PARADIGMA PENELITIAN
A. Paradigma Penelitian
Metodologi penelitian adalah totalitas cara yang dipakai peneliti untuk
menemukan kebenaran ilmiah. Kebenaran adalah kebenaran. Cara adalah cara.
Tetapi seringkali peneliti mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap
kebenaran dibandingkan dengan penelitian lain. Jika cara pandang terhadap
kebenaran ini di perbeda, maka metodologi yang digunakan kemungkinan berbeda.
Inilah yang disebut dengan paradigma.
Paradigma adalah cara pandang atau melihat sesuatu yang hidup dalam diri
seseorang dan mempengaruhi orang tersebut dalam memandang realitas sekitarnya.
Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana
cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti
terhadap ilmu atau teori yang dikonstruksi sebagai suatu pandangan yang
mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang
semestinya dipelajari. Paradigma penelitian juga menjelaskan bagaimana peneliti
memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk
menjawab masalah penelitian (Guba & Lincoln, 1988: 89-115).
Mengacu pada definisi paradigma tersebut, terungkap bahwa paradigma ilmu
itu amat beragam, hal ini didasarkan pada pandangan dan pemikiran filsafat yang
dianut oleh masing-masing ilmuwan berbeda-beda. Dimana, masing-masing aliran
filsafat tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta
memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Perbedaan aliran filsafat
yang dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan tersebut, kemudian berakibat
pada perbedaan paradigma yang dianut, baik menyangkut tentang hakikat apa yang
harus dipelajari, obyek yang diamati, atau metode yang digunakan. Perbedaan
paradigma yang dianut para ilmuan ternyata tidak hanya berakibat pada perbedaan
skema konseptual penelitian, melainkan juga pada pendekatan yang melandasi
semua proses dan kegiatan penelitian.
Istilah paradigma pertama kali
diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962), dan kemudian dipopulerkan oleh Robert
Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas
sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode
of knowing yang spesifik. Definisi tersebut
dipertegas oleh Friedrichs (1980), sebagai suatu pandangan yang mendasar dari
suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya
dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer, dengan menyatakan
paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang
menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu
cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
Norman K. Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi;
epistemologi, ontologi, dan metodologi.
1. Epistemologi mempertanyakan tentang bagimana cara kita mengetahui sesuatu,
dan apa hubungan antara peneliti dengan pengetahuan.
2.
Ontologi berkaitan dengan
pertanyaan dasar tentang hakikat realitas.
Dari
definisi dan muatan paradigma ini, Zamroni mengungkapkan tentang posisi
paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang
berkaitan dengan; (1) apa yang harus dipelajari; (2) persoalan-persoalan apa
yang harus dijawab; (3) bagaimana metode untuk menjawabnya; dan (4)
aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang
diperoleh.
Menurut Kuhn, perkembangan ilmu
tidak selalu berjalan linear, karena itu tidak benar kalau dikatakan
perkembangan ilmu itu bersifat kumulatif. Penolakan Kuhn didasarkan pada hasil
analisisnya terhadap perkembangan ilmu itu sendiri yang ternyata sangat berkait
dengan dominasi paradigma keilmuan yang muncul pada periode tertentu. Bahkan
bisa terjadi dalam satu waktu, beberapa metode pengetahuan berkembang bersamaan
dan masing-masing mengembangkan disiplin keilmuan yang sama dengan paradigma
yang berlainan. Perbedaan paradigma dalam mengembangkan pengetahuan, menurut
Kuhn, akan melahirkan pengetahuan yang berbeda pula. Sebab bila cara berpikir (mode
of thought) para ilmuwan berbeda satu sama lain dalam menangkap suatu
realitas, maka dengan sendirinya pemahaman mereka tentang realitas itu juga
menjadi beragam. Konsekwensi terjauh dari perbedaan mode of thought ini
adalah munculnya keragaman skema konseptual pengembangan pengetahuan yang
kemudian berakibat pula pada keragaman teori-teori yang dihasilkan.
Mengacu pada Kuhn, dapat dikatakan
bahwa paradigma ilmu itu amat beragam. Keragaman paradigma ini pada dasarnya
adalah akibat dari perkembangan pemikiran filsafat yang berbeda-beda sejak
zaman Yunani. Sebab sudah dapat dipastikan, bahwa pengetahuan yang didasarkan
pada filsafat Rasionalisme akan berbeda dengan yang didasarkan Empirisme, dan
berbeda dengan Positivisme, Marxisme dan seterusnya, karena masing-masing aliran
filsafat tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta
memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Menurut Ritzer (1980),
perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan akan
berakibat pada perbedaan paradigma yang dianut. Paling tidak terdapat tiga
alasan untuk mendukung asumsi ini; (1) pandangan filsafat yang menjadi dasar
ilmuwan untuk menentukan tentang hakikat apa yang harus dipelajari sudah
berbeda; (2) pandangan filsafat yang berbeda akan menghasilkan obyek yang
berbeda; dan (3) karena obyek berbeda, maka metode yang digunakan juga berbeda.
Dalam hubungannya dengan metodologi
peneltian, paradigma yang dimiliki peneliti pasti akan memperngaruhi metodologi
penelitian yang akan dipillihnya. Seperti yang kita kenal dengan metodologi
yang bernuansa kualitatif, kuantitatif, humanis, partikularis, multiperspektif,
positivis dan lainnya. Atau yang dikenal dengan
penelitian deskriptif, eksploratoris, eksplanatif, korelasional, kausal
rasionalis, relativis dan sebagainya. Namun secara umum, paradigma
penelitian diklasifikasikan dalam 2 kelompok yaitu penelitian kuantitatif dan
penelitian kualitatif. Pendekatan kuantitatif dibangun berlandaskan
paradigma positivisme dari August Comte (1798-1857), sedangkan penelitian
kualitatif dibangun berlandaskan paradigma fenomenologis dari Edmund Husserl
(1859-1926).
Pendekatan kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun
berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang
menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Paradigma ini
disebut juga dengan paradigma tradisional (traditional), eksperimental
(experimental), atau empiris (empiricist). Dalam penelitian
kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan (knowledge) yang
valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang
berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang tertangkap
lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason).
Sementara penelitian dengan pendekatan kualitatif adalah satu model
penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam
peristiwa sosialatau budaya. Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat
dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama perilaku individu
dan gejala sosial. Pendekatan kualitatif lahir dari akar filsafat aliran
fenomenologi hingga terbentuk paradigma post positivisme.
Pendekatan ini memandang bahwa realitas sosial yang tampak sebagai suatu
fenomena dianggap sesuatu yang ganda (jamak). Artinya realitas yang tampak
memiliki makna ganda, yang menyebabkan terjadinya realitas tadi. McMillan dan
Schumacher (2001:396) menyebut realitas sosial dalam penelitian kualitatif ini
sebagai: “…reality as multilayer, interactive, and a shared social
experience interpreted by indviduals”.
Dengan demikian dalam penelitian kualitatif, realitas sosial yang terjadi
atau tampak, jawabannya tidak cukup dicari sampai apa yang menyebabkan realitas
tadi, tetapi dicari sampai kepada makna dibalik terjadinya realitas sosial yang
tampak. Oleh karena itu, untuk dapat memperoleh makna dari realitas sosial yang
terjadi, pada tahap pengumpulan data perlu dilakukan secara tatap muka langsung
dengan individu atau kelompok yang dipilih sebagai responden atau informan yang
dianggap mengetahui atau pahami tentang entitas tertentu seperti: kejadian,
orang, proses, atau objek, berdasarkan cara pandang, persepsi, dan sistem
keyakinan yang mereka miliki. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh McMillan
dan Schumacher (2001:395), bahwa: “Interactive qualitative research is
inquary in which researhers collect data in face to face situations by
interacting with selected persons in their settings (field research).
Qualitative research describes and analyzes people’s individual and collective
social actions, beliefs, thoughts, and perceptions. The researcher
interprets phenomena in term of meanings people bring to them”.
Menurut Indiantoro & Supomo masing-masing paradigma atau pendekatan
ini mempunyai kelebihan dan juga kelemahan, sehingga untuk menentukan
pendekatan atau paradigma yang akan digunakan dalam melakukan penelitian
tergantung pada beberapa hal di antaranya;
1.
Jika ingin melakukan
suatu penelitian yang lebih rinci yang menekankan pada aspek detail yang kritis
dan menggunakan cara studi kasus, maka pendekatan yang sebaiknya dipakai adalah
paradigma kualitatif. Jika penelitian yang dilakukan untuk mendapat kesimpulan
umum dan hasil penelitian didasarkan pada pengujian secara empiris, maka
sebaiknya digunakan paradigma kuantitatif
2.
Jika penelitian ingin
menjawab pertanyaan yang penerapannya luas dengan obyek penelitian yang banyak,
maka paradigma kuantitaif yang lebih tepat, dan jika penelitian ingin menjawab
pertanyaan yang mendalam dan detail khusus untuk satu obyek penelitian saja,
maka pendekatan naturalis lebih baik digunakan.
B. Paradigma Penelitian Kuantitatif
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan
oleh Thomas Kuhn (1962), dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs
(1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang
dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu,
yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Definisi
tersebut dipertegas oleh Friedrichs, sebagai suatu pandangan yang mendasar dari
suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya
dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan
menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang
apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu
cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
Paradigma kuantitatif menekankan pada pengujian
teori melalui pengukuran variabel penelitian dengan angka dan melakukan
analisis data dengan prosedur statistik. Penelitian yang menggunakan pendekatan
deduktif yang bertujuan untuk menguji hipotesis merupakan penelitian yang menggunakan
paradigma kuantitatif. Paradigma ini disebut juga dengan paradigma tradisional
(traditional), positivis (positivist), eksperimental (experimental),
atau empiris (empiricist).
Metode kuantitatif berakar pada paradigma tradisional, positivistik, eksperimental
atau empiricist. Metode ini berkembang dari tradisi pemikiran empiris
Comte, Mill, Durkeim, Newton dan John Locke. “Gaya” penelitian kuantitatif
biasanya mengukur fakta objektif melalui konsep yang diturunkan pada
variabel-variabel dan dijabarkan pada indikator-indikator dengan memperhatikan
aspek reliabilitas. Penelitian kuantitatif bersifat bebas nilai dan konteks,
mempunyai banyak “kasus” dan subjek yang diteliti, sehingga dapat ditampilkan
dalam bentuk data statistik yang berarti. Hal penting untuk dicatat di sini
adalah, peneliti “terpisah” dari subjek yang ditelitinya.Dalam penelitian
kuantitatif atau positivistik, yang dilandasi pada suatu asumsi bahwa suatu
gejala dapat itu dapat diklasifikasikan, dan hubungan gejala bersifat kausal
(sebab akibat), maka peneliti dapat melakukan penelitian dengan memfokuskan
kepada beberapa variabel saja. Pola hubungan antara variabel yang akan diteliti
tersebut selanjutnya disebut sebagai paradigma penelitian.
Paradigma
Kuantitatif, juga dikenal dengan;
a.
paradigma
tradisional, positivis, eksperimental, empiris
b.
menekankan
pada pengujian teori-teori melalui pengukuran variabel penelitian dengan angka dan melakukan analisis data dengan
prosedur statistik.
Jadi paradigma penelitian dalam hal ini diartikan sebagai pola pikir yang
menunjukan hubungan antara variabel yang akan diteliti yang sekaligus
mencerminkan jenis dan jumlah rumusan masalah yang perlu dijawab melalui
penelitian, teori yang digunakan untuk merumuskan hipotesis, jenis dan jumlah
hipotesis, dan teknik analisis statistik yang akan digunakan. Berdasarkan hal
ini maka bentuk – bentuk paradigma atau model penelitian kuantitatif khususnya
untuk penelitian survey seperti berikut :
1. Paradigma
Sederhana
Paradigma penelitian
ini terdiri atas satu variabel independen dan dependen. Paradigma penelitian
ini terdiri atas satu variabel independen dan dependen. Hal ini dapat
digambarkan sebagai berikut.
Berdasarkan paradigma
tersebut, maka dapat ditentukan :
a. Jumlah
rumusan masalah deskriptif ada dua, dan asosiatif ada satu yaitu :
1) Rumusan
masalah deskriptif (dua)
a) Bagaimana
X? (Kualitas guru)
b) Bagaimana
Y? (Prestasi belajar murid)
2) Rumusan
masalah asosiatif/hubungan (satu)
Bagaimana hubungan atau
pengaruh kualitas alat dengan kualitas barang yang dihasilkan.
a. Teori
yang digunakan ada dua, yaitu teori tentang media pendidikan dan prestasi
belajar.
b. Hipotesis
yang dirumuskan ada dua macam hipotesis deskriptif dan hipotesis asosiatif
(hipotesis deskriptif sering tidak dirumuskan)
2. Paradigma
sederhana berurutan
Dalam paradigma ini
terdapat lebih dari dua variabel, tetapi hubungannya masih sederhana. Paradigma
sederhana, menunjukan hubungan antara satu variabel independen dengan satu
variabel dependen secara berurutan. Untuk mencari hubungan antar variabel (X₁ dengan X₂;
X₂ dengan
X₃
dan X₃
dengan Y) tersebut digunakan teknik korelasi sederhana. Naik turun harga Y
dapat diprediksi melalui persamaan regresi Y atas X₃,
dengan persamaan Y = a + bX₃.
3. Paradigma
ganda dengan dua variabel independen
Dalam paradigma ini
terdapat dua variabel independen dan satu dependen. Dalam paradigma ini terdapat 3 rumusan
masalah deskriptif dan 4 rumusan masalah asosiatif (3 korelasi sederhana dan 1
korelasi ganda).
4. Paradigma
ganda dengan tiga variabel independen
Dalam paradigma ini
terdapat tiga variabel independen (X₁, X₂, X₃) dan
satu dependen
(Y). Rumusan masalah deskriptif ada 4 dan rumusan masalah
asosiatif (hubungan) untuk yang sederhana ada 6 dan yang ganda minimal 1.
5. Paradigma
ganda dengan dua variabel dependen
Paradigma ganda dengan
satu variabel independen dan dua dependen. Untuk mencari besarnya hubungan
antara X dan Y₁,
dan X dengan Y₂
digunakan teknik korelasi sederhana. Demikian juga untuk Y₁
dengan Y₂.
Analisis regresi juga dapat digunakan di sini.
6. Paradigma
ganda dengan dua variabel independen dan dua dependen
Dalam paradigma ini
terdapat dua variabel independen dan dua dependen (Y₁
dan Y₂).
terdapat 4 rumusan masalah deskriptif, dan enam rumusan masalah hubungan
sederhana. Korelasi dan regresi ganda juga dapat digunakan untuk menganalisis
hubungan antara variabel secara simulan.
7. Paradigma
jalur
Paradigma jalur
merupakan variabel yang berfungsi sebagai jalur antara (X₃).
dengan adanya variabel antara ini, akan dapat digunakan untuk mengetahui apakah
untuk mencapai sasaran akhir harus melewati variabel antara itu atau bisa
langsung ke sasaran akhir.
Paradigma kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun
berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang
menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Karena penolakannya
terhadap unsur metafisis dan teologis, positivisme kadang-kadang dianggap
sebagai sebuah varian dari Materialisme (bila yang terakhir ini dikontraskan
dengan Idealisme).
Dalam penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan (knowledge)
yang valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu
pengetahuan yang berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience)
yang tertangkap lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason).
Secara epistemologis, dalam penelitian kuantitatif diterima suatu paradigma,
bahwa sumber pengetahuan paling utama adalah fakta yang sudah pernah terjadi,
dan lebih khusus lagi hal-hal yang dapat ditangkap pancaindera (exposed to
sensory experience). Hal ini sekaligus mengindikasikan, bahwa secara
ontologis, obyek studi penelitian kuantitatif adalah fenomena dan
hubungan-hubungan umum antara fenomena-fenomena (general relations between
phenomena). Yang dimaksud dengan fenomena di sini adalah sejalan
dengan prinsip sensory experience yang terbatas pada external
appearance given in sense perception saja. Karena pengetahuan itu
bersumber dari fakta yang diperoleh melalui pancaindera, maka ilmu pengetahuan
harus didasarkan pada eksperimen, induksi dan observasi.
Bagaimana pandangan penganut kuantitatif tentang fakta? Dalam penelitian
kuantitatif diyakini sejumlah asumsi sebagai dasar otologisnya dalam melihat
fakta atau gejala. Asumsi-asumsi dimaksud adalah;
Obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, baik bentuk,
struktur, sifat maupun dimensi lainnya;
Suatu benda atau keadaan tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu
tertentu; dan suatu gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat
kebetulan, melainkan merupakan akibat dari faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Jadi diyakini adanya determinisme atau proses sebab-akibat (causalitas).
Dalam kaitannya dengan poin terakhir, lebih jauh Russel Keat & John Urry,
seperti dikutip oleh Tomagola, mengemukakan bahwa setiap individual event/case
tidak mempunyai eksistensi sendiri yang lepas terpisah dari kendali empirical
regularities. Tiap individual event/case hanyalah manifestasi atau
contoh dari adanya suatu empirical regularities.
Sejalan dengan penjelasan di atas, secara epistemologi, paradigma
kuantitatif berpandangan bahwa sumber ilmu itu terdiri dari dua, yaitu
pemikiran rasional data empiris. Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada
koherensi dan korespondensi. Koheren besarti sesuai dengan teori-teori
terdahulu, serta korespondens berarti sesuai dengan kenyataan empiris. Kerangka
pengembangan ilmu itu dimulai dari proses perumusan hipotesis yang deduksi dari
teori, kemudian diuji kebenarannya melalui verifikasi untuk diproses lebih
lanjut secara induktif menuju perumusan teori baru. Jadi, secara epistemologis,
pengembangan ilmu itu berputar mengikuti siklus; logico, hypothetico,
verifikatif.
Dalam metode kuantitatif, dianut suatu paradigma bahwa dalam setiap
event/peristiwa sosial mengandung elemen-elemen tertentu yang berbeda-beda dan
dapat berubah. Elemen-elemen dimaksud disebut dengan variabel. Variabel dari
setiap even/case, baik yang melekat padanya maupun yang
mempengaruhi/dipengaruhinya, cukup banyak, karena itu tidak mungkin
menangkap seluruh variabel itu secara keseluruhan. Atas dasar itu, dalam
penelitian kuantitatif ditekankan agar obyek penelitian diarahkan pada
variabel-variabel tertentu saja yang dinilai paling relevan. Jadi, di sini
paradigma kuantitatif cenderung pada pendekatan partikularistis.
Lebih khusus mengenai
metode analisis dan prinsip pengambilan kesimpulan, Julia Brannen, ketika
menjelaskan paradigma kuantitatif dan kualitatif, mengungkap paradigma
penelitian kuantitaif dari dua aspek penting, yaitu: bahwa penelitian
kuantitatif menggunakan enumerative induction dan cenderung membuat
generalisasi (generalization). Penekanan analisis data dari pendekatan enumerative
induction adalah perhitungan secara kuantitatif, mulai dari frekuensi
sampai analisa statistik. Selanjutnya pada dasarnya generalisasi adalah
pemberlakuan hasil temuan dari sampel terhadap semua populasi, tetapi karena
dalam paradigma kuantitatif terdapat asumsi mengenai adanya “keserupaan”
antara obyek-obyek tertentu, maka generalisasi juga dapat didefinisikan sebagai
universalisasi.
Paradigma
ibarat sebuah jendela tempat orang bertolak menjelajahi dunia dengan
wawasannya. Sebagian orang menyatakan paradigma (paradigm) sebagai ’intelektual komitmen’, yaitu suatu citra
fundamental dari pokok permasalahan dari suatu ilmu (Salim, 2006). Namun secara
umum menurut Salim (2006) paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat
kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun sesorang dalam bertindak atau
keyakinan dasar yang menuntun sesorang dalam bertindak dalam kehidupan
sehari-hari. Menurut Ihalauw (1985) paradigma menggariskan apa yang seharusnya
dipelajari, pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan, dan kaidah apa yang
seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh (Salim, 2006).
Paradigma
adalah basis kepercayaan utama dari sistem berpikir; basis dari ontologi,
epistemologi, dan metodologi. Dalam
pandangan filosof, paradigma merupakan pandangan awal yang membedakan,
memperjelas dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Hal ini membawa
konsekuensi praktis terhadap prilaku, cara berpikir, intepretasi dan kebijakan
dalam pemilihan masalah. Paradigma memberi representasi dasar yang sederhana
dari informasi pandangan yang kompleks sehingga orang dapat memilih untuk
bersikap atau mengambil keputusan (Salim, 2001)
Menurut
Maleong (2004), ada berbagai macam paradigma, tetapi yang mendominasi ilmu
pengetahuan adalah scientifik paradigm
(paradigma ilmiah) dan naturalistic paradigm (paradigma
almiah). Paradigma imiah bersumber dari pandangan positivisme (lazimnya disebut
sebagai paradigma kuantitatif) sedangkan pandangan alamiah bersumber pada
pandangan fenomenologis (lazimnya
disebut sebagai paradigma kualitatif).
Secara
umum pendekatan penelitian atau sering juga disebut paradigma penelitian dapat
dikelompokan menjadi paradigma penelitian kuantitatif dan penelitian
kualitatif. Dari segi peristilahan, para ahli nampak menggunakan istilah atau
penamaan yang berbeda-beda meskipun mengacu pada hal yang sama. Untuk itu guna
menghindari kekaburan dalam memahami kedua pendekatan ini, berikut akan
dikemukakan penamaan yang dipakai
para ahli dalam penyebutan kedua istilah tersebut lihat Tabel 1 berikut
ini.
Tabel 1.
Penelitian Kualitatif dan
Kuantitatif: Alternatif Penamaan (Labels) dari Berbagai Sumber
Kuantitatif
|
Kualitatif
|
Sumber/Penulis
|
Rasionallistic
|
Naturalistic
|
Guba &Lincoln (1982)
|
Inquiry from the Outside
|
Inquiry from the inside
|
Evered & Louis (1981)
|
Functionalist
|
Interpretative
|
Burrel & Morgan (1979)
|
Positivist
|
Constructivist
|
Guba (1990)
|
Positivist
|
Naturalistic-ethnographic
|
Hoshmand (1989)
|
Sumber : Julia Brannen (1992)
Dalam beberapa referensi tentang paradigma penelitian,
kita dapat menjumpai beberapa nama yang dipergunakan para ahli tentang
metodologi penelitian kualitatif yaitu: grounded research, ethnometodologi,
paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik,
atau holistik. Perbedaan tersebut dimungkinkan karena perbedaan fokus dalam
melihat permasalahan serta latar brlakang disiplin ilmunya. Istilah grounded research lebih berkembang di lingkungan sosiologi dengan tokohnya
Strauss dan Glaser (untuk di Indonesia istilah ini diperkenalkan/dipopulerkan
oleh Stuart A. Schleigel dari Universitas California yang pernah menjadi tenaga
ahli pada Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Banda Aceh pada tahun 1970-an), ethnometodologi lebih berkembang di
lingkungan antropologi dan ditunjang
antara lain oleh Bogdan, interaksi simbolik lebih berpengaruh di pantai
barat Amerika Serikat dikembangkan oleh Blumer, Paradigma naturalistik
dikembangkan antara lain oleh Guba yang pada awalnya memperoleh pendidikan
dalam fisika, matematika, dan penelitian
kuantitatif.
Riwayat
singkat kedua paradigma tersebut adalah sebagai berikut (Bogdan & Taylor
(1975); Crewell (1994); Maleong (2004))
·
Paradigma Kuantitatif (Positivisme) berakar pada pandangan
teoritis Auguste Comte dan Emile Durkheim pada abad ke 19 dan awal abad ke 20.
Para Positivisme mencari fakta dan penyebab femomena sosial dan kurang
mempertimbangkan keadaan subjektifitas individu. Durkhiem menyarakan kepada
ahli ilmu pengetahuan sosial untuk mempertimbangkan ’fakta sosial’ atau
fenomena sosial sebagai sesuatu yang memberikan pengaruh dari luar atau memaksa
pengaruh tertentu terhadap perilaku manusia. Paradigma kuantitatif dinyatakan
sebagai paradigma tradisional, positivisme, eksperimental, atau empiris.
·
Paradigma Kualitatif
(alamiah/fenomenologis) bersumber dari pandangan Max Weber yang diteruskan oleh
Irwin Deutcher. Pendekatan ini berawal dari tindakan balasan terhadap tradisi
positivisme. Pendekatan fenomenologis berusaha memahami perilaku manusia dari
segi kerangka berpikir maupun bertindak orang itu sendiri. Bagi mereka yang
penting ialah kenyataan yang terjadi sebagai yang dibayangkan atau dipikirkan
oleh orang itu sendiri. Paradigma kualitatif menyatakan pendekatan konstruktif
atau naturalistis (Lincoln & Guba), pendekatan interpretatif (J. Smith)
atau sudut pandang postpositivist
(postmodern)
Masing-masing paradigma tersebut
mempunyai seperangkat asumsi yang berbeda (Firestone, 1987; Guba & Linclon,
1988; McCrakeb, 1988). Hal ini penting untuk diketahui karena akan memberikan
arah untuk merancang (mendesain)
penelitian. Tabel 2. Menunjukkan asumsi paradigma kualitatif dan
kuantitatif berdasarkan pendekatan ontologis, epistemologis, aksiologis,
retorika dan metodologis (Creswell, 1994)
Tabel.
2.
Asumsi Paradigma Kuantitatif dan
Kualitatif
Asumsi
|
Pertanyaan
|
Kuantitatif
|
Kualitatif
|
Asumsi Ontologi
|
Apakah sifat dari realita ?
|
Realita adalah obyektif dan tunggal, terpisah dari peneliti
|
Realita adalah subyektif dan banyak/ganda berdasarkan sudut pandang
partisipan dalam suatu penelitian
|
Asumsi Epistemologi
|
Apakah hubungan peneliti dan yang diteliti ?
|
Peneliti independen dari yang diteliti (jadi ada dualisme)
|
Peneliti berinteraksi dengan yang diteliti
|
Asumsi Asiologi
|
Apakah peran nilai?
|
Bebas nilai dan tidak bias
|
Peneliti berinteraksi dengan yang diteliti
|
Asumsi Retorik
|
Apakah bahasa penelitian ?
|
·
Formal
berdasarkan separangkat definisi
·
Nada
impersonal menggunakan kata-kata/istilah-istilah kuantitatif yang telah baku
|
·
Tidak formal
·
Keputusan-keputusan berlangsung terus menerus menggunakan kata-kata
istilah-istilah kualitatif yang telah baku
|
Asumsi Metodologi dikembangkan untuk
|
Apakah proses penelitiannya ?
|
·
Proses deduktif (sebab akibat).
·
Desain yang statis, kategori-kategori yang telah dikelompokkan sebelum
penelitian.
·
Bebas konteks
·
Generalisasi menuntun ke prediksi, penjelasan dan pemahaman.
·
Akurat dan terandalkan serta keterandalan (validitas dan realibilitas)
|
·
Proses induktif.
·
Faktor pembentuknya berlangsung timbal balik dan berkelanjutan.
·
Desain dan kategori-kategori yang muncul dan diindentifikasi selama
proses penelitian.
·
Terikat dengan konteks.
·
Pola-pola, teori-teori melalui melalui ketersahihan pemahaman.
·
Akurat dan terandalkan melalui verifikasi/pembuktian
|
Sumber: Menurut Firestone (1987); Guba & Lincoln (1988)
dan McCracken (1988), dalam Creswell, 1994:4-5
Kedua paradigma pendekatan penelitian tersebut nampak
sekali mempunyai asumsi/aksioma dasar filosofis dan paradigma berbeda yang menurut Lincoln & Guba
(1985) perbedaan tersebut terletak dalam asumsi/aksioma tentang kenyataan,
hubungan pencari tahu dengan tahu (yang diketahui), generalisasi, kausalitas,
dan masalah nilai. Menurut Lincoln &
Guba (1985) pandangan positivisme dari
sudut ontologi meyakini bahwa realitas merupakan suatu yang tunggal dan dapat
dipecah-pecah untuk dipelajari/dipahami
secara bebas, obyek yang diteliti bisa dieliminasikan dari obyek-obyek lainnya,
sedangkan dalam pandangan fenomenologi kenyataan itu merupakan suatu yang utuh,
oleh karena itu obyek harus dilihat dalam suatu konteks natural tidak dalam
bentuk yang terfragmentasi.
Dari sudut epistemologi, positivisme mensyaratkan
adanya dualisme antara subyek peneliti dengan obyek yang ditelitinya, pemilahan
ini dimaksudkan agar dapat diperoleh hasil yang obyektif. Sementara itu dalam pandangan
Fenomenologis subyek dan obyek tidak dapat dipisahkan dan aktif bersama dalam
memahami berbagai gejala. Dari sudut aksiologi, positivisme mensyaratkan agar
penelitian itu bebas nilai agar dicapai obyektivitas konsep dan hukum sehingga
tingkat keberlakuannya bebas tempat dan waktu. Sedangkan dalam pandangan
fenomenologi penelitian itu terikat oleh nilai sehinggan hasil suatu penelitian
harus dilihat sesuai konteks.
Agar lebih jelasnya pada Tabel 3
dapat dilihat perbandingan antara paradigma positivisme dan paradigma alamiah
(fenomenologi).
Tabel 3.
Perbedaan Aksioma Paradigma Positivisme dan Alamiah
No
|
Aksioma Tentang
|
Paradigma
Positivisme
|
Paradigma
Alamiah/Kualitatif
|
1
|
Hakikat kenyatan
|
Kenyataan adalah
tunggal, nyata dan fragmentaris
|
Kenyataan adalah
ganda,dibentuk, dan me-rupakan
keutuhan
|
2
|
Hubungan pencari tahu
dan yang tahu
|
Pencari tahu dengan
yang tahu adalah bebas, jadi ada dualisme
|
Pencari tahu dengan
yang tahu aktif bersama, jadi tidak dapat dipisahkan
|
3
|
Kemungkinan Generalisasi
|
Generalisasi atas dasar
bebas-waktu dan bebas-konteks (pernyataan nomotetik)
|
Hanya waktu dan konteks
yang mengikat hipotesis kerja (pernyataan idiografis) yang dimungkinkan
|
4
|
Kemungkinan hubungan sebab akibat
|
Terdapat penyebab sebenarnya yang secara temporer
terhadap, atau secara simultan terhadap akibatnya
|
Setiap keutuhan berada
dalam keadaan mempe-ngaruhi secara bersama-sama sehingga sukar mem-bedakan
mana sebab dan mana akibat
|
5
|
Peranan nilai
|
Inkuirinya bebas nilai
|
Inkuirinya terikat nilai
|
Sumber: Moleong, 2004:31
Masalah paradigma kuantitatif dan kualitatif hingga
dewasa ini masih terjadi perdebatan, meskipun
banyak ahli pada bidang tertentu memandang hal ini bukan masalah yang
bersifat dikotomis melainkan suatu kontinum. Sekelompok
ahli memandang bahwa paradigma (metode) manapun yang akan digunakan sebenarnya
sangat tergantung pada masalahnya. Bila masalah itu memerlukan jawaban
kualitatif maka paradigma yang harus dipilih adalah kualitatif. Sementara jika
masalah itu bersifat kuantitatif maka paradigma yang dipilih adalah harus
kuantitatif. Sementara sekelompok ahli
mengatakan bahwa kedua paradigma tersebut saling menunjang, dengan suatu
harapan bahwa dengan cara begitulah penelitian akan dapat menyajikan hasil yang
mantap dan jitu.
Menurut
Creswell (1994), untuk menggunakan kedua paradigma secara baik dan akurat
dibutuhkan lebih banyak halaman yang dapat ditelorir editor jurnal. Hal ini
dapat menyebabkan disertasi melewati batas normal ukuran dan skala. Menggunakan
kedua paradigma dalam satu penelitian akan mahal, memakan waktu dan panjang
(Locke, Spirduso, & Silverman, 1987 dalam Creswell, 1994:7). Oleh karena
itu peneliti harus memilih paradigma kualitatif atau kuantitatif dalam suatu
penelitian (paradigma tunggal). Memilih salah satu paradigma penelitian (paradigma
tunggal) bukan berarti paradigma lainnya
dianggap tidak baik. Tidak ada satu paradigma yang sanggup mengungguli
paradigma lainnya, mengingat pilihan paradigma merupakan cara pandang seseorang
(peneliti) terhadap suatu realitas yang tergantung pada keadaan tertentu.
Misalnya dalam bidang ilmu eksak, biasanya paradigma kuantitatif (postivisme)
yang banyak digunakan, sedangkan dibidang sosial, paradigma kualitatif
(fenomenologis) yang mendapat tempat yang mapan (Salim, 2001). Masalahnya
adalah bagaimana peneliti harus memilih salah satu paradigma dalam penelitian?.
Tabel 4. menyajikan kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam memilih salah
satu paradigma (metode) dalam penelitian.
Tabel
4.
Alasan-Alasan Untuk Memilih
Paradigma
Kriteria
|
Paradigma Kuantitatif
|
Paradigma Kualitatif
|
Pandangan peneliti
|
Peneliti cocok dengan asumsi-asumsi ontologi, epistemologi, axiologi,
retorik dan metodologi paradigma kuantitatif
|
Peneliti cocok dengan asumsi-asumsi ontologi, epistemologi, axiologi,
retorik dan metodologi paradigma kualitatif
|
Latihan dan pengalaman peneliti
|
Keahlian penulisan teknis; keahlian statistik komputer; penguasan
kepustakaan.
|
Keahlian penulisan essay; keahlian analisa komputer; penguasan
kepustakaan.
|
Sisi psikologis peneliti
|
Kecocokan dengan aturan-aturan dan panduan-panduan untuk melakukan
penelitian; toleransi yang rendah terhadap ketidakpastian dan waktu yang
singkat.
|
Senang tanpa peraturan dan prosedur khusus melakukan penelitian;
toleransi kerancuan tinggi; waktu untuk penelitian lama.
|
Sifat masalah
|
Pernah diteliti oleh penelitian lain sehingga banyak acuan kepustakaan,
variabel diketahui, teori-teori tersedia.
|
Penelitian pendalaman, variabel tak diketahui, konteks penting mungkin
kurang dasar teori untuk penelitian
|
Pembaca penelitian (editor
jurnal dan pembaca, komite wisuda)
|
Individu-indvidu yang terbiasa dengan atau mendukung penelitian
kuantitatif
|
Individu-indvidu yang terbiasa dengan atau mendukung penelitian
kualitatif
|
Sumber:
Creswell, 1994:8-9
C. Paradigma Penelitian Kuantitatif (
Kaitannya Dengan Filsafat Ilmu)
1. TEKNIK PENELITIAN
Jika
metode penelitian menurut metode ilmiah diartikan sebagai prosedur atau
langkah-langkah teratur yang sistematis dalam menghimpun pengetahuan untuk
dijadikan ilmu,maka teknik penelitian menyangkut cara dan alat (termasuk
kemahiran membuat dan menggunakannya) yang diperlukan untuk mencari tujuan
penelitian.Dengan lain perkataan,teknik penelitian yang menyangkut bagaimana
caranya dan alat-alat penelitian dan alat-alat penelitian apa yang diperlukan
untuk membangun ilmu melalui penelitian.
Pelaksanaan penelitian
dapat dibagi dalam 4 fase kegiatan ;
1. Fase
persiapan
2. Pengumpulan
data atau informasi
3. Pengolahan
data
4. Penulisan
laporan penelitian
Mungkin saja setiap fase penelitian membutuhkan cara dan alat tertentu
atau teknik tertentu.Setiap peneliti harus sudah mengetahui teknik apa yang
diperlukan,dan juga harus mampu mengadakannya serta harus mahir menggunakannya.
Sebagai pegangan
dalam teknk penelitian adalah bagaimana agar segala kegiatan yang dilakukan itu
valid
dan realible,sedemikian
rupa sehingga ilmu sebagai hasil penelitian itu mencapai tingkat kebenaran yang
tinggi atau sebagai ilmu yang terandalkan (sah atau tepat). Oleh karena itu
sebelum masuk pada bahasan teknik penelitian sebaiknya perhatikan cara-cara
mencapai tingkat validitas,melalui pengetahuan tentang sumber-sumber yang dapat
menimbulkan kelemahan atau kesesatan.
Secara umum
terdapat empat macam sumber yang dapat menimbulkan kelemahan atau kesesatan
dalam mencapai validitas dan realibilitass yaitu :
1.
Subjek
(peneliti)
Unsur-unsur yang
mempengaruhi adalah indra,sikap dan
mental,baik dalam berinteraksi dengan objek dalam membuat atau mempergunakan
alat-alat penelitian,menyesuaikan diri dan mengendalikan situasi.
2.
Objek
(yang diteliti)
Unsur-unsur yang
mempengaruhi,misal unsur anggota masyarakat,akan saling mempengaruhi,yang juga
menjadi unsurnya adalah sikap atau mental dan indra oleh situasi dan alat-alat
penelitian.
3.
Alat
yang dipergunakan
Alat yang dipergunakan
untuk menangkap/merekam/mencatat data/informasi dari objek,efektivitas dan atau
fungsinya,dapat dipengaruhi oleh kemahiran subjek dan oleh kondisi objek serta
oleh situasi dimana penelitian dilakukan.
4.
Situasi
(lingkungan)
Unsur fisik/alam/lokasi
daerah,ipoleksosbudhankamgama dapat mempengaruhi sikap/mental baik subjek
maupun objek,bahkan mungkin pula mempengaruhi alat-alat penelitian.
Setelah mengetahui sumber-sumber yang mungkin menimbulkan kelemahan atau
kesesatan fase-fase kegiatan penelitian ,hasilnya sebagai berikut :
1. Fase
persiapan
Langkah-langkah
menetapkan / merumuskan / mengidentifikasi
masalah, menyusun kerangka pikiran / pendekatan masalah, merumuskan hipotesis (jika penelitian
bertujuan memverifikasi),
menentukan
rancangan uji hipotesis / teknil analisis (jika tidak menguji
hipotesis).
2. Fase
pengumpulan data atau informasi
Masih menyangkut
pengujian hipotesis atau teknik analisis.
3. Fase
pengolahan data
Masih bersangkutan
dengan pengujian hipotesis atau teknik analisis.
4. Fase
penyusunan atau penulisan laporan
Berkaitan dengan
langkah pembahasan dan pembuatan
kesimpulan.
Langkah-langkah
Metode Ilmiah
Fase
Kegiatan Teknis
1. Menetapkan/merumuskan/identifikasi
masalah è I. Fase persiapan (menetapkan
2. Menyusun
kerangka pikiran/pendekatan masalah dan menyusun)
3. Merumuskan
hipotesis è
II. Fase pengumpulan
data/infomasi
4. Menguji
hipotesis : Rancangan,Data/Informasi (merumuskan
dan menguji hipotesis)
Yang Diperlukan,dan Analisis/Interpretasi
5. Pembahasan è III. Fase penyusunan laporan
(pembahasan dan penarikan
kesimpulan)
6.
Penarikan Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Ali
Muhidin, Sambas. dkk.2010. Desain Penelitian Kuantitatif.. Bandung: Penerbit Karya
Adhika Utama.
http://polres.multiply.com/journal/item/9. (DARI: PUSAT PENELITIAN IAIN
SUMATRA UTARA MEDAN) diakses 27 Agustus 2011
Irwan Prasetya. 1999. Logika dan Prosedur Penelitian.
Jakarta:STIA-LAN
Margono. 2004. Metodologi
Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Sudarsono, FX. 2004. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif.
Makalah Lokakarya Penyusunan Proposal Penelitian TP FIP UNY.
Susriasumantri, Jujun S Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.1987
Syafaruddin, Filsafat
Ilmu, Bandung, Cita Pustaka Media Perintis, 2009
KESIMPULAN
1.
Paradigma adalah cara pandang
atau melihat sesuatu yang hidup dalam diri seseorang dan mempengaruhi orang
tersebut dalam memandang realitas sekitarnya. Paradigma penelitian merupakan
kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap
fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori yang
dikonstruksi sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu
tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.
2.
Paradigma
kuantitatif menekankan pada pengujian teori melalui pengukuran variabel
penelitian dengan angka dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik.
Penelitian yang menggunakan pendekatan deduktif yang bertujuan untuk menguji
hipotesis merupakan penelitian yang menggunakan paradigma kuantitatif.
Paradigma ini disebut juga dengan paradigma tradisional (traditional),
positivis (positivist), eksperimental (experimental), atau
empiris (empiricist).
3.
Paradigma kuantitatif
berpandangan bahwa sumber ilmu itu terdiri dari dua, yaitu pemikiran rasional
data empiris. Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan
korespondensi. Koheren besarti sesuai dengan teori-teori terdahulu, serta
korespondens berarti sesuai dengan kenyataan empiris. Kerangka pengembangan
ilmu itu dimulai dari proses perumusan hipotesis yang deduksi dari teori,
kemudian diuji kebenarannya melalui verifikasi untuk diproses lebih lanjut
secara induktif menuju perumusan teori baru. Jadi, secara epistemologis,
pengembangan ilmu itu berputar mengikuti siklus; logico, hypothetico,
verifikatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar