis dll, Al Kindi juga Dokter, Pemusik handal (konon katanya ia menyembuhkan penyakit orang dengan music), Filosof, penulis, penerjemah dengan penguasaan berbagai bahasa, dan pemilik kebun-binatang yang cukup luas dan lengkap. Rudolf Steiner, pemikir Jerman awal abad ke-20 juga. Ia adalah filsuf, penulis, dan ilmuwan. Ia juga menciptakan sistem dansa, teori warna, dan sistem berkebun, sekaligus pematung, ahli teori sosial, dan arsitek.

Manfaat Multiple Intelligence bagi seseorang dalam mencapai kesuksesan
Howard Gardner mengatakan, walaupun diidentifikasi ada sembilan kecerdasan, tetapi mesti diingat bahwa pada dasarnya kita memiliki ke sembilan kecerdasan itu, dengan komposisi dan proporsi yang berbeda-beda. Intinya adalah;
a) Setiap orang memiliki kesembilan kecerdasan itu. Semua kecerdasan itu bekerja berbarengan dengan cara yang berbeda-beda. Tetapi sebagian lebih menonjol dibanding sebagian yang lain.
b) Orang pada umumnya dapat mengembangkan setiap kecerdasan sampai pada tingkat penguasaan yang memadai. Kata hanya memadai ini penting. Artinya bila seseorang tidak punya bakat, talent maka kalaupun dia berusaha itu hanya mampu sampai tingkat memadai, bukan super atau jenius.
c) Kecerdasan pada umumnya bekerja bersamaan dengan cara yang komplek. Kecerdasan selalu berinteraksi satu sama lain. Untuk bermain bola misalnya, seorang pemain bola, semacam Zidane, disamping punya kecerdasan kinestetik-Jasmani, mereka pasti memiliki kecerdasan Spatial (control bola panjang, tendangan volley, mencari posisi dan lain-lain, juga kecerdasan Interpersonal, bekerjasama dalam team, mengoperkan bola ke kawan untuk dimasukkan, bukan individual, juga matematis-logis, mengira-ngira kecepatan bola, dengan langkah-langkah dia dan seterusnya,
 d) Setiap kecerdasan keluar dengan berbagai macam cara dan variasi. Orang bisa tidak mampu berpidato (linguistic), walau ia sangat piawai dalam bercerita. Orang mungkin tidak mampu berolah raga dengan baik (kinestetik), walau ia sangat mahir dalam merajut atau lainnya (Amstrong, 2000; 16-18).

Tentu saja, ada ratusan, jika tidak ribuan, jenis usaha, masing-masing dengan misi dan masalah sendiri-sendiri. Sama seperti tidak ada dua orang yang persis sama, tidak ada dua bisnis yang adalah identik. MI itu dirancang untuk mengetahui gambaran potensi individual, walaupun demikian kita juga tahu bahwa organisasi adalah gabungan dari manusia-manusia dan seringkali dianalogkan dengan manusia. Orang tertentu punya sifat tertentu memiliki kapasitas kemungkinan produktivitas tertentu ditempat tertentu.

Jadi penting bagi individu, orang tua, guru, kepala sekolah/manajer atau pemimpin perusahaan untuk mengetahui potensi intelegensi dari diri sendiri dan karyawan lalu mengembangkannya. Setelah menyimak penjelasan di atas dapat disimpulkan semua manusia terlahir cerdas, bahkan menurut Howard Gardner manusia terlahir dengan 9 s.d 10 jenis kecerdasan. Dengan porsi yang berbeda - beda. Sekarang tinggal dilihat dimana letak potensi kecerdasan dominan dari setiap individu.

 Karena salah satu kunci kesuksesan adalah dengan terus mengembangkan potensi yang ada dalam diri kita. Begitu juga kunci kesuksesan suatu perusahaan, yaitu memiliki individu - individu berkualitas yaitu orang - orang yang mengenal potensinya (the right man in the right place)

I.      Implementasi Multipe Intelegensi dalam Kurikulum
Pengembangan potensi intelegensi, yang mencakup kemampuan kognitif, psikomotorik dan afektif, adalah beberapa aspek yang menjadi tujuan akhir dari proses pembelajaran. Di sini intelegensi tidak semata-mata dimaknai kecakapan dalam aspek kognitif semata, namun aspek psikomotorik dan afektif juga menjadi indikator kecerdasan (intelegensi).
Teori multiple intelegensi, dengan menitikberatkan pengembangan kecakapan (kecerdasan) majemuk, bisa dijadikan sebagai pendekatan dalam desain dunia pendidikan. Kesadaran fitrah manusia, yang dibekali dengan potensi berbeda (faktor gen) dan hidup dalam lingkungan yang berbeda (faktor lingkungan), diharapkan akan mampu menampilkan bentuk kurikulum pendidikan yang dinamis. Artinya, kurikulum pendidikan, mulai dari infrastruktur, materi ajar, pendidik, tenaga kependidikan, dan stakeholders diharapkan akan mampu mengembangkan potensi peserta didik yang beraneka ragam. Melalui pendekatan ini pula, diharapkan dunia pendidikan mampu melihat potensi peserta didik.
Implementasi teori multiple intelegensi dalam kurikulum bisa dibatasi dengan menciptakan kurikulum pembelajaran yang selaras dengan dimensi intelegensi yang dicakup dalam teori multiple intelegensi. Upaya ini diharapkan lebih bisa mendiagnosis potensi para peserta didik, serta tepat dalam pengembangan potensi-potensi tersebut.
Adapun dimensi psikologis yang diharapkan akan menjadi titik pijak desain kurikulum pendidikan sebagaimana kami sampaikan di atas, yaitu 1) Kecerdasan linguistic (linguistik intelligence); 2) Intelegensi logis-matematis (logical matematich); 3) Intelegensi musik (musical intelegence); 4) Intelegensi Kinestetik; 5) Intelegensi Visual-spasial; 6) Intelegensi Interpersonal; 7) Intelegensi Intrapersonal; 8) Intelegensi Naturalis; 9) Intelegensi Emosional; dan 10) Intelegensi Spiritual.
Kesepuluh dimensi tersebut, diharapkan akan menjadi karakter kurikulum pendidikan. Sehingga akan mudah dilakukan diagnosis terhadap potensi para peserta didik, dan akan lebih memudahkan dalam optimalisasi potensi peserta didik

J.    Pendekatan dan Impementasi Multiple Intelegensi Dalam pembelajaran
Kemampuan-kemampuan yang termasuk dalam sepuluh aspek kecerdasan majemuk (multiple intelegensi) yang dimiliki oleh masing-masing orang tersebut di atas adalah merupakan potensi intelektual. Salah satu contoh kongkrit potensi intelektual adalah kemampuan seseorang dalam mengikuti proses pembelajaran.
Pembelajaran sendiri dipandang sebagai suatu proses pengembangan aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif seseorang pada lingkungan tertentu. Menurut Kemendiknas, pembelajaran adalah pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap baru pada saat seseorang berinteraksi dengan informasi dan lingkungan.
Pembelajaran tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan multiple intelegensi. Dengan menggunakan pendekatan multiple intelegensi, maka pengembangan aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif peserta didik akan maksimal.
Adapun implementasi penerapan multiple intelegensi sebagai pendekatan dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
1.    Proses pembelajaran yang mengembangkan intelegensi verbal linguistic
Proses pembelajaran yang mengembangkan intelegensi verbal linguistic dapat merangsang perkembangnya multi intelegensi dalam setiap mata pelajaran. Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam pembelajaran untuk mengembangkan intelegensi verbal linguistic dalam pembelajaran adalah mendengarkan materi yang akan dibahas dari kaset maupun dari informasi yang langsung disampaikan oleh guru, diskusi kelas, membuat hasil laporan pengamatan, melakukan kegiatan wawancara, mencari bahan untuk melengkapi tugas, menulis karya ilmiah dan sebagainya.\
2.    Pembelajaran yang mengembangkan intelegensi logika matematika
Dalam proses pembelajaran, yang patut diperhatikan adalah penerapan konsep dasar materi pembelajaran secara tepat. Penerapan intelegensi logika matematika dalam pembelajaran IPA dapat melalui beberapa cara, yaitu:
a.    Metoda Ilmiah
Metoda ilmiah adalah suatu cara untuk menemukan produk ilmiah dengan langkah-langkah yang logis dan matematis. Proses umum metode ilmiah secara empiris adalah:
1) Menemukan masalah;
2) Menyusun hipotesa atau dugaan sementara;
3) Menguji hipotesis dengan melakukan percobaan;
4) Menarik kesimpulan; dan
5) Menguji kesimpulan.
b.    Berfikir secara Ilmiah Berdasarkan Kurikulum
c.    Logika Deduktif
Logika deduktif adalah cara berfikir dengan menguraikan konsep yang umum ke konsep yang khusus. Contohnya :
1) Silogisme, yaitu argumen yang tersusun dari dasar pemikiran dan  kesimpulan;
2) Diagram venn, yakni menggunakan lingkaran yang saling melengkapi untuk membandingkan sekumpulan informasi.
d.    Logika Induktif
Logika induktif adalah cara berfikir seseorang dengan mempertimbangkan kenyataan fakta khusus kepada kasimpulan umum dengan menggunakan analogi.
e.    Meningkatkan Belajar dan Berfikir
Meningkatkan berfikir siswa, guru dalam pembelajaran menggunakan media pembelajaran.
f.     Proses Berfikir secara Matematika
Matematika mata pelajaran yang khusus berfikir abstrak dan sulit, sehingga anak tidak tertarik. Untuk itu guru dapat menyusun pembelajaran dengan pola gambar, grafik, dan pembuatan kode untuk menimbulkan keingintahuan.
g.    Bekerja dengan angka-angka
Siswa yang menyukai ketelitian akan menemukan kesenangan bekerja dengan angka-angka seperti pengukuran, peluang, masalah-masalah dalam bentuk cerita.

h.    Teknologi yang meningkatkan intelegensi logi-matematika
Siswa dapat belajar dengan efektif dengan menggunakan software yang menarik.
3.    Proses pembelajaran yang mengembangkan intelegensi music. Musik memilki kaitan yang erat dengan emosional seseorang, yaitu:
a) Memberikan suasana yang ramah ketika siswa memasuki ruangannya;
b) Menawarkan efek yang meredakan setelah melakukan aktivitas fisik;
c) Melancarkan peralihan antar kelas;
d) Membangkitkan kembali energy yang mulai sedikit;
e) Mengurangi strees;
f) Menciptakan suasana positif di sekolah;
4.    Proses pembelajaran yang mengembangkan intelegensi kinestetik
Ada bermacam-macam aktivitas tectile-kinestetik yang bertujuan untuk mempertinggi pembelajaran siswa di segala usia, yaitu:
a) Lingkungan fisik: daerah ruang kelas, dalam merencanakan ruang kelas, para pengajar membuat ruangan yang bisa membuat perasaan siswa menjadi senang;
b) Drama: teater, permainan peran, drama kreatif, simulasi (keadaan yang meniru) keadaan sebenarnya;
c) Gerak kreatif : memahami pengetahuan jasmaniah, memperkenalkan aktifitas gerak kreatif,menerapkan gerak kreatif keahlian dasar, menciptakan isi yang lebih terarah dari aktivitas gerakan;
d) Tari : bagian-bagian tari, rangkaian pembelajaran melalui tari;
e) Memainkan alat-alat: kartu-kartu tugas, teka-teki kartu tugas, menggambar alat-alat tambahan, membuat tanda-tanda bagi ruang kelas.
f) Permainan ruangan kelas: binatang buruan (binatang pemakan bangkai) permainan-permainan lantai besar, permainan-permainan merespon gerak fisik secara meanyeluruh, permainan mengulang hal yang umum;
5.    Proses belajar yang mengembangkan intelegensi visual spasial
Proses belajar ini merupakan suatu proses yang mengembangkan kemampuan persepsi, imajinasi dan estestika. Ada 3 komponen dari gambaran visual:
a) Gambaran eksternal yang kita rasakan;
b) Gambaran internal yang kita impikan/kita bayangkan;
c) Gambaran yang kita ciptakan melalui gambar yang tak beraturan.
6.    Proses belajar yang mengembangkan intelegensi interpersonal
Adapun cara belajar dengan mengembangkan pendekatan intelegensi interpersonal dengan membangun lingkungan interpersonal yang positif, yaitu:
1) Lingkungan kelas hangat dan terbuka;
2) Guru dan siswa bersama-sama membuat tata tertib dan sanksi berdasarkan kemanusiaan;
3) Proses pembelajaran saling ketergantungan yaitu melakukan peran aktif dan kontribusi darai semua siswa;
4) Belajar bertujuan untuk belajar dari kurikulum, dari teman dan dari pengalaman;
5) Tugas dan tanggung jawab dibagi rata, sehingga setiap anggota kelas merasa penting dalam kelas;
6) Pembelajaran kolaboratif;
7) Penanganan konflik;
8) Belajar melalui tugas sosial/jasa;
9) Menghargai perbedaan;
10) Membangun persfektif yang beragam;
11) Pemecahan masalah global dan local dalam pendidikan multicultural;
12) Tekhnologi yang meningkatkan intelegensi interpersonal;
7.    Proses belajar yang mengembangkan intelegensi intrapersonal
Adapun penerapan pendekatan intelegensi intrapersonal adalah sebagai berikut:
a) Membangun suatu lingkungan untuk mengembangkan pengetahuan diri;
b) Penopang penghargaan diri;
c) Penyusunan dan pencapaian tujuan;
d) Keterampilan berfikir;
e) Pendidikan keterampilan emosional dalam kelas;
f) Mengetahui diri sendiri melalui orang lain;
g) Merefleksikan ketakjupan dan tujuan hidup;
h) Belajar mengarahkan diri sendiri;
i) Teknologi yang mempertinggi intelegensi interpersonal.
8.    Proses pembelajaran yang mengembangkan intelegensi naturalism
Proses pembelajaran ini merupakan suatu proses yang mengembangkankemampuan naturalism pada siswa yaitu:
a)  Menata lingkungan sekolah yang hijau dan asri;
b) Dalam mempelajari materi yang berhubungan dengan klasifikasi tumbuhan, ekosistem, pencemaran lingkungan siswa diajak langsung ke alam;
c) Sekolah menyediakan alat bantu pelajaran seperti torso dan charta tentang organ-organ tubuh manusia;
d) Menerapkan pelajaran pertanian atau perikanan yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing;
e) Sekolah mengembangkan proses pembelajaran yang dapat membangkitkan kepedulian siswa terhadap lingkungan;
9.    Proses pembelajaran yang mengembangkan intelegensi emosional
Pembelajaran emosional dapat meningkatkan sistem pembelajaran kognitif, dimana dengan cara ini otak emosional terlibat dalam pembelajaran/penalaran sama kuatnya dengan otak berfikir. Prinsip ini harus diterapkan oleh guru dalam mengajar. Menurut Goleman, 1995 (dalam barbara k.given, 2002). Hal-hal yang dapat diterapkan oleh guru dalam mengembangkan intelegensi emosional adalah sebagai berikut:
a) Sebaiknya guru dalam mengawali pelajaran dengan sikap lemah lembut, dengan cara bertahap meningkatkan antusiame;
b) Menciptakan suasana kelas seperti yang diinginkan siswa;
c) Guru bias menggerakkan siswa perlahan-lahan menuju keadaan sosial emosional yang berbeda;
d) Dalam mengajar hendaknya guru mengembangkan rasa humor yang bisa menurunkan ketegangan yang mungkin timbul akibat ketidak selarasan antara guru dan siswa.
10. Proses pembelajaran yang mengembangkan intelegensi spiritual
Dalam proses pembelajaran sebaiknya memperluas cakupan dari ayat- ayat Al Qur’an serta makna-makna yang terkandung di dalamnya, sehingga mengakar di dalam jiwa dan pikiran siswa dengan cara menarik hikmah dari materi pembelajaran yang disampaikan kepada siswa.
















BAB III
KESIMPULAN


A.   Kesimpulan
Intelegensi mengandung unsur-unsur yang sama dengan yang dimaksudkan dalam istilah intelektual, yang menggambarkan kemampuan seseorang dalam berpikir dan bertindak dan Intelektual berarti cerdas, berakal, berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan dan mempunyai kecerdasan tinggi, cendikiawan dan totalitas pengertian atau kesadaran terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman.
Adapun tipe – tipe intelektual antara lain : Inteligensi kristal, Fleksibilitas kognitif, Fleksibilitas visuomotor dan Visualisasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan intelektual, Menurut Mappiare (1982), antara lain bertambahnya informasi yang disimpan dalam otak seseorang sehingga mampu berpikir reflekstif, banyaknya pengalaman dan latihan-latihan memecahkan masalah.
            Pendidikan diharapkan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik. Pendidikan dengan berbagai muatan kurikulum di dalamnya hendaknya dapat mendorong anak didik berfikir lebih kreatif dan inovatif. Dalam pengimplementasiannya pendidikan di Indonesia perlu memajukan SDM nya dalam bidang intelektual agar dapat bersaing dengan SDM negara lain.  Implementasi Intelektual dalam Dunia Pendidikan

B.   Rekomendasi
1.    Pendidik semaksimal mungkin memfasilitasi perbedaan kecerdasan para peserta didik agar kegiatan pembelajaran dapat berlangsung efektif dan efisien.
2.    Guru harus bijaksana dalam menyikapi perbedaan kecerdasan para peserta ddik agar peserta didik mampu mencapai keberhasilan dalam belajar secara maksimal.
3.    Kepada orang tua diharapkan mengetahui dan memahami tingkat kecerdasan anaknya dan ikut berperan serta dalam membimbing peserta agar peserta didik dapat memanfaatkan kemampuan yang dimiliki.
4.    Kepada peserta didik diharapkan untuk belajar tekun dan terus meningkatkan kemampuan intelek.


























DAFTAR PUSTAKA


Anita Woolfolk (2007). Educational Psychology (ninth edition, International edition). Boston: Pearson education, Inc.

Jamaris, Martini. (2013).Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Bogor : Ghalia Indonesia.

John W. Santrock (2001). Educational Psychology (international edition). Boston: Mc Graw Hill

Dr. Henry R.Meyer. Manajemen dengan Kecerdasan Emosional(Nuansa Books, Bandung 2007


http://mukhoiyaroh.blogspot.com/2012/11/pendidikan-multikultural.html
http://amriblog-amriblog.blogspot.com/2012/02/makalah-intelegensi.html





[1] Anita Woolfolk, educational physicology, Pustaka Pelajar, 2009
[2] http://yogieaffandi.blogspot.com/2011/09/teori-teori-dan-pendekatan-pendekatan.html
[3] Dr. Henry R.Meyer. Manajemen dengan Kecerdasan Emosional(Nuansa Books, Bandung 2007.

[4] Jamaris, Martini. (2013).Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Bogor : Ghalia Indonesia.
[5] http://pendidikanpositif.wordpress.com/2012/09/28/konsep-spiritual-multiple-intelligence-dalam-diri-kita-iq-mi-sq-dan-smi-seri-2/
[6] Prof. Dr. Martini Jamaris, M.Sc.Ed, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, Ghalia Indonesia, 2012)
[7] Prof. Dr. Martini Jamaris, M.Sc.Ed, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, Ghalia Indonesia, 2012)
[8] Anita Woolfolk (2007). Educational Psychology (ninth edition, International edition). Boston: Pearson education, Inc.
[9] Thomas Amstrong, 1999, hal 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar