Pembelajaran
(learning) adalah pengaruh permanen
atas perilaku, pengetahuan,
dan keterampilan berpikir, yang diperoleh melalui pengalaman.[1]
Teori kognitif sosial (social cognitive
theory) menyatakan bahwa faktor sosial dan kognitif, serta faktor perilaku,
memainkan peran penting dalam pembelajaran. Faktor kognitif mungkin berupa
ekspektasi murid untuk meraih keberhasilan. Faktor sosial mungkin mencakup
pengamatan murid terhadap perilaku orang tuanya.[2]
Albert
Bandura - dalam buku Santrock - disebutkan sebagai salah satu arsitek utama
teori kognitif sosial. Dia mengatakan bahwa ketika murid belajar, mereka dapat
merepresentasikan atau mentransformasi pengalaman mereka secara kognitif.[3]
Pada awal 1960-an, Albert Bandura mendemonstrasikan bahwa orang dapat belajar
dengan mengamati tindakan dan konsekuensi orang lain. Social cognitive theory (teori kognitif sosial) Bandura menekankan
observasi, modeling, dan vicarious
reinforcement (penguatan yang
dialami orang lain). Seiring waktu, penjelasan Bandura tentang pembelajaran
memasukan lebih banyak perhatian pada
faktor-faktor kognitif seperti ekspektasi dan keyakinan selain pengaruh sosial
para model/panutan. Perspektif mutakhirnya disebut social cognitive theory (teori kognitif sosial).[4]
I.
Rumusan Masalah
1. Apakah
definisi dari Kognitif Sosial?
2. Apakah
saja elemen-elemen kunci teori kognitif sosial yang sangat penting dalam
pembelajaran dan pengajaran
3. Apakah
pengertian dari Self Efficacy?
4. Bagaimana
penerapan teori Kognitif Sosial:hubungan kinerja di sekolah dan Self Efficacy?
5. Apakah
pengertian dari Self Regulated Learning?
6. Bagaimana
Model Self Regulated Learning?
II.
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan yang diharapkan dapat diketahui dari makalah ini adalah pembaca dapat
memahami
1. Teori
Kognitif sosial,
2. Elemen
– Elemen Kognitif Sosial : Self Efficacy,
dan Self Regulated Learning,
3. Mengajar ke
arah Self Efficacy dan Self Regulated Learning, Mengevaluasi Pendekatan Kognitif Sosial
- PEMBAHASAN
I.
Pengertian dan definisi Teori Kognitif Sosial
Pengertian Kognitif
menurut scheerer (1954
: 49) kognitif adalah proses sentral yang menghubungkan peristiwa-peristiwa di
luar (external) dan di dalam (internal) diri sendiri.
Sedangkan
festinger (1957) kognitif adalah elemen-elemen
kognitif, yaitu hal-hal yang di ketahui oleh seseorang tentang dirinya
sendiri, tentang tingkah lakunya, dan tentang keadaan disekitarnya.
Menurut Neisser (1967)
kognitif adalah proses yang
merubah, mereduksi, memperinci, menyimpan, mengungkapkan dan memakai setiap
masukan (input) yang datang dari alat indera. [5] Menurut Baron & Byrne (2000) kognitif
sosial adalah cara
individu untuk menganalisa, mengingat dan menggunakan informasi mengenai
kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa sosial. [6]
Dalam menganalisa
peristiwa terdapat tiga proses yaitu ;
a.
Attention ; proses pertama kali dimana individu memperhatikan
gejala-gejala social yang ada di sekelilingnya
b.
Enconding : memasukkan apa yang diperhatikan ke dalam memori dan
menyimpannya
c.
Retrieval : apabila kita menemukan gejala yang
mirip, kita akan mengeluarkan ingatan kita dan membandingkan,
apabila ternyata sama maka kita akan mengatakan sesuatu mengenai gejala
tersebut atau mengeluarkannya di saat akan menceritakan peristiwa yang dialami.[7]
Kognisi adalah respon
atau reaksi individu terhadap manusia dan benda yang terbentuk oleh bagaimana
cara individu tersebut memandang keduanya (dunia kognitifnya). Dan kesan
tersebut mengenai dunia setiap individu merupakan dunia yang bersifat
individual. Dua orang yang berbeda tidak mungkin hidup dalam dunia kognitif
yang sama.[8]
Dari pengertian di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa kognitif social adalah proses
berfikir yang dilakukan seseorang untuk memahami dirinya sendiri dan orang
lain.(kognisi adalah pengetahuan dan kesadaran) atau tata cara dimana kita
menginterpretasi, menganalisa, mengingat, dan menggunakan informasi tentang
dunia social. Dan kognisi social terjadi secara otomatis.
Dalam kognisi social,
memahami dunia sosial misalnya seperti upaya untuk menjelaskan orang yang baru
saja bertemu, upaya untuk menjelaskan diri sendiri, dan proses berfikir dalam
kognisi social mencakup bagaimana individu tersebut melakukan interpretasi
(penafsiran), menganalisa, mengingat, dan menggunakan informasi tentang dunia
social yang dialaminya.[9]
II.
Tokoh Belajar teori Kognitif Sosial
Teori belajar kognitif sosial dikemukakan oleh
Psikolog Amerika Albert Bandura dan Walter
Mischel. Albert Bandura adalah seorang psikolog Universitas Stanford, Amerika
Serikat. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata reflek
otomatis atas stimulus (S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul
sebagai hasilinteraksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu
sendiri. Para teorisi belajar sosial juga mengatakan bahwa manusia tidak
seperti robot yang tidak memiliki pikiran,tetapi sebaliknya tanggap secara
mekanis kepada orang lain di dalam lingkungan kita. Manusia dapat berpikir,
menalar, membayangkan, merencanakan, mengharapkan, menginterpretasikan,
meyakini, menilai, dan membandingkan. Teori belajar sosial menyatakan bahwa
manusia belajar perilaku sosial yang sesuai,terutama dengan mengamati dan
meniru model yaitu dengan menyaksikan orang lain. Bandura
mengembangkan model determinisme resiprokal yang terdiri dari tiga faktor
utama, yakni: Perilaku person/kognitif,
dan lingkungan.[10] Berikut
gambar untuk model determinisme resiprokal Bandura:

Faktor
lingkungan memengaruhi perilaku, perilaku memengaruhi lingkungan, faktor person (kognitif) memengaruhi perilaku, dan sebagainya. Bandura
menggunakan istilah person, tetapi kita memodifikasikannya menjadi person (cognitive) karena banyak faktor
orang yang dideskripsikannya adalah faktor kognitif.[11]
Faktor
person Bandura yang tak punya
kecenderungan kognitif terutama adalah pembawaan personalitas dan temperamen.
Faktor kognitif mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi, pemikiran, dan
kecerdasan.[12]
III.
Proses Belajar Kognitif Sosial
Teori kognitif adalah teori yang umumnya dikaitkan
dengan proses belajar. Kognisi adalah kemampuan psikis atau mental manusia yang
berupa mengamati, melihat, menyangka, memperhatikan, menduga dan menilai.
Dengan kata lain, kognisi menunjuk pada konsep tentang pengenalan. Teori
kognitif menyatakan bahwa proses belajar terjadi karena ada variabel penghalang
pada aspek-aspek kognisi seseorang (Mulyati, 2005)
Teori
belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu
sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon,
lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar
adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak
selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.
Dari
beberapa teori belajar kognitif diatas (khususnya tiga di penjelasan awal)
dapat pemakalah ambil sebuah sintesis bahwa masing masing teori memiliki
kelebihan dan kelemahan jika diterapkan dalam dunia pendidikan dan pembelajaran.
Jika keseluruhan teori diatas memiliki kesamaan yang sama-sama dalam ranah
psikologi kognitif, maka disisi lain juga memiliki perbedaan jika diaplikasikan
dalam proses pendidikan.
Sebagai
misal, Teori bermakna ausubel dan discovery Learningnya bruner memiliki sisi
pembeda. Dari sudut pandang Teori belajar Bermakna Ausubel memandang bahwa
justeru ada bahaya jika siswa yang kurang mahir dalam suatu hal mendapat
penanganan dengan teori belajar discoveri, karena siswa cenderung diberi
kebebasan untuk mengkonstruksi sendiri pemahaman tentang segala sesuatu. Oleh
karenanya menurut teori belajar Bermakna guru tetap berfungsi sentral sebatas membantu
mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman yang hendak diterima oleh siswa namun
tetap dengan koridor pembelajaran yang bermakna.
Dari
poin diatas dapat pemakalah ambil garis bawahi bahwa beberapa teori belajar
kognitif diatas, meskipun sama-sama mengedepankan proses berpikir, tidak serta
merta dapat diaplikasikan pada konteks pembelajaran secara menyeluruh. Terlebih
untuk menyesuaikan teori belajar kognitif ini dengan kompleksitas proses dan
sistem pembelajaran sekarang maka harus benar-benar diperhatikan antara
karakter masing-masing teori dan kemudian disesuakan dengan tingkatan
pendidikan maupun karakteristik peserta didiknya.
Gagasan-Gagasan
Kunci di Dalam Psikologi Kognitif dalam konteks pendidikan.
1. Kognitif
umumnya bersifat adaptif, namun
tidak semua kasus. Evolusi telah membantu kita dengan baik dalam
membentuk perkembang perangkat kognitif yang sanggup menangkap secara kuat
rangsangan dari lingkungan. Perangkat kognitif ini membuat kita mampu untuk
memahami rangsangan internal yang membuat sebagian besar informasi bisa
tersedia bagi kita. Kita bisa memahami, belajar, mengingat, menalar dan
memecahkan masalah dengan keakuratan tinggi. Rangsangan apapun dapat memecahkan
perhatian kita dengan mudah dari memproses informasi dengan benar. Namun begitu,
proses-proses sama yang membawa kita kepada pemahaman, pengingatan, dan
penalaran akurat dikebanyakan situasi bisa juga membawa kita pada situasi
kebingunan. Proses memori dan penalaran kita, rentan terhadap kekeliruan
sistematik tertentu yang dikenal dengan baik. Contoh, kita cenderung menilai
secara berlebihan informasi yang mudah kita terima, bahkan kita melakukan
kekeliruan ini ketika informasi tersebut sama sekali tidak relevan dengan
persoalan yang sedang dihadapi.
2. Proses
kognitif berinteraksi satu sama lain termasuk denga proses-proses non-kognitif. Meskipun para psikolog kognitif sering
kali mengisolasi fungsi dari proses-proses kognitif tertentu. Contoh
proses-proses memori bergantung pada proses-proses persepsi. Apa yang anda
ingat , sebagian bergantung kepada yang anda pahami. Dengan cara yang sama,
proses berfikir bergantung sebagian kepad proses memori, contoh Anda
tidak bisa merefleksikan apa yang anda ingat. Proses-proses kognitif juga
berinteraksi dengan proses-proses non-kognitif, contohnya anada bisa belajar
lebih baik ketika termotivasiuntuk belajar. Walaupun demikian pembelajaran anda
tampaknya akan melemah jika merasa anda merasa jengkel terhadap sesuatu dan
tidak bis berkonsentrasi pad atugas pembelajaran yang sedang dihadapi.
Salah
satu wilayah psikologi kognitif yang paling menarik dewasa ini adalah saling
berkaitan antara analisis yang kognitif dan biologis. Contohnya menjadi mungkin
untuk menentukan tempat aktifitas didalam otak yang berkaitan dengan
jenis-jenis proses kognitf. Akan tetapi kita tidak boleh langsung mengasumsikan
kalau aktifitas biologis adalah penyebabutama aktifitas kognitif. Riset justru
menunjukkan bahwa proses pembelajaranlah yang menyebabkan perubahan-perubahan
di dalam otak. Dengan kata lain proses-proses kognitif dapat mempengaruhi
struktur-struktur biologis sama seperti struktur biologis mempengaruhi proses
kognitif. Sistem kognitif tidak bekerja secara terisolasi, namun bekerja dengan
sistem lain.
3.
Kognisi perlu dipelajari lewat beragam metode
ilmiah.
Semua proses kognitif perlu dipelajari lewat beragam operasi yang saling
melengkapi. Artinya beragam metode studi untuk mencari suatu pemahaman umum.
Semakin banyak perbedaan jenis teknik yang mengarah kepada kesimpulan yang
sama, semakin tinggi keyakinan yang bisa kita miliki mengenai kesimpulan
tersebut. Contohnya, studi-studi tentang waktu reaksi, tingkat kekeliruan dan
pola perbedaan individual, semua mengarah pada kesimpulan yang sama.
IV.
Implementasi Kognitif Sosial
a. Implementasi di dunia
Manajemen
Pengertian
Manajemen
Ada beberapa definisi mengenai manajemen yang
diberikan oleh para ahli. Robbins dan Coulter (1999) menyebutkan
manajemen adalah proses pengkoordinasian dan pengintegrasian kegiatan-kegiatan
kerja agar diselesaikan secara efektif dan efisien melalui orang lain.
Dua kata penting yang saling terkait di sini adalah pengkoordinasian orang lain
dan efektif-efisien. Pengkoordinasian orang lain artinya melibatkan orang
lain, sedangkan efektif dan efisien untuk menunjukkan berdaya guna dan berhasil
guna. Pengkoordinasian orang lain tidak berarti kegiatan tidak dapat
dilakukan sendiri, hanya saja dalam pertimbangan efektifitas dan efisiensi,
perlu pelibatan orang lain. Lalu untuk dapat tercapai secara optimal
pelibatan tersebut, perlu dikelola atau ada proses atau upaya pengkoordinasian
yang disebut manajemen.
Sedangkan menurut Gibson, Donelly, dan Ivancevich
(1996) menyebutkan manajemen adalah proses yang dilakukan seorang atau beberapa
orang untuk mengkoordinasikan aktifitas orang lain untuk mencapai hasil-hasil
yang tidak dapat dicapai oleh orang itu sendiri. Follet dalam Stoner dan
Wankel (1986), menyebutkan bahwa manajemen adalah seni untuk melakukan sesuatu
melalui orang lain. Menurut Harold Koontz & Hein Weirich (1988:4),
Manajemen adalah proses mendesain dan memelihara lingkungan dimana orang-orang
bekerja bersama dalam kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu
secara efisien
Dan menurut
George R.Terry (kamus Manajement:290), Manajemen adalah pencapaian sesuatu
tujuan yang telah ditentukan sebelumnya melalui usaha-usaha orang lain.
Oleh karena itu, manajemen diartikan sebagai proses
merencana, pengorganisasi, memimpin dan mengendalikan upaya organisasi dengan
segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.
Peran
Manajemen
Peran
manajer menurut Mintzberg dalam Robbins dan Coulter (1999) adalah peran antar
pribadi, peran informasi, dan peran memutuskan, dengan penjelasan masing-masing
adalah sebagai berikut :
·
Peran antar pribadi: Peran-peran yang melibatkan
kegiatan-kegiatan simbolis (figure head), pemimpin, dan penghubung.
·
Peran informasi: Peran yang meliputi
kecepatan-kecepatan memantau, menyebarkan, dan juru bicara.
·
Peran memutuskan: Peran yang meliputi kewirausahawan,
penanganan gangguan, pengalokasi sumber daya.
Kemampuan
Manajerial
Kemampuan
manajerial adalah kemampuan manajer dalam mengatur, mengkoordinasikan, dan
menggerakkan para bawahan ke arah pencapaian tujuan yang ditetapkan oleh
organisasinya. Kemampuan manajerial lahir dari proses pembelajaran.
Kegagalan mengoptimalkan kemampuan manajer ini disebabkan sebagai berikut
:
·
Manajer kurang mampu memahami kinerja yang diharapkan
dari posisinya.
·
Kurang memahami peran manajerial yang diembannya.
·
Tidak menguasai keterampilan manajerial.
·
Tidak mampu memotivasi bawahan.
b.
Implementasi di dunia
Pendidikan
Implementasi Teori Kognitif Sosial Self
Efficacy dan self regulated learning adalah dua
elemen kunci teori kognitif sosial yang sangat penting dalam pembelajaran dan
pengajaran
b.1. Self Efficacy
Pernahkah
Anda menemukan seorang siswa yang merasa kurang memiliki kemampuan pada
pelajaran tertentu kemudian tidak mau berusaha belajar untuk ujian pelajaran
tersebut karena dia tidak percaya bahwa belajar tidak akan membantunya
mengerjakan soal ujian. Bandura menyebut hal tersebut sebagai self efficacy atau efikasi diri. Menurut
Santrock, efikasi diri adalah keyakinan seseorang untuk dapat menguasai situasi
dan menghasilkan hal positif.[13]
Bandura dalam buku Woolfolk berpendapat bahwa efikasi diri adalah keyakinan
seseorang tentang kemampuan dirinya untuk mengorganisasikan dan melaksanakan
rangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan pencapaian tertentu. Efikasi diri mengacu pada pengetahuan
seseorang tentang kemampuannya sendiri untuk menyelesaikan tugas tertentu tanpa
perlu membandingkan dengan kemampuan orang lain.[14]
Secara sederhana, efikasi diri adalah keyakinan seseorang tentang kompetensi
pribadinya di bidang tertentu. Efikasi diri yang tinggi dapat diartikan sebagai
perasaan seorang siswa bahwa dirinya mampu dan berusaha menangani tugas
tertentu dengan efektif dengan keyakinan “saya bisa”. Sebaliknya, efikasi diri
yang rendah adalah keyakinan bahwa ” saya tidak bisa”.[15]
1. Mastery experience,
adalah pengalaman langsung seseorang yang merupakan sumber informasi efikasi
yang paling kuat. Kesuksesan menaikkan efikasi, sedangkan kegagalan menurunkan
efikasi.
2. Physiological and emotional
arousal, adalah reaksi fisik dan psikologis yang
menyebabkan seseorang merasa siaga, bersemangat, atau tegang. Tingkat arousal memengaruhi efikasi diri,
tergantung bagaimana arousal tersebut
diinterpretasikan. Pada saat merasa cemas atau khawatir dapat menurunkan
efikasi, sebaliknya saat bersemangat dapat menaikkan efikasi.
3. Vicarious experiences
(pengalaman orang lain) merupakan pencapaian yang dilakukan oleh orang lain.
Dalam hal ini, seseorang memberikan contoh penyelesaian. Semakin dekat siswa
mengidentifikasikan diri dengan sang model, akan semakin besar pula dampak
efikasi dirinya. Bila sang model melakukan tugasnya dengan baik, efikasi siswa
meningkat, sebaliknya jika sang model melakukan tugasnya dengan buruk, efikasi
siswa menurun.
4. Social persuasion,
dapat berupa umpan balik lebih spesifik atas kinerja. Menurut Bandura, persuasi
sosial dapat membuat siswa berusaha dan berupaya cukup keras dengan strategi
baru untuk mencapai kesuksesan. Potensi persuasi bergantung pada kredibilitas,
dapat dipercaya dan keahlian pemberi persuasi. Sebuah persuasi sosial yang
kredibel dan dapat dipercaya dapat menangkal keraguan diri.
Penerapan
Teori Kognitif Sosial: Hubungan Kinerja di Sekolah dan Efikasi Diri. Bila sense of efficacy seseorang tinggi terhadap suatu tugas, dia
cenderung mempunyai tujuan yang tinggi untuk menyelesaikan tugasnya. bila sense of efficacy seseorang rendah,
mungkin dia sama sekali menghindari tugas atau menghindari saat muncul masalah.[17]
Misalnya, siswa dengan efikasi diri rendah mungkin menghindari tugas belajar,
khususnya yang menantang dan sulit. Sedangkan siswa dengan efikasi diri tinggi
mau mengerjakan tugas dan tekun berusaha menguasai materi pembelajaran.[18]
Anak-anak dan orang dewasa yang optimis dengan masa depannya lebih sehat secara
mental maupun fisik, memiliki tingkat depresi yang lebih rendah dan memiliki
motivasi berprestasi lebih tinggi. Namun
demikian, terdapat jika menetapkan estimasi terlalu rendah atas kemampuan
siswa, siswa cenderung kurang keras berusaha dan mudah menyerah. Sebaliknya,
jika siswa terus menerus diberikan estimasi terlalu tinggi atas kinerjanya, ada
bahaya mereka cenderung tidak termotivasi untuk memperbaiki kekeliruannya.
Mereka tidak sungguh-sungguh memahami materinya.[19]
Graham
dan Weiner berpendapat bahwa kinerja di sekolah meningkat dan efikasi diri
meningkat jika siswa: [20]
a. Mengadopsi
tujuan jangka pendek sehingga lebih mudah menilai kemajuannya.
b. Diajari
menggunakan strategi belajar yang spesifik seperti merangkum yang dapat
membantu memfokuskan perhatian mereka.
c. Menerima
reward berdasarkan prestasi belajar.
b.2. Teacher
Sense of Efficacy
Teacher Sense of Efficacy
yaitu keyakinan guru bahwa dirinya mampu menjangkau hingga siswa yang paling
sulit untuk membantu mereka belajar, dan hal ini merupakan salah satu
karakteristik personal guru yang berkorelasi dengan kemampuan siswa.[21]
Berdasarkan
teori efikasi diri, guru yang memiliki efikasi diri tinggi bekerja lebih keras
dan bertahan lebih lama bahkan bila siswanya sulit diajar, hal ini dikarenakan
sebagian dari mereka memiliki percaya diri dan percaya pada siswanya. Hoy dan
Spero dalam Woolfolk berpendapat bahwa calon guru cenderung memiliki sense of efficacy tinggi dalam mengajar.
Namun setelah satu tahun menjadi guru, sense
of efficacy tersebut dapat menurun. Hal tersebut dapat terjadi karena timbul
perasaan tidak ada dukungan dari siswa dalam mengajar.[22]
Guru
dengan efikasi diri rendah sering kali kebingungan menghadapi masalah kelas,
tidak punya percaya diri untuk mengelola kelas, menjadi stress dan marah ketika
perilaku siswa tidak sesuai, pesimis terhadap kemampuan siswa untuk berkembang,
memandang pekerjaan mereka sebagai rutinitas belaka, sering menggunakan hukuman
dan larangan dan mengatakan tidak mempunyai pilihan lain selain mengajar.[23]
Penelitian
menunjukkan bahwa teacher sense of efficacy
tumbuh dari kesuksesan riil dengan siswa. Pengalaman atau pelatihan yang
membantu kesuksesan guru dalam tugas mengajar akan memberikan kontribusi pada sense of efficacy mereka.[24]
Guru dengan tingkat efikasi diri tinggi menganggap siswa bermasalah sebagai
siswa yang bisa diajar dan dijangkau serta menganggap masalah pembelajaran
masih bisa diatasi dengan usaha lebih dan strategi baik untuk membantu siswa.[25]
b.3. Self Regulated
Learning
(Pembelajaran Regulasi diri)
Pembelajaran regulasi diri adalah memunculkan
dan memonitor sendiri pikiran, perasaan, dan perilaku untuk mencapai suatu
tujuan.[26]
Dalam pengertian yang lain, self
regulation (regulasi diri) sebagai proses yang kita gunakan untuk
mengaktifkan dan mempertahankan pikiran, perilaku dan emosi kita untuk mencapai
tujuan kita. Bila tujuan itu melibatkan belajar, maka kita belajar tentang self-regulated learning.[27]
Tujuan
dari pembelajaran regulasi diri adalah:
1. Tujuan
akademik: Meningkatkan pemahaman dalam membaca, menjadi penulis yang baik,
mengajukan pertanyaan yang relevan.
2. Tujuan
sosio-emosional: Mengontrol kemarahan, belajar akrab dengan teman sebaya.
Karakteristik dari pelajar regulasi diri
adalah sebagai berikut:
1. Bertujuan
memperluas pengetahuan dan menjaga motivasi.
2. Menyadari
keadaan emosi mereka dan punya strategi untuk mengelola emosinya.
3. Secara
periodik memonitor kemajuan ke arah tujuannya.
4. Menyesuaikan
atau memperbaiki strategi berdasarkan kemajuan yang mereka buat.
5. Mengevaluasi
halangan yang mungkin muncul dan melakukan adaptasi yang diperlukan.
Faktor-faktor yang
Memengaruhi Regulasi Diri
Ada
tiga faktor yang memengaruhi regulasi diri, yaitu: pengetahuan, motivasi, dan
disiplin diri atau volition (kemauan
diri). Selain itu, agar dapat menjadi self
regulated learner, siswa membutuhkan pengetahuan
tentang dirinya sendiri, subyeknya, tugasnya, strategi-strategi untuk belajar,
dan konteks-konteks yang pembelajarannya akan mereka terapkan. Siswa-siswa
“ahli” mengenal dirinya sendiri dan
bagaimana mereka belajar dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh, mereka tahu
gaya pembelajaran yang lebih disukainya; apa yang mudah dan apa yang sulit; apa
minat dan bakatnya; dan bagaimana cara memanfaatkan kekuatannya.
Siswa-siswa
ahli ini bukan hanya tahu apa yang dibutuhkan oleh setiap tugas, tetapi mereka
juga dapat menerapkan strategi yang
dibutuhkan. Mereka dapat membaca sekilas maupun membaca dengan seksama. Mereka
dapat menggunakan berbagai strategi ingatan atau mengorganisasikan materinya.
Ketika mereka menjadi knowledgeable
(memiliki/menunjukkan banyak pengetahuan, kesadaran, atau inteligensi) di suatu
bidang, mereka menerapkannya secara otomatis. Terakhir para siswa ahli itu termotivasi untuk belajar.[28] Dalam pembelajaran regulasi
diri, yang dapat membantu murid agar menjadi pembelajar regulasi diri adalah sebagai
berikut: Guru, Tutor, Mentor, Konselor, dan Orang tua
1. Model
Pembelajaran Regulasi Dini ( Santrock
2007 )
![]() |
(Santrock, 2008: 2
Langkah 1, mengevaluasi studinya dan
persiapan tesnya dengan membuat catatan yang detail. Guru memberi petunjuk cara melakukan pencatatan ini.
Setelah beberapa minggu, murid itu mempelajari catatan ini dan mengetahui bahwa
nilai buruknya disebabkan oleh kesulitannya dalam memahami materi bacaan.
Langkah 2, murid menentukan tujuan, yang
meningkatkan pemahaman dalam membaca dan merencanakan cara untuk mencapai
tujuan ini. Guru membantunya membagi-bagi tujuan ini menjadi komponen-komponen,
seperti menemukan ide utama dalam paragraf dan menentukan tujuan spesifik untuk
memahami serangkaian paragraf dalam buku teksnya. Guru juga memberi murid
petunjuk strategis, seperti memfokuskan pada kalimat lain sebagai cara untuk
mengidentifikasi ide-ide utamanya. Bantuan lain yang diberikan guru misalnya
memberi tutoring membaca.
Langkah 3, murid melaksanakan rencananya dan mulai
memonitor kemajuannya. Pada awalnya, dia mungkin butuh bantuan dari guru atau
tutor untuk mengidentifikasi ide-ide utama dalam bacaannya. Umpan balik ini
dapat membantunya memonitor pemahaman pembacaannya.
Langkah 4, murid memonitor kemajuan pemahaman
pembacaannya dengan mengevaluasi apakah bacaannya itu memengaruhi hasil
pembelajarannya. Yang penting: apakah peningkatannya dalam pemahaman membaca
ini membuatnya lebih baik dalam mengerjakan ujian sejarah?[29]
Model self-regulated
learning menyatakan bahwa pelajar itu adalah agents. Agency adalah
kapasitas untuk mengkoordinasikan berbagai keterampilan belajar, motivasi, dan
emosi untuk mencapai tujuan. Self
regulating learner menerapkan agency
ketika mereka terlibat dalam siklus empat tahap utama, yaitu sebagai berikut:[30]
1.
Menganalisis tugas
pembelajarannya. Secara
umum, pembelajar memeriksa informasi apa pun yang mereka anggap relevan untuk
mengkonstruksikan sense tentang
seperti apakah tugasnya, sumber daya apa yang harus dimiliki, dan bagaimana
perasaannya tentang tugas yang akan dikerjakan.
2.
Menetapkan tujuan dan
menyusun rencana.Mengetahui kondisi-kondisi yang mempengaruhi hasil kerja
memberikan informasi yang digunakan oleh pembelajar untuk menetapkan tujuan
belajar. Setelah itu rencana tentang bagaiman cara mencapai tujuan itu dapat
dikembangkan.
3.
Menerapkan taktik dan
strategi untuk menyelesaikan tugas.Self
regulated learners sangat siaga selama tahap ini karena mereka selalu
memantau seberapa baikkah rencana berjalan. Hal ini merupakan monitoring metakognitif. Apakah anda
sedang mengarah ke pencapaian tujuan anda? Apakah pendekatan belajar yang anda
ambil terlalu berlebihan mengingat hasil yang sedang berusaha anda capai?
Apakah tingkat kemajuan anda cukup cepat untuk mencapai kesiapan menghadapi
tes?
4.
Meregulasi pembelajaran
Dalam
tahap self regulated learning ini,
pembelajar mengambil keputusan tentang apakah perlu dilakukan perubahan pada
ketiga tahap sebelumnya. Contoh: bila pembelajarannya lamban: haruskah anda
belajar bersama sahabat anda? Apakah me-review
beberapa materi sebelumnya yang merupakan fondasi bagi isi yang saat ini sedang
anda pelajari.
Mengajar ke arah Self Efficacy dan Self
Regulated Learning
Siswa mengembangkan berbagai bentuk bila guru
melibatkan mereka dalam tugas-tugas yang bermakna dan kompleks yang membutuhkan
waktu lama, mirip dengan kegiatan-kegiatan konstruktivis. Selain itu, untuk
mengembangkan self regulated learning
dan efikasi diri untuk pembelajaran, siswa perlu memiliki kontrol tertentu atas
proses dan produk pembelajarannya, mereka perlu membuat pilihan. Oleh karena
pemantauan diri dan evaluasi diri merupakan kunci bagi self regulated learning (SRL) yang efektif dan sense of efficacy, guru dapat membantu siswa mengembangkan SRL
dengan melibatkan mereka dalam menetapkan kriteria untuk mengevaluasi proses
dan produk belajarnya, lalu memberi mereka kesempatan untuk menilai kemajuan
mereka dengan menggunakan standar-standar itu. Terakhir, akan membantu untuk
bekerja kolaboratif dengan sesama teman dan mencari umpan balik dari mereka.[31]
Mengevaluasi Pendekatan
Kognitif Sosial
Pendekatan kognitif sosial telah memberi
kontribusi penting untuk mendidik anak. Selain mempertahankan aroma ilmiah kaum
behavioris dan menekankan pada observasi yang cermat, pendekatan ini juga memperluas
penekanan pembelajarannya sampai ke faktor kognitif dan sosial. Pembelajaran
dilakukan dengan mengamati dan mendengarkan model yang kompeten dan kemudian
meniru apa yang mereka lakukan. Penekanannya pendekatan perilaku kognitif pada
pembelajaran instruksi diri, pembicaraan diri, dan regulasi diri, telah
menimbulkan pergeseran penting dari pembelajaran yang dikontrol orang lain ke
kemauan untuk bertanggung jawab atas pembelajaran yang dilakukan seseorang.[32]
Muncul sejumlah kritik terhadap pendekatan
kognitif sosial ini. Beberapa teoretisi kognitif percaya bahwa pendekatan
tersebut masih terlalu fokus pada perilaku dan faktor eksternal dan kurang
menjelaskan secara detail bagaimana
berlangsungnya proses kognitif seperti pikiran, memori, pemecahan masalah dan
sebagainya. Beberapa developmentalis mengkritik pendekatan ini karena dipandang
bersifat non-developmental, dalam pengertian bahwa pendekatan ini tidak
menyebutkan urutan perubahan pembelajaran berdasarkan usia. Dan teoritis humanis mengkritik pendekatan
ini karena tidak memberi cukup perhatian pada rasa penghargaan diri dan
hubungan yang penuh perhatian dan suportif. Semua kritik ini juga bisa
diarahkan pada pendekatan behavioral.[33]
V.
Aplikasi Teori Kognitif Sosial
Menurut Bandura
(1977), proses mengamati
dan meniru perilaku, sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar.
Teori belajar dari Bandura ini tampaknya memang bisa berlaku umum dalam semua
langkah pendidikan sosial, komunikasi, informasi dan instruksional di
lingkungan formal maupun informal.
Bandura mengusulkan
tiga macam pendekatan treatment, yakni :
1. Latihan Penguasaan (desensitisasi modeling): mengajari klien menguasai tingkah laku yang sebelumnya tidak bisa dilakukan
(misalnya karena takut). Treatment konseling dimulai dengan membantu klien
mencapai relaksasi yang mendalam. Kemudian konselor meminta klien membayangkan
hal yang menakutkannya secara bertahap. Misalnya, ular, dibayangkan melihat
ular mainan di etalase toko. Kalau klien dapat membayangkan kejadian itu tanpa
rasa takut, mereka diminta membayangkan bermain-main dengan ular mainan,
kemudian melihat ular dikandang kebun binatang, kemudian menyentuh ular, sampai
akhirnya menggendong ular. Ini adalah model desensitisasi sistemik yang pada
paradigma behaviorrisme dilakukan dengan memanfaatkan variasi penguatan.
Bandura memakai desesitisasi sistematik itu dalam fikiran (karena itu teknik
ini terkadang disebut; modeling kognitif) tanpa memakai penguatan yang nyata.
2. Modeling terbuka (modeling partisipan): Klien melihat model nyata, bisanya diikuti
dengan klien berpartisipasi dalam kegiatan model, dibantu oleh modelnya meniru
tingkah
laku yang dikehendaki,
sampai akhirnya mampu melakukan sendiri tanpa bantuan.
3. Modeling Simbolik; Klien melihat model dalam film, atau gambar/cerita. Kepuasan
vikarious (melihat model mendapat penguatan) mendorong klien untuk
mencoba/meniru tingkah laku modelnya. Aplikasi dari teori ini berlaku untuk setiap proses
pembelajaran. Misalnya belajar gerakan tari dari instruktur membutuhkan
pengamatan dari berbagai sudut yang dibantu cermin dan langsung ditirukan oleh
siswa pada saat itu juga. Pendekatan seperti ini dengan cara modeling terbuka.
Kemudian proses meniru akan lebih terbantu jika gerakan tadi juga didukung
dengan penayangan video, gambar atau instruksi yang ditulis dalam buku panduan.
Sedangkan untuk hal ini termasuk tritmen dalam pendekata modeling simbolik.
Jadi dalam teori ini mengutamakan proses belajar dengan cara meniru dan
mempraktekan langsung.
Selain itu perlu juga
ditayangkan dalam bentuk media yang lainnya seperti slide show ataupun video
sehingga mereka mendapatkan contoh yang lainnya serta dapat pula diberikan
refrensi lain dalam bentuk media cetak seperti booklet atau leaflet.
Individu tersebut akan
lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya,
dalam pengaplikasiannya terkadang individu bersifat tidak mengacuhkan materi
yang berikan sehingga dalam hal ini bisa dilakukan beberapa cara agar individu
atau pekerja tertarik untuk meniru gerakan tersebut. Cara yang bisa dilakukan
adalah dengan menjadikan salah satu dari individu tersebut untuk menjadi model
ataupun bisa membawakan model dari tokoh terkenal sehingga individu tadi merasa
ingin meniru dan menerapkan hal-hal yang disampaikannya. Hal ini dilakukan
karena individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan
tersebut disukai dan dihargai serta perilakunya mempunyai nilai manfaat.
Contoh penerapan teori
belajar kognitif
sosial lainnya adalah
dalam iklan televisi. Iklan selalu menampilkan bintang-bintang yang popular dan
disukai masyarakat, hal ini untuk mendorong konsumen agar membeli sabun supaya
mempunyai kulit seperti para "bintang" atau minum obat masuk anginnya
"orang pintar".
Namun dalam
pengaplikasiannya ada beberapa dampak buruk dari pendekatan modeling terbuka
dan juga simbolik yang secara tidak sengaja itu akan muncul dalam benak
individu. Misalnya adegan kekerasan pada media televisi, ataupun video.
Sebagian kecil orang yang sering menonton adegan kekerasan maka akan terpengaruh
untuk menjadi lebih agresif dibanding orang yang tidak menonton film atau video
tersebut.
Ciri –
ciri teori Pemodelan Bandura
- Unsur pembelajaran utama ialah pemerhatian dan peniruan
- Tingkah laku model boleh dipelajari melalui bahasa, teladan, nilai dan lain – lain
- Pelajar meniru suatu kemampuan dari kecakapan yang didemonstrasikan guru sebagai model
- Pelajar memperoleh kemampuan jika memperoleh kepuasan dan penguatan yang positif
- Proses pembelajaran meliputi perhatian, mengingat, peniruan, dengan tingkah laku atau timbal balik yang sesuai, diakhiri dengan penguatan yang positif
Jenis – jenis Peniruan
(modeling):
1.
Peniruan Langsung
Pembelajaran langsung dikembangkan berdasarkan teori
pembelajaran social Albert Bandura. Ciri khas pembelajaran ini adalah adanya
modeling , yaitu suatu fase dimana seseorang memodelkan atau mencontohkan
sesuatu melalui demonstrasi bagaimana suatu ketrampilan itu dilakukan. Meniru tingkah laku yang ditunjukkan oleh
model melalui proses perhatian. Contoh : Meniru gaya penyanyi yang disukai.
2.
Peniruan
Tidak langsung
Peniruan Tak Langsung adalah melalui imaginasi atau
perhatian secara tidak langsung. Contoh : Meniru watak yang dibaca dalam buku,
memperhatikan seorang guru mengajarkan rekannya.
3.
Peniruan
Sesaat
Tingkah laku yang ditiru hanya sesuai untuk situasi
tertentu saja. Contoh :
Meniru Gaya Pakaian di TV, tetapi tidak boleh dipakai di sekolah.
4.
Peniruan
Gabungan
Peniruan jenis ini adalah dengan cara menggabungkan
tingkah laku yang berlainan yaitu peniruan langsung dan tidak langsung. Contoh
: Pelajar meniru gaya gurunya melukis dan cara mewarnai daripada buku yang
dibacanya.
5.
Peniruan Berkelanjutan
Tingkah laku yang ditiru boleh ditonjolkan dalam
situasi apapun.
Contoh : Pelajar meniru gaya bahasa gurunya
Hal lain yang harus diperhatikan bahwa faktor model
atau teladan mempunyai prinsip – prinsip sebagai berikut :
1.
Tingkat tertinggi belajar
dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan
mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya. Proses mengingat
akan lebih baik dengan cara perilaku yang ditiru dituangkan dalam kata – kata,
tanda atau gambar daripada hanya melihat saja. Sebagai contoh : Belajar gerakan
tari dari pelatih memerlukan pengamatan dari berbagai sudut yang dibantu cermin
dan seterusnya ditiru oleh para pelajar pada masa yang sama, kemudian proses
meniru akan efisien jika gerakan tari tadi juga didukung dengan penayangan
video, gambar, atau kaedah yang ditulis dalam buku panduan.
2.
Individu lebih menyukai
perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
3.
Individu akan menyukai
perilaku yang ditiru jika model tersebut disukai dan dihargai serta perilakunya
mempunyai nilai yang bermanfaat.
Kelemahan Teori Albert
Bandura
Teori pembelajaran Sosial
Bandura sangat sesuai jika diklasifikasikan dalam teori behavioristik. Ini
karena, teknik pemodelan Albert Bandura adalah mengenai peniruan tingkah laku
dan adakalanya cara peniruan tersebut memerlukan pengulangan dalam mendalami
sesuatu yang ditiru.
Selain itu juga, jika
manusia belajar atau membentuk tingkah lakunya dengan hanya melalui peniruan (
modeling ), sudah pasti terdapat sebagian individu yang menggunakan teknik
peniruan ini juga akan meniru tingkah laku yang negative , termasuk perlakuan
yang tidak diterima dalam masyarakat.
Kelebihan Teori Albert
Bandura
Teori Albert Bandura
lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya , karena itu menekankan
bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui system kognitif
orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata – mata
reflex atas stimulus ( S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul
akibat interaksi antara lingkungan dengan kognitif manusia itu sendiri.
Pendekatan teori belajar
social lebih ditekankan pada perlunya conditioning ( pembiasan merespon ) dan
imitation ( peniruan ). Selain itu pendekatan belajar social menekankan
pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak – anak.
Penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan anak – anak,
faktor social dan kognitif.
B.
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Teori
perkembangan kognitif social ini telah sedikit banyak memberi panduan
kepada seluruh stakeholder pendidikan, khususnya praktisi pendidikan,
tentang perkembangan yang dilalui oleh seseorang anak didik dan setiap anak
didik tersebut adalah berbeda dari segi perkembangan kognitifnya yang
kemungkinan dipengaruhi oleh faktor-faktor internal maupun eksternal mereka
seperti bakat, lingkungan, makanan, kecerdasan dan sebagainya. Dan teori belajar kognitif social ini juga didasarkan pada keyakinan bahwa
peserta didik aktif dalam upaya untuk memahami bagaimana dunia bekerja,
kepercayaan ini konsisten para ahli seperti Albert Bandura, Piaget dan Vygotsky tentang
pemandangan pengembangan pelajar. Pembelajar melakukan lebih dari sekedar
menanggapi. mencari informasi yang membantu jawaban dari pertanyaan, memodifikasi
pemahaman berdasarkan pengetahuan baru, dan perubahan sikap dalam menanggapi
peningkatan pemahaman.
II.
Rekomendasi
Di Indonesia, proses
pembelajaran yang melatih siswa berpikir tingkat tinggi memiliki beberapa
kendala. Salah satunya adalah terlalu dominannya peran guru di sekolah sebagai
penyebar ilmu atau sumber ilmu (teacher center) belum
student
center; dan fokus pendidikan di sekolah lebih pada yang bersifat
menghafal/pengetahuan faktual. Siswa hanya dianggap sebagai sebuah wadah yang
akan diisi dengan ilmu oleh guru. Kendala lain yang sebenarnya sudah cukup
klasik namun memang sulit dipecahkan, adalah sistem penilaian prestasi siswa
yang lebih banyak didasarkan melalui tes-tes yang sifatnya menguji kemampuan
kognitif tingkat rendah. Siswa yang dicap sebagai siswa yang pintar atau sukses
adalah siswa yang lulus ujian. Ini merupakan masalah lama yang sampai sekarang
masih merupakan polemik yang cukup seru bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Maka dari itu pemakalah merekomendasikan kepada
pemerintah untuk dapat diupayakan beberapa hal terkait pelaksanaan pembelajaran
kognitif social dalam manajemen pendidikan
1. Perlunya kebijakan yang terukur berupa peraturan
pemerintah untuk mengimplementasikan teori teori pembelajaran baik dalam
pengelolaan pendidikan maupun administrasi manajemen sekolah melalui sarana dan
prasarana yang disesuaikan dengan perkembangan pendidikan di Indonesia
2. Perlunya peningkatan pelatihan SDM dari para ahli
pendidikan untuk memberikan terobosan baru terhadap penguatan kelembagaan
pendidikan dalam penguatan teori kognitif social dalam berbagai aspek kehidupan
DAFTAR PUSTAKA
Anita
Woolfolk, Educational Psychology Active
Learning Edition, Edisi Kesepuluh Bagian Kedua, dialihbahasakan oleh Helly
Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009),
Hamzah B. Uni, M.Pd. Orientasi Baru Dalam Psikologi
Pembelajaran,
Cetakan pertama, ( PT Bumi Aksara :2008 ),
John W. Santrock, Educational
Psychology, 2nd Edition, dialihbahasakan oleh
Tri Wibowo B.S. (Jakarta: Kencana, 2008),
Mulyati. Psikologi Belajar. (Surakarta 2005).
Robbins dan Coulter Management,
7th edition. Prentice Hall, Inc.,(New Jersey,1999 ).
Sarlito wirawan sarwono. Teori-teori
psikologi social. (Jakarta
: rajawali
pers. 1991 )
Siti
rochmah, dkk. Individu dalam masyarakat buku teks mengenai psikologi
social.: pusat
pembinaan dan pengembangan bahasa. (Jakarta 1996).
Unduhan Internet :
[1] John W.
Santrock, Educational Psychology, 2nd
Edition, dialihbahasakan oleh Tri Wibowo B.S. (Jakarta: Kencana, 2008), h.
266.
[4] Anita
Woolfolk, Educational Psychology Active
Learning Edition, Edisi Kesepuluh Bagian Kedua, dialihbahasakan oleh Helly
Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), h. 125.
[8]
Siti
rochmah, dkk. Individu
dalam masyarakat buku teks mengenai psikologi social. Jakarta :
pusat pembinaan dan pengembangan bahasa. 1996. Hlm. 27
[10]John
W. Santrock, Educational Psychology, 2nd
Edition, diterjemahkan oleh Tri Wibowo B.S. (Jakarta: Kencana, 2008).h.285.
[14]Anita
Woolfolk, Educational Psychology Active
Learning Edition,Edisi Kesepuluh Bagian Kedua, dialihbahasakan oleh Helly
Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2009),
h.127.
[21] Ibid., h. 129.
[22] Ibid.
[23]
Santrock, op.cit., h. 524.
[24]
Woolfolk, op.cit., h. 130.
[25]
Santrock, op.cit., h. 524.
[26] Ibid., h. 296.
[27]
Woolfolk, op.cit., h. 130.
[28] Ibid., h. 131.
[29] Ibid., h. 298.
[30]
Woolfolk, op.cit., h. 132.
[31] Ibid., h. 136.
[33] Ibid., h. 300.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar