Senin, 30 Januari 2017

PARADIGMA PENELITIAN

PARADIGMA PENELITIAN 



A. Paradigma Penelitian
Metodologi penelitian adalah totalitas cara yang dipakai peneliti untuk menemukan kebenaran ilmiah. Kebenaran adalah kebenaran. Cara adalah cara. Tetapi seringkali peneliti mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap kebenaran dibandingkan dengan penelitian lain. Jika cara pandang terhadap kebenaran ini di perbeda, maka metodologi yang digunakan kemungkinan berbeda. Inilah yang disebut dengan paradigma.
Paradigma adalah cara pandang atau melihat sesuatu yang hidup dalam diri seseorang dan mempengaruhi orang tersebut dalam memandang realitas sekitarnya. Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori yang dikonstruksi sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Paradigma penelitian juga menjelaskan bagaimana peneliti memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah penelitian (Guba & Lincoln, 1988: 89-115).
Mengacu pada definisi paradigma tersebut, terungkap bahwa paradigma ilmu itu amat beragam, hal ini didasarkan pada pandangan dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing ilmuwan berbeda-beda. Dimana, masing-masing aliran filsafat tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan tersebut, kemudian berakibat pada perbedaan paradigma yang dianut, baik menyangkut tentang hakikat apa yang harus dipelajari, obyek yang diamati, atau metode yang digunakan. Perbedaan paradigma yang dianut para ilmuan ternyata tidak hanya berakibat pada perbedaan skema konseptual penelitian, melainkan juga pada pendekatan yang melandasi semua proses dan kegiatan penelitian.
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962), dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Definisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs (1980), sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer, dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
            Norman K. Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi; epistemologi, ontologi, dan metodologi.
1.      Epistemologi mempertanyakan tentang bagimana cara kita mengetahui sesuatu, dan apa hubungan antara peneliti dengan pengetahuan.
2.      Ontologi berkaitan dengan pertanyaan dasar tentang hakikat realitas.
3.      Metodologi memfokuskan pada bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan
Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamroni mengungkapkan tentang posisi paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang berkaitan dengan; (1) apa yang harus dipelajari; (2) persoalan-persoalan apa yang harus dijawab; (3) bagaimana metode untuk menjawabnya; dan (4) aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh.
Menurut Kuhn, perkembangan ilmu tidak selalu berjalan linear, karena itu tidak benar kalau dikatakan perkembangan ilmu itu bersifat kumulatif. Penolakan Kuhn didasarkan pada hasil analisisnya terhadap perkembangan ilmu itu sendiri yang ternyata sangat berkait dengan dominasi paradigma keilmuan yang muncul pada periode tertentu. Bahkan bisa terjadi dalam satu waktu, beberapa metode pengetahuan berkembang bersamaan dan masing-masing mengembangkan disiplin keilmuan yang sama dengan paradigma yang berlainan. Perbedaan paradigma dalam mengembangkan pengetahuan, menurut Kuhn, akan melahirkan pengetahuan yang berbeda pula. Sebab bila cara berpikir (mode of thought) para ilmuwan berbeda satu sama lain dalam menangkap suatu realitas, maka dengan sendirinya pemahaman mereka tentang realitas itu juga menjadi beragam. Konsekwensi terjauh dari perbedaan mode of thought ini adalah munculnya keragaman skema konseptual pengembangan pengetahuan yang kemudian berakibat pula pada keragaman teori-teori yang dihasilkan.
Mengacu pada Kuhn, dapat dikatakan bahwa paradigma ilmu itu amat beragam. Keragaman paradigma ini pada dasarnya adalah akibat dari perkembangan pemikiran filsafat yang berbeda-beda sejak zaman Yunani. Sebab sudah dapat dipastikan, bahwa pengetahuan yang didasarkan pada filsafat Rasionalisme akan berbeda dengan yang didasarkan Empirisme, dan berbeda dengan Positivisme, Marxisme dan seterusnya, karena masing-masing aliran filsafat tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Menurut Ritzer (1980), perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan akan berakibat pada perbedaan paradigma yang dianut. Paling tidak terdapat tiga alasan untuk mendukung asumsi ini; (1) pandangan filsafat yang menjadi dasar ilmuwan untuk menentukan tentang hakikat apa yang harus dipelajari sudah berbeda; (2) pandangan filsafat yang berbeda akan menghasilkan obyek yang berbeda; dan (3) karena obyek berbeda, maka metode yang digunakan juga berbeda.
Dalam hubungannya dengan metodologi peneltian, paradigma yang dimiliki peneliti pasti akan memperngaruhi metodologi penelitian yang akan dipillihnya. Seperti yang kita kenal dengan metodologi yang bernuansa kualitatif, kuantitatif, humanis, partikularis, multiperspektif, positivis dan lainnya. Atau yang dikenal dengan  penelitian deskriptif, eksploratoris, eksplanatif, korelasional, kausal rasionalis, relativis dan sebagainya. Namun secara umum, paradigma penelitian diklasifikasikan dalam 2 kelompok yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Pendekatan  kuantitatif dibangun berlandaskan paradigma positivisme dari August Comte (1798-1857), sedangkan penelitian kualitatif dibangun berlandaskan paradigma fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1926).
Pendekatan kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Paradigma ini disebut juga dengan paradigma tradisional (traditional), eksperimental (experimental), atau empiris (empiricist). Dalam penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan (knowledge) yang valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang tertangkap lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason).
Sementara penelitian dengan pendekatan kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosialatau budaya. Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Pendekatan kualitatif lahir dari akar filsafat aliran fenomenologi hingga terbentuk paradigma post positivisme.
Pendekatan ini memandang bahwa realitas sosial yang tampak sebagai suatu fenomena dianggap sesuatu yang ganda (jamak). Artinya realitas yang tampak memiliki makna ganda, yang menyebabkan terjadinya realitas tadi. McMillan dan Schumacher (2001:396) menyebut realitas sosial dalam penelitian kualitatif ini sebagai: “…reality as multilayer, interactive, and a shared social experience interpreted by indviduals”.
Dengan demikian dalam penelitian kualitatif, realitas sosial yang terjadi atau tampak, jawabannya tidak cukup dicari sampai apa yang menyebabkan realitas tadi, tetapi dicari sampai kepada makna dibalik terjadinya realitas sosial yang tampak. Oleh karena itu, untuk dapat memperoleh makna dari realitas sosial yang terjadi, pada tahap pengumpulan data perlu dilakukan secara tatap muka langsung dengan individu atau kelompok yang dipilih sebagai responden atau informan yang dianggap mengetahui atau pahami tentang entitas tertentu seperti: kejadian, orang, proses, atau objek, berdasarkan cara pandang, persepsi, dan sistem keyakinan yang mereka miliki. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh McMillan dan Schumacher (2001:395), bahwa: “Interactive qualitative research is inquary in which researhers collect data in face to face situations by interacting with selected persons in their settings (field research). Qualitative research describes and analyzes people’s individual and collective social actions, beliefs, thoughts, and perceptions. The researcher interprets phenomena in term of meanings people bring to them”.
Menurut Indiantoro & Supomo masing-masing paradigma atau pendekatan ini mempunyai kelebihan dan juga kelemahan, sehingga untuk menentukan pendekatan atau paradigma yang akan digunakan dalam melakukan penelitian tergantung pada beberapa hal di antaranya;
1.        Jika ingin melakukan suatu penelitian yang lebih rinci yang menekankan pada aspek detail yang kritis dan menggunakan cara studi kasus, maka pendekatan yang sebaiknya dipakai adalah paradigma kualitatif. Jika penelitian yang dilakukan untuk mendapat kesimpulan umum dan hasil penelitian didasarkan pada pengujian secara empiris, maka sebaiknya digunakan paradigma kuantitatif
2.        Jika penelitian ingin menjawab pertanyaan yang penerapannya luas dengan obyek penelitian yang banyak, maka paradigma kuantitaif yang lebih tepat, dan jika penelitian ingin menjawab pertanyaan yang mendalam dan detail khusus untuk satu obyek penelitian saja, maka pendekatan naturalis lebih baik digunakan.

B. Paradigma Penelitian Kuantitatif
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962), dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Definisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs, sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
Paradigma kuantitatif menekankan pada pengujian teori melalui pengukuran variabel penelitian dengan angka dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik. Penelitian yang menggunakan pendekatan deduktif yang bertujuan untuk menguji hipotesis merupakan penelitian yang menggunakan paradigma kuantitatif. Paradigma ini disebut juga dengan paradigma tradisional (traditional), positivis (positivist), eksperimental (experimental), atau empiris (empiricist).
Metode kuantitatif berakar pada paradigma tradisional, positivistik, eksperimental atau empiricist. Metode ini berkembang dari tradisi pemikiran empiris Comte, Mill, Durkeim, Newton dan John Locke. “Gaya” penelitian kuantitatif biasanya mengukur fakta objektif melalui konsep yang diturunkan pada variabel-variabel dan dijabarkan pada indikator-indikator dengan memperhatikan aspek reliabilitas. Penelitian kuantitatif bersifat bebas nilai dan konteks, mempunyai banyak “kasus” dan subjek yang diteliti, sehingga dapat ditampilkan dalam bentuk data statistik yang berarti. Hal penting untuk dicatat di sini adalah, peneliti “terpisah” dari subjek yang ditelitinya.Dalam penelitian kuantitatif atau positivistik, yang dilandasi pada suatu asumsi bahwa suatu gejala dapat itu dapat diklasifikasikan, dan hubungan gejala bersifat kausal (sebab akibat), maka peneliti dapat melakukan penelitian dengan memfokuskan kepada beberapa variabel saja. Pola hubungan antara variabel yang akan diteliti tersebut selanjutnya disebut sebagai paradigma penelitian.
Paradigma Kuantitatif, juga dikenal dengan;
a.     paradigma tradisional, positivis, eksperimental, empiris
b.    menekankan pada pengujian teori-teori melalui pengukuran variabel penelitian  dengan angka dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik.
Jadi paradigma penelitian dalam hal ini diartikan sebagai pola pikir yang menunjukan hubungan antara variabel yang akan diteliti yang sekaligus mencerminkan jenis dan jumlah rumusan masalah yang perlu dijawab melalui penelitian, teori yang digunakan untuk merumuskan hipotesis, jenis dan jumlah hipotesis, dan teknik analisis statistik yang akan digunakan. Berdasarkan hal ini maka bentuk – bentuk paradigma atau model penelitian kuantitatif khususnya untuk penelitian survey seperti berikut :

1.      Paradigma Sederhana
Paradigma penelitian ini terdiri atas satu variabel independen dan dependen. Paradigma penelitian ini terdiri atas satu variabel independen dan dependen. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Berdasarkan paradigma tersebut, maka dapat ditentukan :


a.       Jumlah rumusan masalah deskriptif ada dua, dan asosiatif ada satu yaitu :
1)      Rumusan masalah deskriptif (dua)
a)      Bagaimana X? (Kualitas guru)
b)      Bagaimana Y? (Prestasi belajar murid)
2)      Rumusan masalah asosiatif/hubungan (satu)
Bagaimana hubungan atau pengaruh kualitas alat dengan kualitas barang yang dihasilkan.
a.       Teori yang digunakan ada dua, yaitu teori tentang media pendidikan dan prestasi belajar.
b.      Hipotesis yang dirumuskan ada dua macam hipotesis deskriptif dan hipotesis asosiatif (hipotesis deskriptif sering tidak dirumuskan)
2.      Paradigma sederhana berurutan
Dalam paradigma ini terdapat lebih dari dua variabel, tetapi hubungannya masih sederhana. Paradigma sederhana, menunjukan hubungan antara satu variabel independen dengan satu variabel dependen secara berurutan. Untuk mencari hubungan antar variabel  (Xdengan X; Xdengan X dan X dengan Y) tersebut digunakan teknik korelasi sederhana. Naik turun harga Y dapat diprediksi melalui persamaan regresi Y atas X, dengan persamaan Y = a + bX.
3.      Paradigma ganda dengan dua variabel independen
Dalam paradigma ini terdapat dua variabel independen dan satu dependen. Dalam paradigma ini terdapat 3 rumusan masalah deskriptif dan 4 rumusan masalah asosiatif (3 korelasi sederhana dan 1 korelasi ganda).
4.      Paradigma ganda dengan tiga variabel independen
Dalam paradigma ini terdapat tiga variabel independen (X₁, X₂, X₃) dan satu dependen (Y). Rumusan masalah deskriptif ada 4 dan rumusan masalah asosiatif (hubungan) untuk yang sederhana ada 6 dan yang ganda minimal 1.
5.      Paradigma ganda dengan dua variabel dependen
Paradigma ganda dengan satu variabel independen dan dua dependen. Untuk mencari besarnya hubungan antara X dan Y, dan X dengan Y digunakan teknik korelasi sederhana. Demikian juga untuk Y dengan Y. Analisis regresi juga dapat digunakan di sini.


6.      Paradigma ganda dengan dua variabel independen dan dua dependen 
Dalam paradigma ini terdapat dua variabel independen dan dua dependen (Y dan Y). terdapat 4 rumusan masalah deskriptif, dan enam rumusan masalah hubungan sederhana. Korelasi dan regresi ganda juga dapat digunakan untuk menganalisis hubungan antara variabel secara simulan.
7.      Paradigma jalur
Paradigma jalur merupakan variabel yang berfungsi sebagai jalur antara (X). dengan adanya variabel antara ini, akan dapat digunakan untuk mengetahui apakah untuk mencapai sasaran akhir harus melewati variabel antara itu atau bisa langsung ke sasaran akhir.
Paradigma kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Karena penolakannya terhadap unsur metafisis dan teologis, positivisme kadang-kadang dianggap sebagai sebuah varian dari Materialisme (bila yang terakhir ini dikontraskan dengan Idealisme).
Dalam penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan (knowledge)  yang valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang tertangkap lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason). Secara epistemologis, dalam penelitian kuantitatif diterima suatu paradigma, bahwa sumber pengetahuan paling utama adalah fakta yang sudah pernah terjadi, dan lebih khusus lagi hal-hal yang dapat ditangkap pancaindera (exposed to sensory experience). Hal ini sekaligus mengindikasikan, bahwa secara ontologis, obyek studi penelitian kuantitatif adalah fenomena dan hubungan-hubungan umum antara fenomena-fenomena (general relations between phenomena). Yang dimaksud dengan fenomena di sini adalah sejalan dengan prinsip sensory experience yang terbatas pada external appearance given in sense perception saja. Karena pengetahuan itu bersumber dari fakta yang diperoleh melalui pancaindera, maka ilmu pengetahuan harus didasarkan pada eksperimen, induksi dan observasi.
Bagaimana pandangan penganut kuantitatif tentang fakta? Dalam penelitian kuantitatif diyakini sejumlah asumsi sebagai dasar otologisnya dalam melihat fakta atau gejala. Asumsi-asumsi dimaksud adalah; 
Obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, baik bentuk, struktur, sifat maupun dimensi lainnya; 
Suatu benda atau keadaan tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu; dan suatu gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, melainkan merupakan akibat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. 
Jadi diyakini adanya determinisme atau proses sebab-akibat (causalitas). Dalam kaitannya dengan poin terakhir, lebih jauh Russel Keat & John Urry, seperti dikutip oleh Tomagola, mengemukakan bahwa setiap individual event/case tidak mempunyai eksistensi sendiri yang lepas terpisah dari kendali empirical regularities. Tiap individual event/case hanyalah manifestasi atau contoh dari adanya suatu empirical regularities.
Sejalan dengan penjelasan di atas, secara epistemologi, paradigma kuantitatif berpandangan bahwa sumber ilmu itu terdiri dari dua, yaitu pemikiran rasional data empiris. Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan korespondensi. Koheren besarti sesuai dengan teori-teori terdahulu, serta korespondens berarti sesuai dengan kenyataan empiris. Kerangka pengembangan ilmu itu dimulai dari proses perumusan hipotesis yang deduksi dari teori, kemudian diuji kebenarannya melalui verifikasi untuk diproses lebih lanjut secara induktif menuju perumusan teori baru. Jadi, secara epistemologis, pengembangan ilmu itu berputar mengikuti siklus; logico, hypothetico, verifikatif.
Dalam metode kuantitatif, dianut suatu paradigma bahwa dalam setiap event/peristiwa sosial mengandung elemen-elemen tertentu yang berbeda-beda dan dapat berubah. Elemen-elemen dimaksud disebut dengan variabel. Variabel dari setiap even/case, baik yang melekat padanya maupun yang mempengaruhi/dipengaruhinya, cukup banyak, karena itu tidak mungkin menangkap seluruh variabel itu secara keseluruhan. Atas dasar itu, dalam penelitian kuantitatif ditekankan agar obyek penelitian diarahkan pada variabel-variabel tertentu saja yang dinilai paling relevan. Jadi, di sini paradigma kuantitatif cenderung pada pendekatan partikularistis.
Lebih khusus mengenai metode analisis dan prinsip pengambilan kesimpulan, Julia Brannen, ketika menjelaskan paradigma kuantitatif dan kualitatif, mengungkap paradigma penelitian kuantitaif dari dua aspek penting, yaitu: bahwa penelitian kuantitatif menggunakan enumerative induction dan cenderung membuat generalisasi (generalization). Penekanan analisis data dari pendekatan enumerative induction adalah perhitungan secara kuantitatif, mulai dari frekuensi sampai analisa statistik. Selanjutnya pada dasarnya generalisasi adalah pemberlakuan hasil temuan dari sampel terhadap semua populasi, tetapi karena dalam paradigma kuantitatif terdapat asumsi mengenai  adanya “keserupaan” antara obyek-obyek tertentu, maka generalisasi juga dapat didefinisikan sebagai universalisasi.
Paradigma ibarat sebuah jendela tempat orang bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya. Sebagian orang menyatakan paradigma (paradigm) sebagai ’intelektual komitmen’, yaitu suatu citra fundamental dari pokok permasalahan dari suatu ilmu (Salim, 2006). Namun secara umum menurut Salim (2006) paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun sesorang dalam bertindak atau keyakinan dasar yang menuntun sesorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Ihalauw (1985) paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan, dan kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh (Salim, 2006).
Paradigma adalah basis kepercayaan utama dari sistem berpikir; basis dari ontologi, epistemologi, dan metodologi.  Dalam pandangan filosof, paradigma merupakan pandangan awal yang membedakan, memperjelas dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Hal ini membawa konsekuensi praktis terhadap prilaku, cara berpikir, intepretasi dan kebijakan dalam pemilihan masalah. Paradigma memberi representasi dasar yang sederhana dari informasi pandangan yang kompleks sehingga orang dapat memilih untuk bersikap atau mengambil keputusan (Salim, 2001)
            Menurut Maleong (2004), ada berbagai macam paradigma, tetapi yang mendominasi ilmu pengetahuan adalah scientifik paradigm (paradigma ilmiah)  dan naturalistic paradigm (paradigma almiah). Paradigma imiah bersumber dari pandangan positivisme (lazimnya disebut sebagai paradigma kuantitatif) sedangkan pandangan alamiah bersumber pada pandangan fenomenologis  (lazimnya disebut sebagai paradigma kualitatif).

Secara umum pendekatan penelitian atau sering juga disebut paradigma penelitian dapat dikelompokan menjadi paradigma penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Dari segi peristilahan, para ahli nampak menggunakan istilah atau penamaan yang berbeda-beda meskipun mengacu pada hal yang sama. Untuk itu guna menghindari kekaburan dalam memahami kedua pendekatan ini, berikut akan dikemukakan penamaan  yang  dipakai  para ahli dalam penyebutan kedua istilah tersebut lihat Tabel  1 berikut  ini.
Tabel 1.
Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif: Alternatif Penamaan (Labels) dari Berbagai Sumber
Kuantitatif
Kualitatif
Sumber/Penulis
Rasionallistic
Naturalistic
Guba &Lincoln (1982)
Inquiry from the Outside
Inquiry from the inside
Evered & Louis (1981)
Functionalist
Interpretative
Burrel & Morgan (1979)
Positivist
Constructivist
Guba (1990)
Positivist
Naturalistic-ethnographic
Hoshmand (1989)
Sumber : Julia Brannen (1992)
Dalam beberapa referensi tentang paradigma penelitian, kita dapat menjumpai beberapa nama yang dipergunakan para ahli tentang metodologi  penelitian kualitatif yaitu: grounded research, ethnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik, atau holistik. Perbedaan tersebut dimungkinkan karena perbedaan fokus dalam melihat permasalahan serta latar brlakang disiplin ilmunya. Istilah grounded research lebih berkembang  di lingkungan sosiologi dengan tokohnya Strauss dan Glaser (untuk di Indonesia istilah ini diperkenalkan/dipopulerkan oleh Stuart A. Schleigel dari Universitas California yang pernah menjadi tenaga ahli pada Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial  Banda Aceh pada tahun 1970-an),  ethnometodologi lebih berkembang di lingkungan antropologi dan ditunjang  antara lain oleh Bogdan, interaksi simbolik lebih berpengaruh di pantai barat Amerika Serikat dikembangkan oleh Blumer, Paradigma naturalistik dikembangkan antara lain oleh Guba yang pada awalnya memperoleh pendidikan dalam fisika, matematika, dan  penelitian kuantitatif.
Riwayat singkat kedua paradigma tersebut adalah sebagai berikut (Bogdan & Taylor (1975); Crewell (1994); Maleong (2004))
·         Paradigma Kuantitatif (Positivisme) berakar pada pandangan teoritis Auguste Comte dan Emile Durkheim pada abad ke 19 dan awal abad ke 20. Para Positivisme mencari fakta dan penyebab femomena sosial dan kurang mempertimbangkan keadaan subjektifitas individu. Durkhiem menyarakan kepada ahli ilmu pengetahuan sosial untuk mempertimbangkan ’fakta sosial’ atau fenomena sosial sebagai sesuatu yang memberikan pengaruh dari luar atau memaksa pengaruh tertentu terhadap perilaku manusia. Paradigma kuantitatif dinyatakan sebagai paradigma tradisional, positivisme, eksperimental, atau empiris.
·         Paradigma Kualitatif (alamiah/fenomenologis) bersumber dari pandangan Max Weber yang diteruskan oleh Irwin Deutcher. Pendekatan ini berawal dari tindakan balasan terhadap tradisi positivisme. Pendekatan fenomenologis berusaha memahami perilaku manusia dari segi kerangka berpikir maupun bertindak orang itu sendiri. Bagi mereka yang penting ialah kenyataan yang terjadi sebagai yang dibayangkan atau dipikirkan oleh orang itu sendiri. Paradigma kualitatif menyatakan pendekatan konstruktif atau naturalistis (Lincoln & Guba), pendekatan interpretatif (J. Smith) atau sudut pandang postpositivist (postmodern)
Masing-masing paradigma tersebut mempunyai seperangkat asumsi yang berbeda (Firestone, 1987; Guba & Linclon, 1988; McCrakeb, 1988). Hal ini penting untuk diketahui karena akan memberikan arah untuk merancang (mendesain)  penelitian. Tabel 2. Menunjukkan asumsi paradigma kualitatif dan kuantitatif berdasarkan pendekatan ontologis, epistemologis, aksiologis, retorika dan metodologis (Creswell, 1994)
Tabel. 2.
Asumsi Paradigma Kuantitatif dan Kualitatif
Asumsi
Pertanyaan
Kuantitatif
Kualitatif
Asumsi Ontologi
Apakah sifat dari realita ?
Realita adalah obyektif dan tunggal, terpisah dari peneliti
Realita adalah subyektif dan banyak/ganda berdasarkan sudut pandang partisipan dalam suatu penelitian
Asumsi Epistemologi
Apakah hubungan peneliti dan yang diteliti ?
Peneliti independen dari yang diteliti (jadi ada dualisme)
Peneliti berinteraksi dengan yang diteliti
Asumsi Asiologi
Apakah peran nilai?
Bebas nilai dan tidak bias
Peneliti berinteraksi dengan yang diteliti
Asumsi Retorik
Apakah bahasa penelitian ?
·         Formal berdasarkan separangkat definisi
·         Nada impersonal menggunakan kata-kata/istilah-istilah kuantitatif yang telah baku
·         Tidak formal
·         Keputusan-keputusan berlangsung terus menerus menggunakan kata-kata istilah-istilah kualitatif yang telah baku

Asumsi Metodologi dikembangkan untuk
Apakah proses penelitiannya ?
·         Proses deduktif (sebab akibat).
·         Desain yang statis, kategori-kategori yang telah dikelompokkan sebelum penelitian.
·         Bebas konteks
·         Generalisasi menuntun ke prediksi, penjelasan dan pemahaman.
·         Akurat dan terandalkan serta keterandalan (validitas dan realibilitas)
·         Proses induktif.
·         Faktor pembentuknya berlangsung timbal balik dan berkelanjutan.
·         Desain dan kategori-kategori yang muncul dan diindentifikasi selama proses penelitian.
·         Terikat dengan konteks.
·         Pola-pola, teori-teori melalui melalui ketersahihan pemahaman.
·         Akurat dan terandalkan melalui verifikasi/pembuktian

Sumber: Menurut Firestone (1987); Guba & Lincoln (1988) dan McCracken (1988), dalam Creswell, 1994:4-5

Kedua paradigma pendekatan penelitian tersebut nampak sekali mempunyai asumsi/aksioma dasar filosofis dan paradigma  berbeda yang menurut Lincoln & Guba (1985) perbedaan tersebut terletak dalam asumsi/aksioma tentang kenyataan, hubungan pencari tahu dengan tahu (yang diketahui), generalisasi, kausalitas, dan masalah nilai.  Menurut Lincoln & Guba  (1985) pandangan positivisme dari sudut ontologi meyakini bahwa realitas merupakan suatu yang tunggal dan dapat dipecah-pecah  untuk dipelajari/dipahami secara bebas, obyek yang diteliti bisa dieliminasikan dari obyek-obyek lainnya, sedangkan dalam pandangan fenomenologi kenyataan itu merupakan suatu yang utuh, oleh karena itu obyek harus dilihat dalam suatu konteks natural tidak dalam bentuk yang terfragmentasi.
Dari sudut epistemologi, positivisme mensyaratkan adanya dualisme antara subyek peneliti dengan obyek yang ditelitinya, pemilahan ini dimaksudkan agar dapat diperoleh hasil yang obyektif.  Sementara itu dalam pandangan Fenomenologis subyek dan obyek tidak dapat dipisahkan dan aktif bersama dalam memahami berbagai gejala. Dari sudut aksiologi, positivisme mensyaratkan agar penelitian itu bebas nilai agar dicapai obyektivitas konsep dan hukum sehingga tingkat keberlakuannya bebas tempat dan waktu. Sedangkan dalam pandangan fenomenologi penelitian itu terikat oleh nilai sehinggan hasil suatu penelitian harus dilihat sesuai konteks.
Agar lebih jelasnya pada Tabel 3 dapat dilihat perbandingan antara paradigma positivisme dan paradigma alamiah (fenomenologi).
Tabel 3.
Perbedaan Aksioma Paradigma Positivisme dan Alamiah
No
Aksioma Tentang
Paradigma
Positivisme
Paradigma Alamiah/Kualitatif
1
Hakikat kenyatan
Kenyataan adalah tunggal, nyata dan fragmentaris
Kenyataan adalah ganda,dibentuk, dan me-rupakan   keutuhan
2
Hubungan pencari tahu dan yang tahu
Pencari tahu dengan yang tahu adalah bebas, jadi ada dualisme
Pencari tahu dengan yang tahu aktif bersama, jadi tidak dapat dipisahkan
3
Kemungkinan Generalisasi
Generalisasi atas dasar bebas-waktu dan bebas-konteks (pernyataan nomotetik)
Hanya waktu dan konteks yang mengikat hipotesis kerja (pernyataan idiografis) yang dimungkinkan
4
Kemungkinan hubungan sebab akibat
Terdapat penyebab sebenarnya yang secara temporer terhadap, atau secara simultan terhadap akibatnya
Setiap keutuhan berada dalam keadaan mempe-ngaruhi secara bersama-sama sehingga sukar mem-bedakan mana sebab dan mana akibat
5
Peranan nilai
Inkuirinya bebas nilai
Inkuirinya terikat nilai
Sumber: Moleong, 2004:31

Masalah paradigma kuantitatif dan kualitatif hingga dewasa ini masih terjadi perdebatan, meskipun  banyak ahli pada bidang tertentu memandang hal ini bukan masalah yang bersifat dikotomis melainkan suatu kontinum. Sekelompok ahli memandang bahwa paradigma (metode) manapun yang akan digunakan sebenarnya sangat tergantung pada masalahnya. Bila masalah itu memerlukan jawaban kualitatif maka paradigma yang harus dipilih adalah kualitatif. Sementara jika masalah itu bersifat kuantitatif maka paradigma yang dipilih adalah harus kuantitatif. Sementara sekelompok ahli  mengatakan bahwa kedua paradigma tersebut saling menunjang, dengan suatu harapan bahwa dengan cara begitulah penelitian akan dapat menyajikan hasil yang mantap dan jitu.
Menurut Creswell (1994), untuk menggunakan kedua paradigma secara baik dan akurat dibutuhkan lebih banyak halaman yang dapat ditelorir editor jurnal. Hal ini dapat menyebabkan disertasi melewati batas normal ukuran dan skala. Menggunakan kedua paradigma dalam satu penelitian akan mahal, memakan waktu dan panjang (Locke, Spirduso, & Silverman, 1987 dalam Creswell, 1994:7). Oleh karena itu peneliti harus memilih paradigma kualitatif atau kuantitatif dalam suatu penelitian (paradigma tunggal). Memilih salah satu paradigma penelitian (paradigma tunggal) bukan berarti paradigma  lainnya dianggap tidak baik. Tidak ada satu paradigma yang sanggup mengungguli paradigma lainnya, mengingat pilihan paradigma merupakan cara pandang seseorang (peneliti) terhadap suatu realitas yang tergantung pada keadaan tertentu. Misalnya dalam bidang ilmu eksak, biasanya paradigma kuantitatif (postivisme) yang banyak digunakan, sedangkan dibidang sosial, paradigma kualitatif (fenomenologis) yang mendapat tempat yang mapan (Salim, 2001). Masalahnya adalah bagaimana peneliti harus memilih salah satu paradigma dalam penelitian?. Tabel 4. menyajikan kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam memilih salah satu paradigma (metode) dalam penelitian.
Tabel 4.
Alasan-Alasan Untuk Memilih Paradigma
Kriteria
Paradigma Kuantitatif
Paradigma Kualitatif
Pandangan peneliti
Peneliti cocok dengan asumsi-asumsi ontologi, epistemologi, axiologi, retorik dan metodologi paradigma kuantitatif
Peneliti cocok dengan asumsi-asumsi ontologi, epistemologi, axiologi, retorik dan metodologi paradigma kualitatif
Latihan dan pengalaman peneliti
Keahlian penulisan teknis; keahlian statistik komputer; penguasan kepustakaan.
Keahlian penulisan essay; keahlian analisa komputer; penguasan kepustakaan.
Sisi psikologis peneliti
Kecocokan dengan aturan-aturan dan panduan-panduan untuk melakukan penelitian; toleransi yang rendah terhadap ketidakpastian dan waktu yang singkat.
Senang tanpa peraturan dan prosedur khusus melakukan penelitian; toleransi kerancuan tinggi; waktu untuk penelitian lama.
Sifat masalah
Pernah diteliti oleh penelitian lain sehingga banyak acuan kepustakaan, variabel diketahui, teori-teori tersedia.
Penelitian pendalaman, variabel tak diketahui, konteks penting mungkin kurang dasar teori untuk penelitian
Pembaca penelitian (editor jurnal dan pembaca, komite wisuda)
Individu-indvidu yang terbiasa dengan atau mendukung penelitian kuantitatif
Individu-indvidu yang terbiasa dengan atau mendukung penelitian kualitatif
Sumber: Creswell, 1994:8-9


C. Paradigma Penelitian Kuantitatif ( Kaitannya Dengan Filsafat Ilmu)
1. TEKNIK PENELITIAN
Jika metode penelitian menurut metode ilmiah diartikan sebagai prosedur atau langkah-langkah teratur yang sistematis dalam menghimpun pengetahuan untuk dijadikan ilmu,maka teknik penelitian menyangkut cara dan alat (termasuk kemahiran membuat dan menggunakannya) yang diperlukan untuk mencari tujuan penelitian.Dengan lain perkataan,teknik penelitian yang menyangkut bagaimana caranya dan alat-alat penelitian dan alat-alat penelitian apa yang diperlukan untuk membangun ilmu melalui penelitian.
Pelaksanaan penelitian dapat dibagi dalam 4 fase kegiatan ;
1.      Fase persiapan
2.      Pengumpulan data atau informasi
3.      Pengolahan data
4.      Penulisan laporan penelitian
Mungkin saja setiap fase penelitian membutuhkan cara dan alat tertentu atau teknik tertentu.Setiap peneliti harus sudah mengetahui teknik apa yang diperlukan,dan juga harus mampu mengadakannya serta harus mahir menggunakannya.
Sebagai pegangan dalam teknk penelitian adalah bagaimana agar segala kegiatan yang dilakukan itu valid dan realible,sedemikian rupa sehingga ilmu sebagai hasil penelitian itu mencapai tingkat kebenaran yang tinggi atau sebagai ilmu yang terandalkan (sah atau tepat). Oleh karena itu sebelum masuk pada bahasan teknik penelitian sebaiknya perhatikan cara-cara mencapai tingkat validitas,melalui pengetahuan tentang sumber-sumber yang dapat menimbulkan kelemahan atau kesesatan.
Secara umum terdapat empat macam sumber yang dapat menimbulkan kelemahan atau kesesatan dalam mencapai validitas dan realibilitass yaitu :
1.      Subjek (peneliti)
Unsur-unsur yang mempengaruhi  adalah indra,sikap dan mental,baik dalam berinteraksi dengan objek dalam membuat atau mempergunakan alat-alat penelitian,menyesuaikan diri dan mengendalikan situasi.
2.      Objek (yang diteliti)
Unsur-unsur yang mempengaruhi,misal unsur anggota masyarakat,akan saling mempengaruhi,yang juga menjadi unsurnya adalah sikap atau mental dan indra oleh situasi dan alat-alat penelitian.
3.      Alat yang dipergunakan
Alat yang dipergunakan untuk menangkap/merekam/mencatat data/informasi dari objek,efektivitas dan atau fungsinya,dapat dipengaruhi oleh kemahiran subjek dan oleh kondisi objek serta oleh situasi dimana penelitian dilakukan.
4.      Situasi (lingkungan)
Unsur fisik/alam/lokasi daerah,ipoleksosbudhankamgama dapat mempengaruhi sikap/mental baik subjek maupun objek,bahkan mungkin pula mempengaruhi alat-alat penelitian.
Setelah mengetahui sumber-sumber yang mungkin menimbulkan kelemahan atau kesesatan fase-fase kegiatan penelitian ,hasilnya sebagai berikut :
1.      Fase persiapan
Langkah-langkah menetapkan / merumuskan / mengidentifikasi masalah, menyusun kerangka pikiran / pendekatan masalah, merumuskan hipotesis (jika penelitian bertujuan memverifikasi), menentukan rancangan uji hipotesis / teknil analisis (jika tidak menguji hipotesis).
2.      Fase pengumpulan data atau informasi
Masih menyangkut pengujian hipotesis atau teknik analisis.
3.      Fase pengolahan data
Masih bersangkutan dengan pengujian hipotesis atau teknik analisis.
4.      Fase penyusunan atau penulisan laporan
Berkaitan dengan langkah  pembahasan dan pembuatan kesimpulan.

Langkah-langkah Metode Ilmiah
Fase Kegiatan Teknis

1.      Menetapkan/merumuskan/identifikasi masalah    è      I. Fase persiapan (menetapkan
2.      Menyusun kerangka pikiran/pendekatan masalah              dan menyusun)

3.      Merumuskan hipotesis                                        è  II. Fase pengumpulan data/infomasi
4.      Menguji hipotesis : Rancangan,Data/Informasi     (merumuskan dan menguji hipotesis)
Yang Diperlukan,dan Analisis/Interpretasi

5.      Pembahasan è               III. Fase penyusunan laporan
                                             (pembahasan dan penarikan kesimpulan)
6.      Penarikan Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Ali Muhidin, Sambas. dkk.2010. Desain Penelitian Kuantitatif.. Bandung: Penerbit Karya Adhika Utama.

http://polres.multiply.com/journal/item/9. (DARI: PUSAT PENELITIAN IAIN SUMATRA UTARA MEDAN) diakses 27 Agustus 2011

Irwan Prasetya. 1999. Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta:STIA-LAN
Margono. 2004. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Sudarsono, FX. 2004. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Makalah Lokakarya Penyusunan Proposal Penelitian TP FIP UNY. 
Susriasumantri, Jujun S Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.1987
Syafaruddin, Filsafat Ilmu, Bandung, Cita Pustaka Media Perintis, 2009



KESIMPULAN

1.      Paradigma adalah cara pandang atau melihat sesuatu yang hidup dalam diri seseorang dan mempengaruhi orang tersebut dalam memandang realitas sekitarnya. Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori yang dikonstruksi sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.
2.      Paradigma kuantitatif menekankan pada pengujian teori melalui pengukuran variabel penelitian dengan angka dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik. Penelitian yang menggunakan pendekatan deduktif yang bertujuan untuk menguji hipotesis merupakan penelitian yang menggunakan paradigma kuantitatif. Paradigma ini disebut juga dengan paradigma tradisional (traditional), positivis (positivist), eksperimental (experimental), atau empiris (empiricist).
3.      Paradigma kuantitatif berpandangan bahwa sumber ilmu itu terdiri dari dua, yaitu pemikiran rasional data empiris. Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan korespondensi. Koheren besarti sesuai dengan teori-teori terdahulu, serta korespondens berarti sesuai dengan kenyataan empiris. Kerangka pengembangan ilmu itu dimulai dari proses perumusan hipotesis yang deduksi dari teori, kemudian diuji kebenarannya melalui verifikasi untuk diproses lebih lanjut secara induktif menuju perumusan teori baru. Jadi, secara epistemologis, pengembangan ilmu itu berputar mengikuti siklus; logico, hypothetico, verifikatif.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar