Selasa, 31 Januari 2017

Teori Kognitif Sosial



Pembelajaran (learning) adalah pengaruh permanen atas perilaku, pengetahuan, dan keterampilan berpikir, yang diperoleh melalui pengalaman.[1] Teori kognitif sosial (social cognitive theory) menyatakan bahwa faktor sosial dan kognitif, serta faktor perilaku, memainkan peran penting dalam pembelajaran. Faktor kognitif mungkin berupa ekspektasi murid untuk meraih keberhasilan. Faktor sosial mungkin mencakup pengamatan murid terhadap perilaku orang tuanya.[2]

Albert Bandura - dalam buku Santrock - disebutkan sebagai salah satu arsitek utama teori kognitif sosial. Dia mengatakan bahwa ketika murid belajar, mereka dapat merepresentasikan atau mentransformasi pengalaman mereka secara kognitif.[3] Pada awal 1960-an, Albert Bandura mendemonstrasikan bahwa orang dapat belajar dengan mengamati tindakan dan konsekuensi orang lain. Social cognitive theory (teori kognitif sosial) Bandura menekankan observasi, modeling, dan vicarious reinforcement  (penguatan yang dialami orang lain). Seiring waktu, penjelasan Bandura tentang pembelajaran memasukan lebih banyak  perhatian pada faktor-faktor kognitif seperti ekspektasi dan keyakinan selain pengaruh sosial para model/panutan. Perspektif mutakhirnya disebut social cognitive theory (teori kognitif sosial).[4]

I.              Rumusan Masalah

1.    Apakah definisi dari Kognitif Sosial?
2.    Apakah saja elemen-elemen kunci teori kognitif sosial yang sangat penting dalam pembelajaran dan pengajaran


3.    Apakah pengertian dari Self Efficacy?
4.    Bagaimana penerapan teori Kognitif Sosial:hubungan kinerja di sekolah dan Self Efficacy?
5.    Apakah pengertian dari Self Regulated Learning?
6.    Bagaimana Model Self Regulated Learning?

II.            Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang diharapkan dapat diketahui dari makalah ini adalah pembaca dapat memahami
1.    Teori Kognitif sosial, 
2.    Elemen – Elemen Kognitif Sosial : Self Efficacy, dan Self Regulated Learning,
3.     Mengajar ke arah Self Efficacy dan Self Regulated Learning, Mengevaluasi Pendekatan Kognitif Sosial


  1. PEMBAHASAN

I.              Pengertian dan definisi Teori Kognitif Sosial
Pengertian Kognitif menurut scheerer (1954 : 49) kognitif adalah proses sentral yang menghubungkan peristiwa-peristiwa di luar (external) dan di dalam (internal) diri sendiri. Sedangkan festinger (1957) kognitif adalah elemen-elemen kognitif, yaitu hal-hal yang di ketahui oleh seseorang tentang dirinya sendiri, tentang tingkah lakunya, dan tentang keadaan disekitarnya.
Menurut Neisser (1967) kognitif adalah proses yang merubah, mereduksi, memperinci, menyimpan, mengungkapkan dan memakai setiap masukan (input) yang datang dari alat indera. [5] Menurut Baron & Byrne (2000) kognitif sosial adalah cara individu untuk menganalisa, mengingat dan menggunakan informasi mengenai kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa sosial. [6] Dalam menganalisa peristiwa terdapat tiga proses yaitu ;
a.     Attention ; proses pertama kali dimana individu memperhatikan gejala-gejala social yang ada di sekelilingnya
b.    Enconding : memasukkan apa yang diperhatikan ke dalam memori dan menyimpannya
c.      Retrieval : apabila kita menemukan gejala yang mirip, kita akan mengeluarkan ingatan kita  dan membandingkan, apabila ternyata sama maka kita akan mengatakan sesuatu mengenai gejala tersebut atau mengeluarkannya di saat akan menceritakan peristiwa yang dialami.[7]
Kognisi adalah respon atau reaksi individu terhadap manusia dan benda yang terbentuk oleh bagaimana cara individu tersebut memandang keduanya (dunia kognitifnya). Dan kesan tersebut mengenai dunia setiap individu merupakan dunia yang bersifat individual. Dua orang yang berbeda tidak mungkin hidup dalam dunia kognitif yang sama.[8]

Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kognitif social adalah proses berfikir yang dilakukan seseorang untuk memahami dirinya sendiri dan orang lain.(kognisi adalah pengetahuan dan kesadaran) atau tata cara dimana kita menginterpretasi, menganalisa, mengingat, dan menggunakan informasi tentang dunia social. Dan kognisi social terjadi secara otomatis.

Dalam kognisi social, memahami dunia sosial misalnya seperti upaya untuk menjelaskan orang yang baru saja bertemu, upaya untuk menjelaskan diri sendiri, dan proses berfikir dalam kognisi social mencakup bagaimana individu tersebut melakukan interpretasi (penafsiran), menganalisa, mengingat, dan menggunakan informasi tentang dunia social yang dialaminya.[9]

II.            Tokoh Belajar teori Kognitif Sosial

Teori belajar kognitif sosial dikemukakan oleh Psikolog Amerika Albert Bandura dan Walter Mischel. Albert Bandura adalah seorang psikolog Universitas Stanford, Amerika Serikat. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata reflek otomatis atas stimulus (S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasilinteraksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri. Para teorisi belajar sosial juga mengatakan bahwa manusia tidak seperti robot yang tidak memiliki pikiran,tetapi sebaliknya tanggap secara mekanis kepada orang lain di dalam lingkungan kita. Manusia dapat berpikir, menalar, membayangkan, merencanakan, mengharapkan, menginterpretasikan, meyakini, menilai, dan membandingkan. Teori belajar sosial menyatakan bahwa manusia belajar perilaku sosial yang sesuai,terutama dengan mengamati dan meniru model yaitu dengan menyaksikan orang lain. Bandura mengembangkan model determinisme resiprokal yang terdiri dari tiga faktor utama, yakni: Perilaku person/kognitif, dan lingkungan.[10]  Berikut gambar untuk model determinisme resiprokal Bandura:
Faktor lingkungan memengaruhi perilaku, perilaku memengaruhi lingkungan, faktor person (kognitif) memengaruhi perilaku, dan sebagainya. Bandura menggunakan istilah person, tetapi kita memodifikasikannya menjadi person (cognitive) karena banyak faktor orang yang dideskripsikannya adalah faktor kognitif.[11]

Faktor person Bandura yang tak punya kecenderungan kognitif terutama adalah pembawaan personalitas dan temperamen. Faktor kognitif mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi, pemikiran, dan kecerdasan.[12]

III.           Proses Belajar Kognitif Sosial

Teori kognitif adalah teori yang umumnya dikaitkan dengan proses belajar. Kognisi adalah kemampuan psikis atau mental manusia yang berupa mengamati, melihat, menyangka, memperhatikan, menduga dan menilai. Dengan kata lain, kognisi menunjuk pada konsep tentang pengenalan. Teori kognitif menyatakan bahwa proses belajar terjadi karena ada variabel penghalang pada aspek-aspek kognisi seseorang (Mulyati, 2005)
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.

Dari beberapa teori belajar kognitif diatas (khususnya tiga di penjelasan awal) dapat pemakalah ambil sebuah sintesis bahwa masing masing teori memiliki kelebihan dan kelemahan jika diterapkan dalam dunia pendidikan dan pembelajaran. Jika keseluruhan teori diatas memiliki kesamaan yang sama-sama dalam ranah psikologi kognitif, maka disisi lain juga memiliki perbedaan jika diaplikasikan dalam proses pendidikan.

Sebagai misal, Teori bermakna ausubel dan discovery Learningnya bruner memiliki sisi pembeda. Dari sudut pandang Teori belajar Bermakna Ausubel memandang bahwa justeru ada bahaya jika siswa yang kurang mahir dalam suatu hal mendapat penanganan dengan teori belajar discoveri, karena siswa cenderung diberi kebebasan untuk mengkonstruksi sendiri pemahaman tentang segala sesuatu. Oleh karenanya menurut teori belajar Bermakna guru tetap berfungsi sentral sebatas membantu mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman yang hendak diterima oleh siswa namun tetap dengan koridor pembelajaran yang bermakna.

Dari poin diatas dapat pemakalah ambil garis bawahi bahwa beberapa teori belajar kognitif diatas, meskipun sama-sama mengedepankan proses berpikir, tidak serta merta dapat diaplikasikan pada konteks pembelajaran secara menyeluruh. Terlebih untuk menyesuaikan teori belajar kognitif ini dengan kompleksitas proses dan sistem pembelajaran sekarang maka harus benar-benar diperhatikan antara karakter masing-masing teori dan kemudian disesuakan dengan tingkatan pendidikan maupun karakteristik peserta didiknya.
Gagasan-Gagasan Kunci di Dalam Psikologi Kognitif dalam konteks pendidikan.
1.    Kognitif umumnya bersifat adaptif,  namun tidak semua kasus. Evolusi telah membantu kita dengan baik dalam membentuk perkembang perangkat kognitif yang sanggup menangkap secara kuat rangsangan dari lingkungan. Perangkat kognitif ini membuat kita mampu untuk memahami rangsangan internal yang membuat sebagian besar informasi bisa tersedia bagi kita. Kita bisa memahami, belajar, mengingat, menalar dan memecahkan masalah dengan keakuratan tinggi. Rangsangan apapun dapat memecahkan perhatian kita dengan mudah dari memproses informasi dengan benar. Namun begitu, proses-proses sama yang membawa kita kepada pemahaman, pengingatan, dan penalaran akurat dikebanyakan situasi bisa juga membawa kita pada situasi kebingunan. Proses memori dan penalaran kita, rentan terhadap kekeliruan sistematik tertentu yang dikenal dengan baik. Contoh, kita cenderung menilai secara berlebihan  informasi yang mudah kita terima, bahkan kita melakukan kekeliruan ini ketika informasi tersebut sama sekali tidak relevan dengan persoalan yang sedang dihadapi.

2.    Proses kognitif berinteraksi satu sama lain termasuk denga proses-proses non-kognitif. Meskipun para psikolog kognitif sering kali mengisolasi fungsi dari proses-proses kognitif tertentu. Contoh proses-proses memori bergantung pada proses-proses persepsi. Apa yang anda ingat , sebagian bergantung kepada yang anda pahami. Dengan cara yang sama, proses berfikir bergantung sebagian kepad proses memori, contoh  Anda tidak bisa merefleksikan apa yang anda ingat. Proses-proses kognitif juga berinteraksi dengan proses-proses non-kognitif, contohnya anada bisa belajar lebih baik ketika termotivasiuntuk belajar. Walaupun demikian pembelajaran anda tampaknya akan melemah jika merasa anda merasa jengkel terhadap sesuatu dan tidak bis berkonsentrasi pad atugas pembelajaran yang sedang dihadapi.
Salah satu wilayah psikologi kognitif yang paling menarik dewasa ini adalah saling berkaitan antara analisis yang kognitif dan biologis. Contohnya menjadi mungkin untuk menentukan tempat aktifitas didalam otak yang berkaitan dengan jenis-jenis proses kognitf. Akan tetapi kita tidak boleh langsung mengasumsikan kalau aktifitas biologis adalah penyebabutama aktifitas kognitif. Riset justru menunjukkan bahwa proses pembelajaranlah yang menyebabkan perubahan-perubahan di dalam otak. Dengan kata lain proses-proses kognitif dapat mempengaruhi struktur-struktur biologis sama seperti struktur biologis mempengaruhi proses kognitif. Sistem kognitif tidak bekerja secara terisolasi, namun bekerja dengan sistem lain.
3.    Kognisi perlu dipelajari lewat beragam metode ilmiah. Semua proses kognitif perlu dipelajari lewat beragam operasi yang saling melengkapi. Artinya beragam metode studi untuk mencari suatu pemahaman umum. Semakin banyak perbedaan jenis teknik yang mengarah kepada kesimpulan yang sama, semakin tinggi keyakinan yang bisa kita miliki mengenai kesimpulan tersebut. Contohnya, studi-studi tentang waktu reaksi, tingkat kekeliruan dan pola perbedaan individual, semua mengarah pada kesimpulan yang sama.
IV.          Implementasi Kognitif Sosial
a.    Implementasi di dunia Manajemen
Pengertian Manajemen
Ada beberapa definisi mengenai manajemen yang diberikan oleh para ahli.  Robbins dan Coulter (1999) menyebutkan manajemen adalah proses pengkoordinasian dan pengintegrasian kegiatan-kegiatan kerja agar diselesaikan secara efektif dan efisien melalui orang lain.  Dua kata penting yang saling terkait di sini adalah pengkoordinasian orang lain dan efektif-efisien.  Pengkoordinasian orang lain artinya melibatkan orang lain, sedangkan efektif dan efisien untuk menunjukkan berdaya guna dan berhasil guna.  Pengkoordinasian orang lain tidak berarti kegiatan tidak dapat dilakukan sendiri, hanya saja dalam pertimbangan efektifitas dan efisiensi, perlu pelibatan orang lain.  Lalu untuk dapat tercapai secara optimal pelibatan tersebut, perlu dikelola atau ada proses atau upaya pengkoordinasian yang disebut manajemen.
Sedangkan menurut Gibson, Donelly, dan Ivancevich (1996) menyebutkan manajemen adalah proses yang dilakukan seorang atau beberapa orang untuk mengkoordinasikan aktifitas orang lain untuk mencapai hasil-hasil yang tidak dapat dicapai oleh orang itu sendiri.  Follet dalam Stoner dan Wankel (1986), menyebutkan bahwa manajemen adalah seni untuk melakukan sesuatu melalui orang lain.  Menurut Harold Koontz & Hein Weirich (1988:4), Manajemen adalah proses mendesain dan memelihara lingkungan dimana orang-orang bekerja bersama dalam kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu secara efisien
Dan menurut George R.Terry (kamus Manajement:290), Manajemen adalah pencapaian sesuatu tujuan yang telah ditentukan sebelumnya melalui usaha-usaha orang lain.
Oleh karena itu, manajemen diartikan sebagai proses merencana, pengorganisasi, memimpin dan mengendalikan upaya organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.

Peran Manajemen 
Peran manajer menurut Mintzberg dalam Robbins dan Coulter (1999) adalah peran antar pribadi, peran informasi, dan peran memutuskan, dengan penjelasan masing-masing adalah sebagai berikut :
·         Peran antar pribadi: Peran-peran yang melibatkan kegiatan-kegiatan simbolis (figure head), pemimpin, dan penghubung.
·         Peran informasi: Peran yang meliputi kecepatan-kecepatan memantau, menyebarkan, dan juru bicara.
·         Peran memutuskan: Peran yang meliputi kewirausahawan, penanganan gangguan, pengalokasi sumber daya.

Kemampuan Manajerial
Kemampuan manajerial adalah kemampuan manajer dalam mengatur, mengkoordinasikan, dan menggerakkan para bawahan ke arah pencapaian tujuan yang ditetapkan oleh organisasinya.  Kemampuan manajerial lahir dari proses pembelajaran.  Kegagalan mengoptimalkan kemampuan manajer ini disebabkan sebagai  berikut :
·         Manajer kurang mampu memahami kinerja yang diharapkan dari posisinya.
·         Kurang memahami peran manajerial yang diembannya.
·         Tidak menguasai keterampilan manajerial.
·         Tidak mampu memotivasi bawahan.

b.    Implementasi di dunia Pendidikan
Implementasi Teori Kognitif Sosial Self Efficacy dan self regulated learning adalah dua elemen kunci teori kognitif sosial yang sangat penting dalam pembelajaran dan pengajaran
b.1.  Self Efficacy
Pernahkah Anda menemukan seorang siswa yang merasa kurang memiliki kemampuan pada pelajaran tertentu kemudian tidak mau berusaha belajar untuk ujian pelajaran tersebut karena dia tidak percaya bahwa belajar tidak akan membantunya mengerjakan soal ujian. Bandura menyebut hal tersebut sebagai self efficacy atau efikasi diri. Menurut Santrock, efikasi diri adalah keyakinan seseorang untuk dapat menguasai situasi dan menghasilkan hal positif.[13] Bandura dalam buku Woolfolk berpendapat bahwa efikasi diri adalah keyakinan seseorang tentang kemampuan dirinya untuk mengorganisasikan dan melaksanakan rangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan pencapaian tertentu. Efikasi diri mengacu pada pengetahuan seseorang tentang kemampuannya sendiri untuk menyelesaikan tugas tertentu tanpa perlu membandingkan dengan kemampuan orang lain.[14] Secara sederhana, efikasi diri adalah keyakinan seseorang tentang kompetensi pribadinya di bidang tertentu. Efikasi diri yang tinggi dapat diartikan sebagai perasaan seorang siswa bahwa dirinya mampu dan berusaha menangani tugas tertentu dengan efektif dengan keyakinan “saya bisa”. Sebaliknya, efikasi diri yang rendah adalah keyakinan bahwa ” saya tidak bisa”.[15]
Menurut Bandura dalam buku Woolfolk, terdapat empat sumber ekspektasi efikasi diri, yaitu:[16]
1.    Mastery experience, adalah pengalaman langsung seseorang yang merupakan sumber informasi efikasi yang paling kuat. Kesuksesan menaikkan efikasi, sedangkan kegagalan menurunkan efikasi.
2.    Physiological and emotional arousal, adalah reaksi fisik dan psikologis yang menyebabkan seseorang merasa siaga, bersemangat, atau tegang. Tingkat arousal memengaruhi efikasi diri, tergantung bagaimana arousal tersebut diinterpretasikan. Pada saat merasa cemas atau khawatir dapat menurunkan efikasi, sebaliknya saat bersemangat dapat menaikkan efikasi.
3.    Vicarious experiences (pengalaman orang lain) merupakan pencapaian yang dilakukan oleh orang lain. Dalam hal ini, seseorang memberikan contoh penyelesaian. Semakin dekat siswa mengidentifikasikan diri dengan sang model, akan semakin besar pula dampak efikasi dirinya. Bila sang model melakukan tugasnya dengan baik, efikasi siswa meningkat, sebaliknya jika sang model melakukan tugasnya dengan buruk, efikasi siswa menurun.
4.    Social persuasion, dapat berupa umpan balik lebih spesifik atas kinerja. Menurut Bandura, persuasi sosial dapat membuat siswa berusaha dan berupaya cukup keras dengan strategi baru untuk mencapai kesuksesan. Potensi persuasi bergantung pada kredibilitas, dapat dipercaya dan keahlian pemberi persuasi. Sebuah persuasi sosial yang kredibel dan dapat dipercaya dapat menangkal keraguan diri.
Penerapan Teori Kognitif Sosial: Hubungan Kinerja di Sekolah dan Efikasi Diri. Bila sense of efficacy seseorang tinggi terhadap suatu tugas, dia cenderung mempunyai tujuan yang tinggi untuk menyelesaikan tugasnya. bila sense of efficacy seseorang rendah, mungkin dia sama sekali menghindari tugas atau menghindari saat muncul masalah.[17] Misalnya, siswa dengan efikasi diri rendah mungkin menghindari tugas belajar, khususnya yang menantang dan sulit. Sedangkan siswa dengan efikasi diri tinggi mau mengerjakan tugas dan tekun berusaha menguasai materi pembelajaran.[18] Anak-anak dan orang dewasa yang optimis dengan masa depannya lebih sehat secara mental maupun fisik, memiliki tingkat depresi yang lebih rendah dan memiliki motivasi berprestasi lebih tinggi. Namun demikian, terdapat jika menetapkan estimasi terlalu rendah atas kemampuan siswa, siswa cenderung kurang keras berusaha dan mudah menyerah. Sebaliknya, jika siswa terus menerus diberikan estimasi terlalu tinggi atas kinerjanya, ada bahaya mereka cenderung tidak termotivasi untuk memperbaiki kekeliruannya. Mereka tidak sungguh-sungguh memahami materinya.[19]

Graham dan Weiner berpendapat bahwa kinerja di sekolah meningkat dan efikasi diri meningkat jika siswa: [20]
a.    Mengadopsi tujuan jangka pendek sehingga lebih mudah menilai kemajuannya.
b.    Diajari menggunakan strategi belajar yang spesifik seperti merangkum yang dapat membantu memfokuskan perhatian mereka.
c.    Menerima reward berdasarkan prestasi belajar.

b.2. Teacher Sense of Efficacy
Teacher Sense of Efficacy yaitu keyakinan guru bahwa dirinya mampu menjangkau hingga siswa yang paling sulit untuk membantu mereka belajar, dan hal ini merupakan salah satu karakteristik personal guru yang berkorelasi dengan kemampuan siswa.[21]
Berdasarkan teori efikasi diri, guru yang memiliki efikasi diri tinggi bekerja lebih keras dan bertahan lebih lama bahkan bila siswanya sulit diajar, hal ini dikarenakan sebagian dari mereka memiliki percaya diri dan percaya pada siswanya. Hoy dan Spero dalam Woolfolk berpendapat bahwa calon guru cenderung memiliki sense of efficacy tinggi dalam mengajar. Namun setelah satu tahun menjadi guru, sense of efficacy tersebut dapat menurun. Hal tersebut dapat terjadi karena timbul perasaan tidak ada dukungan dari siswa dalam mengajar.[22]
Guru dengan efikasi diri rendah sering kali kebingungan menghadapi masalah kelas, tidak punya percaya diri untuk mengelola kelas, menjadi stress dan marah ketika perilaku siswa tidak sesuai, pesimis terhadap kemampuan siswa untuk berkembang, memandang pekerjaan mereka sebagai rutinitas belaka, sering menggunakan hukuman dan larangan dan mengatakan tidak mempunyai pilihan lain selain mengajar.[23]

Penelitian menunjukkan bahwa teacher sense of efficacy tumbuh dari kesuksesan riil dengan siswa. Pengalaman atau pelatihan yang membantu kesuksesan guru dalam tugas mengajar akan memberikan kontribusi pada sense of efficacy mereka.[24] Guru dengan tingkat efikasi diri tinggi menganggap siswa bermasalah sebagai siswa yang bisa diajar dan dijangkau serta menganggap masalah pembelajaran masih bisa diatasi dengan usaha lebih dan strategi baik untuk membantu siswa.[25]

b.3. Self Regulated Learning (Pembelajaran Regulasi diri)
Pembelajaran regulasi diri adalah memunculkan dan memonitor sendiri pikiran, perasaan, dan perilaku untuk mencapai suatu tujuan.[26] Dalam pengertian yang lain, self regulation (regulasi diri) sebagai proses yang kita gunakan untuk mengaktifkan dan mempertahankan pikiran, perilaku dan emosi kita untuk mencapai tujuan kita. Bila tujuan itu melibatkan belajar, maka kita belajar tentang self-regulated learning.[27]  Tujuan dari pembelajaran regulasi diri adalah:
1.    Tujuan akademik: Meningkatkan pemahaman dalam membaca, menjadi penulis yang baik, mengajukan pertanyaan yang relevan.
2.    Tujuan sosio-emosional: Mengontrol kemarahan, belajar akrab dengan teman sebaya.
Karakteristik dari pelajar regulasi diri adalah sebagai berikut:
1.    Bertujuan memperluas pengetahuan dan menjaga motivasi.
2.    Menyadari keadaan emosi mereka dan punya strategi untuk mengelola emosinya.
3.    Secara periodik memonitor kemajuan ke arah tujuannya.
4.    Menyesuaikan atau memperbaiki strategi berdasarkan kemajuan yang mereka buat.
5.    Mengevaluasi halangan yang mungkin muncul dan melakukan adaptasi yang diperlukan.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Regulasi Diri
Ada tiga faktor yang memengaruhi regulasi diri, yaitu: pengetahuan, motivasi, dan disiplin diri atau volition (kemauan diri). Selain itu, agar dapat menjadi self regulated learner, siswa membutuhkan pengetahuan tentang dirinya sendiri, subyeknya, tugasnya, strategi-strategi untuk belajar, dan konteks-konteks yang pembelajarannya akan mereka terapkan. Siswa-siswa “ahli” mengenal dirinya sendiri dan bagaimana mereka belajar dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh, mereka tahu gaya pembelajaran yang lebih disukainya; apa yang mudah dan apa yang sulit; apa minat dan bakatnya; dan bagaimana cara memanfaatkan kekuatannya.

Siswa-siswa ahli ini bukan hanya tahu apa yang dibutuhkan oleh setiap tugas, tetapi mereka juga dapat menerapkan strategi yang dibutuhkan. Mereka dapat membaca sekilas maupun membaca dengan seksama. Mereka dapat menggunakan berbagai strategi ingatan atau mengorganisasikan materinya. Ketika mereka menjadi knowledgeable (memiliki/menunjukkan banyak pengetahuan, kesadaran, atau inteligensi) di suatu bidang, mereka menerapkannya secara otomatis. Terakhir para siswa ahli itu termotivasi untuk belajar.[28] Dalam pembelajaran regulasi diri, yang dapat membantu murid agar menjadi pembelajar regulasi diri adalah sebagai berikut: Guru, Tutor, Mentor, Konselor, dan Orang tua

1.    Model Pembelajaran Regulasi Dini  ( Santrock 2007 )


 











(Santrock, 2008: 2

Langkah 1, mengevaluasi studinya dan persiapan tesnya dengan membuat catatan yang detail. Guru memberi petunjuk cara melakukan pencatatan ini. Setelah beberapa minggu, murid itu mempelajari catatan ini dan mengetahui bahwa nilai buruknya disebabkan oleh kesulitannya dalam memahami materi bacaan.
Langkah 2, murid menentukan tujuan, yang meningkatkan pemahaman dalam membaca dan merencanakan cara untuk mencapai tujuan ini. Guru membantunya membagi-bagi tujuan ini menjadi komponen-komponen, seperti menemukan ide utama dalam paragraf dan menentukan tujuan spesifik untuk memahami serangkaian paragraf dalam buku teksnya. Guru juga memberi murid petunjuk strategis, seperti memfokuskan pada kalimat lain sebagai cara untuk mengidentifikasi ide-ide utamanya. Bantuan lain yang diberikan guru misalnya memberi tutoring membaca.
Langkah 3, murid melaksanakan rencananya dan mulai memonitor kemajuannya. Pada awalnya, dia mungkin butuh bantuan dari guru atau tutor untuk mengidentifikasi ide-ide utama dalam bacaannya. Umpan balik ini dapat membantunya memonitor pemahaman pembacaannya.
Langkah 4, murid memonitor kemajuan pemahaman pembacaannya dengan mengevaluasi apakah bacaannya itu memengaruhi hasil pembelajarannya. Yang penting: apakah peningkatannya dalam pemahaman membaca ini membuatnya lebih baik dalam mengerjakan ujian sejarah?[29]
Model self-regulated learning menyatakan bahwa pelajar itu adalah agents. Agency adalah kapasitas untuk mengkoordinasikan berbagai keterampilan belajar, motivasi, dan emosi untuk mencapai tujuan. Self regulating learner menerapkan agency ketika mereka terlibat dalam siklus empat tahap utama, yaitu sebagai berikut:[30]
1.          Menganalisis tugas pembelajarannya. Secara umum, pembelajar memeriksa informasi apa pun yang mereka anggap relevan untuk mengkonstruksikan sense tentang seperti apakah tugasnya, sumber daya apa yang harus dimiliki, dan bagaimana perasaannya tentang tugas yang akan dikerjakan.
2.          Menetapkan tujuan dan menyusun rencana.Mengetahui kondisi-kondisi yang mempengaruhi hasil kerja memberikan informasi yang digunakan oleh pembelajar untuk menetapkan tujuan belajar. Setelah itu rencana tentang bagaiman cara mencapai tujuan itu dapat dikembangkan.
3.          Menerapkan taktik dan strategi untuk menyelesaikan tugas.Self regulated learners sangat siaga selama tahap ini karena mereka selalu memantau seberapa baikkah rencana berjalan. Hal ini merupakan monitoring metakognitif. Apakah anda sedang mengarah ke pencapaian tujuan anda? Apakah pendekatan belajar yang anda ambil terlalu berlebihan mengingat hasil yang sedang berusaha anda capai? Apakah tingkat kemajuan anda cukup cepat untuk mencapai kesiapan menghadapi tes?
4.          Meregulasi pembelajaran
Dalam tahap self regulated learning ini, pembelajar mengambil keputusan tentang apakah perlu dilakukan perubahan pada ketiga tahap sebelumnya. Contoh: bila pembelajarannya lamban: haruskah anda belajar bersama sahabat anda? Apakah me-review beberapa materi sebelumnya yang merupakan fondasi bagi isi yang saat ini sedang anda pelajari.

    Mengajar ke arah Self Efficacy dan Self Regulated Learning
Siswa mengembangkan berbagai bentuk bila guru melibatkan mereka dalam tugas-tugas yang bermakna dan kompleks yang membutuhkan waktu lama, mirip dengan kegiatan-kegiatan konstruktivis. Selain itu, untuk mengembangkan self regulated learning dan efikasi diri untuk pembelajaran, siswa perlu memiliki kontrol tertentu atas proses dan produk pembelajarannya, mereka perlu membuat pilihan. Oleh karena pemantauan diri dan evaluasi diri merupakan kunci bagi self regulated learning (SRL) yang efektif dan sense of efficacy, guru dapat membantu siswa mengembangkan SRL dengan melibatkan mereka dalam menetapkan kriteria untuk mengevaluasi proses dan produk belajarnya, lalu memberi mereka kesempatan untuk menilai kemajuan mereka dengan menggunakan standar-standar itu. Terakhir, akan membantu untuk bekerja kolaboratif dengan sesama teman dan mencari umpan balik dari mereka.[31]

Mengevaluasi Pendekatan Kognitif Sosial
Pendekatan kognitif sosial telah memberi kontribusi penting untuk mendidik anak. Selain mempertahankan aroma ilmiah kaum behavioris dan menekankan pada observasi yang cermat, pendekatan ini juga memperluas penekanan pembelajarannya sampai ke faktor kognitif dan sosial. Pembelajaran dilakukan dengan mengamati dan mendengarkan model yang kompeten dan kemudian meniru apa yang mereka lakukan. Penekanannya pendekatan perilaku kognitif pada pembelajaran instruksi diri, pembicaraan diri, dan regulasi diri, telah menimbulkan pergeseran penting dari pembelajaran yang dikontrol orang lain ke kemauan untuk bertanggung jawab atas pembelajaran yang dilakukan seseorang.[32]
Muncul sejumlah kritik terhadap pendekatan kognitif sosial ini. Beberapa teoretisi kognitif percaya bahwa pendekatan tersebut masih terlalu fokus pada perilaku dan faktor eksternal dan kurang menjelaskan secara detail bagaimana berlangsungnya proses kognitif seperti pikiran, memori, pemecahan masalah dan sebagainya. Beberapa developmentalis mengkritik pendekatan ini karena dipandang bersifat non-developmental, dalam pengertian bahwa pendekatan ini tidak menyebutkan urutan perubahan pembelajaran berdasarkan usia.  Dan teoritis humanis mengkritik pendekatan ini karena tidak memberi cukup perhatian pada rasa penghargaan diri dan hubungan yang penuh perhatian dan suportif. Semua kritik ini juga bisa diarahkan pada pendekatan behavioral.[33]

V.             Aplikasi Teori Kognitif Sosial
Menurut Bandura (1977), proses mengamati dan meniru perilaku, sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Teori belajar dari Bandura ini tampaknya memang bisa berlaku umum dalam semua langkah pendidikan sosial, komunikasi, informasi dan instruksional di lingkungan formal maupun informal.
Bandura mengusulkan tiga macam pendekatan treatment, yakni :
1.    Latihan Penguasaan (desensitisasi modeling): mengajari klien menguasai tingkah laku yang sebelumnya tidak bisa dilakukan (misalnya karena takut). Treatment konseling dimulai dengan membantu klien mencapai relaksasi yang mendalam. Kemudian konselor meminta klien membayangkan hal yang menakutkannya secara bertahap. Misalnya, ular, dibayangkan melihat ular mainan di etalase toko. Kalau klien dapat membayangkan kejadian itu tanpa rasa takut, mereka diminta membayangkan bermain-main dengan ular mainan, kemudian melihat ular dikandang kebun binatang, kemudian menyentuh ular, sampai akhirnya menggendong ular. Ini adalah model desensitisasi sistemik yang pada paradigma behaviorrisme dilakukan dengan memanfaatkan variasi penguatan. Bandura memakai desesitisasi sistematik itu dalam fikiran (karena itu teknik ini terkadang disebut; modeling kognitif) tanpa memakai penguatan yang nyata.

2.    Modeling terbuka (modeling partisipan): Klien melihat model nyata, bisanya diikuti dengan klien berpartisipasi dalam kegiatan model, dibantu oleh modelnya meniru tingkah laku yang dikehendaki, sampai akhirnya mampu melakukan sendiri tanpa bantuan.

3.     Modeling Simbolik; Klien melihat model dalam film, atau gambar/cerita. Kepuasan vikarious (melihat model mendapat penguatan) mendorong klien untuk mencoba/meniru tingkah laku modelnya. Aplikasi dari teori ini berlaku untuk setiap proses pembelajaran. Misalnya belajar gerakan tari dari instruktur membutuhkan pengamatan dari berbagai sudut yang dibantu cermin dan langsung ditirukan oleh siswa pada saat itu juga. Pendekatan seperti ini dengan cara modeling terbuka. Kemudian proses meniru akan lebih terbantu jika gerakan tadi juga didukung dengan penayangan video, gambar atau instruksi yang ditulis dalam buku panduan. Sedangkan untuk hal ini termasuk tritmen dalam pendekata modeling simbolik. Jadi dalam teori ini mengutamakan proses belajar dengan cara meniru dan mempraktekan langsung.

Selain itu perlu juga ditayangkan dalam bentuk media yang lainnya seperti slide show ataupun video sehingga mereka mendapatkan contoh yang lainnya serta dapat pula diberikan refrensi lain dalam bentuk media cetak seperti booklet atau leaflet.

Individu tersebut akan lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya, dalam pengaplikasiannya terkadang individu bersifat tidak mengacuhkan materi yang berikan sehingga dalam hal ini bisa dilakukan beberapa cara agar individu atau pekerja tertarik untuk meniru gerakan tersebut. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan menjadikan salah satu dari individu tersebut untuk menjadi model ataupun bisa membawakan model dari tokoh terkenal sehingga individu tadi merasa ingin meniru dan menerapkan hal-hal yang disampaikannya. Hal ini dilakukan karena individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan tersebut disukai dan dihargai serta perilakunya mempunyai nilai manfaat.

Contoh penerapan teori belajar kognitif sosial lainnya adalah dalam iklan televisi. Iklan selalu menampilkan bintang-bintang yang popular dan disukai masyarakat, hal ini untuk mendorong konsumen agar membeli sabun supaya mempunyai kulit seperti para "bintang" atau minum obat masuk anginnya "orang pintar".

Namun dalam pengaplikasiannya ada beberapa dampak buruk dari pendekatan modeling terbuka dan juga simbolik yang secara tidak sengaja itu akan muncul dalam benak individu. Misalnya adegan kekerasan pada media televisi, ataupun video. Sebagian kecil orang yang sering menonton adegan kekerasan maka akan terpengaruh untuk menjadi lebih agresif dibanding orang yang tidak menonton film atau video tersebut.

Ciri – ciri teori Pemodelan Bandura

    1. Unsur pembelajaran utama ialah pemerhatian dan peniruan
    2. Tingkah laku model boleh dipelajari melalui bahasa, teladan, nilai dan lain – lain
    3. Pelajar meniru suatu kemampuan dari kecakapan yang didemonstrasikan guru sebagai model
    4. Pelajar memperoleh kemampuan jika memperoleh kepuasan dan penguatan yang positif
    5. Proses pembelajaran meliputi perhatian, mengingat, peniruan, dengan tingkah laku atau timbal balik yang sesuai, diakhiri dengan penguatan yang positif
Jenis – jenis Peniruan (modeling):
1.    Peniruan Langsung
Pembelajaran langsung dikembangkan berdasarkan teori pembelajaran social Albert Bandura. Ciri khas pembelajaran ini adalah adanya modeling , yaitu suatu fase dimana seseorang memodelkan atau mencontohkan sesuatu melalui demonstrasi bagaimana suatu ketrampilan itu dilakukan. Meniru tingkah laku yang ditunjukkan oleh model melalui proses perhatian. Contoh : Meniru gaya penyanyi yang disukai.
2.    Peniruan Tidak langsung
Peniruan Tak Langsung adalah melalui imaginasi atau perhatian secara tidak langsung. Contoh : Meniru watak yang dibaca dalam buku, memperhatikan seorang guru mengajarkan rekannya.
3.    Peniruan Sesaat
Tingkah laku yang ditiru hanya sesuai untuk situasi tertentu saja. Contoh : Meniru Gaya Pakaian di TV, tetapi tidak boleh dipakai di sekolah.
4.    Peniruan Gabungan
Peniruan jenis ini adalah dengan cara menggabungkan tingkah laku yang berlainan yaitu peniruan langsung dan tidak langsung. Contoh : Pelajar meniru gaya gurunya melukis dan cara mewarnai daripada buku yang dibacanya.
5.    Peniruan Berkelanjutan
Tingkah laku yang ditiru boleh ditonjolkan dalam situasi apapun.
Contoh : Pelajar meniru gaya bahasa gurunya
Hal lain yang harus diperhatikan bahwa faktor model atau teladan mempunyai prinsip – prinsip sebagai berikut :
1.    Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya. Proses mengingat akan lebih baik dengan cara perilaku yang ditiru dituangkan dalam kata – kata, tanda atau gambar daripada hanya melihat saja. Sebagai contoh : Belajar gerakan tari dari pelatih memerlukan pengamatan dari berbagai sudut yang dibantu cermin dan seterusnya ditiru oleh para pelajar pada masa yang sama, kemudian proses meniru akan efisien jika gerakan tari tadi juga didukung dengan penayangan video, gambar, atau kaedah yang ditulis dalam buku panduan.
2.    Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
3.    Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model tersebut disukai dan dihargai serta perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.



Kelemahan Teori Albert Bandura
Teori pembelajaran Sosial Bandura sangat sesuai jika diklasifikasikan dalam teori behavioristik. Ini karena, teknik pemodelan Albert Bandura adalah mengenai peniruan tingkah laku dan adakalanya cara peniruan tersebut memerlukan pengulangan dalam mendalami sesuatu yang ditiru.
Selain itu juga, jika manusia belajar atau membentuk tingkah lakunya dengan hanya melalui peniruan ( modeling ), sudah pasti terdapat sebagian individu yang menggunakan teknik peniruan ini juga akan meniru tingkah laku yang negative , termasuk perlakuan yang tidak diterima dalam masyarakat.

Kelebihan Teori Albert Bandura
Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya , karena itu menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui system kognitif orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata – mata reflex atas stimulus ( S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi antara lingkungan dengan kognitif manusia itu sendiri.
Pendekatan teori belajar social lebih ditekankan pada perlunya conditioning ( pembiasan merespon ) dan imitation ( peniruan ). Selain itu pendekatan belajar social menekankan pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak – anak. Penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan anak – anak, faktor social dan kognitif.




B.   PENUTUP

I. Kesimpulan

Teori perkembangan kognitif social  ini telah sedikit banyak memberi panduan kepada seluruh  stakeholder pendidikan, khususnya praktisi pendidikan, tentang perkembangan yang dilalui oleh seseorang anak didik dan setiap anak didik tersebut  adalah berbeda dari segi perkembangan kognitifnya yang kemungkinan dipengaruhi oleh faktor-faktor internal maupun eksternal mereka seperti bakat, lingkungan, makanan, kecerdasan dan sebagainya. Dan teori belajar kognitif  social ini juga didasarkan pada keyakinan bahwa peserta didik aktif dalam upaya untuk memahami bagaimana dunia bekerja, kepercayaan ini konsisten para ahli seperti Albert Bandura, Piaget dan Vygotsky tentang pemandangan pengembangan pelajar. Pembelajar melakukan lebih dari sekedar menanggapi. mencari informasi yang membantu jawaban dari pertanyaan, memodifikasi pemahaman berdasarkan pengetahuan baru, dan perubahan sikap dalam menanggapi peningkatan pemahaman.

II.    Rekomendasi

Di Indonesia, proses pembelajaran yang melatih siswa berpikir tingkat tinggi memiliki beberapa kendala. Salah satunya adalah terlalu dominannya peran guru di sekolah sebagai penyebar ilmu atau sumber ilmu (teacher center) belum student center; dan fokus pendidikan di sekolah lebih pada yang bersifat menghafal/pengetahuan faktual. Siswa hanya dianggap sebagai sebuah wadah yang akan diisi dengan ilmu oleh guru. Kendala lain yang sebenarnya sudah cukup klasik namun memang sulit dipecahkan, adalah sistem penilaian prestasi siswa yang lebih banyak didasarkan melalui tes-tes yang sifatnya menguji kemampuan kognitif tingkat rendah. Siswa yang dicap sebagai siswa yang pintar atau sukses adalah siswa yang lulus ujian. Ini merupakan masalah lama yang sampai sekarang masih merupakan polemik yang cukup seru bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Maka dari itu pemakalah merekomendasikan kepada pemerintah untuk dapat diupayakan beberapa hal terkait pelaksanaan pembelajaran kognitif social dalam manajemen pendidikan
1.    Perlunya kebijakan yang terukur berupa peraturan pemerintah untuk mengimplementasikan teori teori pembelajaran baik dalam pengelolaan pendidikan maupun administrasi manajemen sekolah melalui sarana dan prasarana yang disesuaikan dengan perkembangan pendidikan di Indonesia
2.    Perlunya peningkatan pelatihan SDM dari para ahli pendidikan untuk memberikan terobosan baru terhadap penguatan kelembagaan pendidikan dalam penguatan teori kognitif social dalam berbagai aspek kehidupan

DAFTAR PUSTAKA

Anita Woolfolk, Educational Psychology Active Learning Edition, Edisi Kesepuluh Bagian Kedua, dialihbahasakan oleh Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini  Soetjipto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009),

Hamzah B. Uni, M.Pd. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran,
        Cetakan pertama, ( PT Bumi Aksara :2008 ),

John W. Santrock, Educational Psychology, 2nd Edition, dialihbahasakan oleh
        Tri Wibowo B.S. (Jakarta: Kencana, 2008),


Mulyati. Psikologi Belajar. (Surakarta 2005). 

Robbins dan Coulter Management, 7th edition. Prentice Hall, Inc.,(New Jersey,1999 ).


Sarlito wirawan sarwono. Teori-teori psikologi social. (Jakarta : rajawali     
         pers. 1991 )

Siti rochmah, dkk. Individu dalam masyarakat buku teks mengenai psikologi
         social.: pusat pembinaan dan pengembangan bahasa. (Jakarta 1996).


Unduhan Internet :







[1] John W. Santrock, Educational Psychology, 2nd Edition, dialihbahasakan oleh Tri Wibowo B.S. (Jakarta: Kencana, 2008), h. 266.
[2] Ibid., h. 285.
[3] Ibid.
[4] Anita Woolfolk, Educational Psychology Active Learning Edition, Edisi Kesepuluh Bagian Kedua, dialihbahasakan oleh Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 125.
[5] Sarlito wirawan sarwono. Teori-teori psikologi social. Jakarta : rajawali pers. 1991. Hlm. 91

[8] Siti rochmah, dkk. Individu dalam masyarakat buku teks mengenai psikologi social. Jakarta : pusat pembinaan dan pengembangan bahasa. 1996. Hlm. 27
[10]John W. Santrock, Educational Psychology, 2nd Edition, diterjemahkan oleh Tri Wibowo B.S. (Jakarta: Kencana, 2008).h.285.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid., h. 287.
[14]Anita Woolfolk, Educational Psychology Active Learning Edition,Edisi Kesepuluh Bagian Kedua, dialihbahasakan oleh Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2009), h.127.
[15] Santrock, op.cit., h. 523.
[16] Ibid., h. 128.
[17] Ibid. h. 129.
[18] Santrock, op.cit., hh. 523-524.
[19] Woolfolk, op.cit., h. 129.
[20] Ibid., h. 127-128.
[21] Ibid., h. 129.
[22] Ibid.
[23] Santrock, op.cit., h. 524.
[24] Woolfolk, op.cit., h. 130.
[25] Santrock, op.cit., h. 524.
[26] Ibid., h. 296.
[27] Woolfolk, op.cit., h. 130.
[28] Ibid., h. 131.
[29] Ibid., h. 298.
[30] Woolfolk, op.cit., h. 132.
[31] Ibid., h. 136.
[32] Santrock, op.cit., h. 299.
[33] Ibid., h. 300.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar