Pembiayaan Pendidikan Era
Otonomi Daerah dan MBS
A. Latar
Belakang Masalah
Sejak diberlakukannya Reformasi di semua
bidang pada tahun 1998, berdampak pada perubahan
sistem pendidikan nasional yang fundamental. Perubahan sistem pendidikan
tersebut mengikuti perubahan sistem pemerintah yang sentralistik menuju
desentralistik atau yang lebih dikenal dengan otonomi pendidikan dan kebijakan
otonomi nasional itu mempengaruhi sistem pendidikan Indonesia.
Implementasi Kebijakan Otonomi daerah yang
didasarkan pada UU No. 22 tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004, yaitu memutuskan
suatu keputusan dan atau kebijakan secara mandiri dimana kewenangan yang dulu
berada di pusat sekarang telah diserahkan kepada daerah dalam hal ini propinsi
dan kabupaten/kota. Pemberian otonomi ini dimaksudkan untuk lebih memandirikan
daerah dan memberdayakan masyarakat sehingga lebih leluasa dalam mengatur dan
melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri. Pemberian otonomi yang luas
dan bertanggung jawab dilaksanakan dengan berdasarkan prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, berkeadilan, dan memperhatikan
potensi serta keanekaragaman daerah, dengan titik sentral otonomi pada tingkat
yang paling dekat dengan rakyat, yaitu kabupaten dan kota. Hal yang esensial
dari otonomi daerah adalah semakin besarnya tanggung jawab daerah untuk
mengurus tuntas segala permasalahan yang tercakup di dalam pembangunan
masyarakat di daerahnya, termasuk bidang pendidikan, dengan pola pengelolaan
sekolah berbasis Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dimana implementasi Otonomi
daerah telah memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan
melaksanakan berbagai kebijakan secara luas.
Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang
kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, pada
kelompok bidang pendidikan dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan
pemerintah salah satunya adalah penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan
pendidikan. Dalam hal ini pembiayaan pendidikan merupakan suatu hal yang sangat
penting bagi pendidikan di daerah. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 4 juga
menerangkan dalam hal pembiayaan pendidikan bahwa; ”Negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Sejalan dengan
itu maka dalam implementasi kebijakan pendidikan di daerah akan berjalan dengan
baik apabila didukung oleh sumber daya pendidikan (pembiayaan pendidikan) yang
memadai dan dapat diandalkan untuk meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya
di daerah.
Dilihat dari perpektif pembiayaan pendidikan,
pelaksanaan otonomi daerah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sistem
alokasi dan manajemen pembiayaan pendidikan. Diantaranya adalah semakin
besarnya peranan daerah di satu pihak dan semakin berkurangnya peranan pusat
dalam menentukan berbagai kebijakan yang berkenaan dengan penggunaan anggaran
pendidikan. Kewenangan pemerintah pusat terbatas pada penetapan kebijakan yang
bersifat makro dalam bentuk pengalokasian anggaran untuk sekolah-sekolah dengan
mengikuti standar rata-rata, sedangkan kebijakan-kebijakan yang bersifat mikro
seperti alokasi dan distribusi anggaran pendidikan ke sekolah menjadi
kewenangan daerah yaitu pemerintah kabupaten dan kota. Semakin besar peran
pemerintah daerah justru menuntut adanya rambu-rambu yang berlaku secara
nasional yang menjadi pedoman bagi daerah dalam menentukan alokasi anggaran
untuk satuan pendidikan, mulai dari tingkat SD hingga SLTA.
Sejalan dengan berlakunya otonomi daerah,
pemerintah mendorong pula dikembangkannya Manajemen Berbasis Sekolah yang
menuntut terjadinya perubahan dalam manajemen sekolah. Dalam MBS, tanggung
jawab dalam pengambilan keputusan salah satu yang sangat vital yaitu anggaran
pembiayaan pendidikan lebih banyak diletakkan pada tingkat sekolah daripada
tingkat pusat atau tingkat daerah. MBS memberikan kewenangan yang lebih besar
kepada sekolah untuk mengendalikan proses pendidikan di satuan sekolah.
Sehingga berkaca dengan implementasi MBS yang merupakan implikasi
diberlakukannya otonomi daerah, setiap sekolah diharapkan mampu mewujudkan
tujuan dari pelaksanaan pendidikan.
B. Rumusan
masalah
Dari
makalah ini dapat dirumuskan beberapa masalah diantaranya:
1. Bagaimana
perubahan yang terjadi dalam hal pola pembiayaan pendidikan setelah
diberlakukannya otonomi daerah,
2. Bagaimana
pembiayaan pendidikan dalam konteks manajemen berbasis sekolah
C. PEMBAHASAN
1. Pola
Pembiayaan Sektor Pendidikan di era Otonomi Daerah
Amanat
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 4 juga menerangkan dalam hal pembiayaan
pendidikan bahwa; ”Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
pennyelenggaraan pendidikan nasional”
Sejalan
dengan itu maka dalam implementasi kebijakan pendidikan di daerah akan berjalan
dengan baik apabila didukung oleh sumber daya pendidikan (pembiayaan
pendidikan) yang memadai dan dapat diandalkan untuk meningkatkan mutu dan
kualitas sumber daya di daerah.
Dengan adanya perubahan
kewenangan pengelolaan pendidikan dengan segera mengubah pola pembiayaan sektor
pendidikan. Sebelum otonomi daerah, praktis hanya pembiayaan sekolah dasar (SD)
yang menjadi tanggung jawab Pemda, sedangkan SMP dan SMA (dan juga perguruan
tinggi) menjadi tanggung jawab Pusat, seperti yang tertuang dalam Undang-undang
No. 20 Tahun 2003 pasal 46; (1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama
antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. (2) Pemerintah dan
pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana
diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. (3) Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
. Maka dengan pola otonomi daerah, antara Dinas
Pendidikan kabupaten/kota dengan Dinas Pendidikan propinsi tidak ada hubungan
hierarkhis, sedangkan propinsi masih tetap mengemban amanat sebagai perwakilan
pemerintah pusat. Dengan konfigurasi kelembagaan seperti itu, jelas bahwa Pusat
tidak lagi punya “tangan” di daerah untuk mengimplementasikan program-programnya.
Implikasinya, setiap program di tingkat sekolah harus dilakukan melalui
koordinasi dengan Pemda, atau khususnya Dinas Pendidikan kabupaten/kota.
Dengan
konfigurasi kelembagaan yang seperti itu pula, pola pembiayaan pendidikan
mengalami perubahan yang cukup mendasar. Pasal 48 Undang Undang-undang No. 20
Tahun 2003 menjelaskan bahwa; (1) pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada
prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik, (2)
Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Dengan demikian daerah
memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk membiayai sektor pendidikan
dengan menggunakan APBD-nya. Dukungan dari Pusat (dan Propinsi) tetap dimungkinkan,
tetapi juga harus melalui mekanisme APBD, atau paling tidak tercatat di dalam
APBD kabupaten/kota.
Tantangan
pertama yang harus dihadapi oleh para pengelola pendidikan adalah masalah
pendanaan. Sebagai ilustrasi, rendahnya kualitas gedung sekolah, terutama SD,
merupakan salah satu dampak keterbatasan kemampuan pemerintah dalam
memobilisasi dana untuk sektor pendidikan. Di sisi lain, UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memberi beban yang sangat berat
bagi pemerintah. Pasal 49 menyatakan sebagai berikut; (1) Dana pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). (2) Gaji guru
dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). (3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah
daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Dana pendidikan dari Pemerintah
kepada pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (5) Ketentuan mengenai pengalokasian dana
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Jelas
bahwa Pemda memiliki tanggung jawab yang besar dan bersifat jangka panjang di
sektor pendidikan, tetapi tidak memiliki sumber dana yang cukup dan stabil
untuk mendanai. Jika situasinya tidak berubah, Daerah tidak akan mampu memenuhi
20% anggaran untuk pendidikan seperti yang diamanatkan UU Sisdiknas dan pada
gilirannya ada risiko terjadi penurunan kualitas SDM sebagai dampak otonomi daerah.
Perubahan kewenangan pengelolaan pendidikan
dengan segera mengubah pola pembiayaan sektor pendidikan. Sebelum otonomi
daerah, praktis hanya pembiayaan sekolah dasar (SD) yang menjadi tanggung jawab
Pemda, sedangkan SLTP dan SLTA (dan juga perguruan tinggi) menjadi tanggung
jawab Pusat. Pembiayaan SLTP dan SLTA dilakukan melalui Kanwil Depdiknas (di
tingkat propinsi) dan Kandepdiknas (di tingkat kabupaten/kota).
Setelah diberlakukannya otonomi daerah,
sebagaimana disinggung di atas, seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SLTA
menjadi tanggung jawab Pemda. Konsekwensinya, tidak ada lagi Kanwil dan
Kandepdiknas, yang ada hanyalah Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten/kota yang
berada di bawah kendali Pemda, dan Dinas Pendidikan propinsi yang berada di bawah
kendali Pemerintah propinsi . Antara Dinas Pendidikan kabupaten/kota dengan
Dinas Pendidikan propinsi tidak ada hubungan hierarkhis, sedangkan propinsi
masih tetap mengemban amanat sebagai perwakilan pemerintah pusat. Dengan
konfigurasi kelembagaan seperti itu, jelas bahwa Pusat tidak lagi punya
“tangan” di daerah untuk mengimplementasikan program-programnya. Implikasinya,
setiap program di tingkat sekolah harus dilakukan melalui koordinasi dengan
Pemda, atau khususnya Dinas Pendidikan kabupaten/kota.
Pada era sentralisasi di masa lalu, sebagian
besar (bahkan hampir semua) dana pendidikan yang ada di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota berasal dari pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah hanya
mengelola dan menyalurkannya sesuai dengan peruntukkannya yang telah
direncanakan sebelumnya. Pada era otonomi sekarang, keadaan tersebut
sesungguhnya masih belum banyak mengalami perubahan. Sebagian besar dana dalam
RAPBD provinsi dan kabupaten/kota sebagian dari pusat yang dislaurkan dalam
bentuk paket yang disebut Dana Alokasi
Umum (DAU) dan untuk sebagian ditambah lagi dengan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Perbedaannya terletak pada tanggung jawab pengalokasiannya yang diserahkan
sepenuhnya kepada daerah. Daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang dikuasai
oleh negara mendapatkan bagian dalam proporsi tertentu dari keuntungan yang
diperoleh dengan mengacu pada UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah.
Pada tingkat sekolah, biaya pendidikan
diperoleh dari subsidi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan sumbangan
masyarakat. Besar kecilnya biaya pendidikan terutama, pada tingkat satuan
pendidikan berhubungan dengan berbagai indikator mutu pendidikan, berhubungan
dengan berbagai indikator mutu pendidikan. Dalam konteks perencanaan pembiayaan
pendidikan, pemahaman terhadap berbagai aspek pembiayaan pendidikan sangatlah
penting. Pemahaman yang dimaksud merentang dari hal-hal yang sifatnya mikro
hingga makro, antara lain meliputi sumber-sumber pembiayaan pendidikan, sistem
dan mekanisme pengalokasiannya, efektivitas dan efisiensi dalam penggunaannya,
dan akuntabilitas hasilnya yang diukur dari perubahan-perubahan kuantitatif dan
kualitatif yang terjadi pada semua tataran, khususnya di tingkat sekolah. Maka
dari itu peran MBS sangat penting agar pengelolaan dana pendidikan tepat
sasaran , dimana MBS menuntut pembiayaan pendidikan transparan, tepat sasaran
dan sesuai dengan kebutuhan lokal.
2. Pembiayaan
Pendidikan Dalam Konteks Manajemen Berbasis Sekolah
Keuangan dan pembiayaan
merupakan salah satu sumber daya yang secara langsung menunjang efektivitas dan
efisiensi pengelolaan pendidikan. Hal tersebut lebih terasa lagi dalam
implementasi MBS, yang menuntut sekolah untuk merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi serta mempertanggungjawabkan pengelolaan dana secara transparan
kepada masyarakat dan pemerintah. Keuangan dan pembiayaan sangat menentukan
ketercapaian tujuan pendidikan di sekolah, yang memerlukan sejumlah investasi
dari anggaran pemerintah dan dana masyarakat. Investasi tersebut harus dikelola
secara efektif dan efisien dan diarahkan langsung terhadap pencapaian tujuan.
Salah satu yang harus
didesentralisasikan dalam konsep MBS adalah power / authority yang meliputi
budget, personnel dan curriculum[1]. Budged
(anggaran) adalah rencana penerimaan dan pengeluaran dalam jangka waktu satu
tahun[2]. Kewenangan mengelolaan anggaran adalah keleluasaan
mendapatkan sumber-sumber pembiayaan dan keleluasaan dalam hal penggunaannya.
Kewenangan pengelolaan anggaran tersebut merupakan kunci penerapan konsep-konsep
MBS di sekolah.
Sejak
konsep MBS diperkenalkan (1999) sampai sekarang, penerapan konsep MBS masih
belum sesuai dengan prinsip-prinsip MBS terutama yang menyangkut dengan
pendanaan. Sekolah-sekolah masih sangat tergantung pada kebijakan birokrat
dalam pendanaan pendidikan.
Sehingga timbul permasalahan seolah-olah pendanaan pendidikan tidak termasuk kewenangan yang diberikan ke sekolah. Pada hal pendanaan merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan MBS. Pendanaan atau anggaran pendidikan meliputi banyak hal seperti sumber keuangan sekolah, kebutuhan sekolah yang perlu dibiayai, bagaimana peran pemerintah pusat, daerah dan masyarakat, sumber-sumber pendanaan, usaha-usaha sekolah untuk mendapatkan pendanaan dan lain sebagainya.
Sehingga timbul permasalahan seolah-olah pendanaan pendidikan tidak termasuk kewenangan yang diberikan ke sekolah. Pada hal pendanaan merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan MBS. Pendanaan atau anggaran pendidikan meliputi banyak hal seperti sumber keuangan sekolah, kebutuhan sekolah yang perlu dibiayai, bagaimana peran pemerintah pusat, daerah dan masyarakat, sumber-sumber pendanaan, usaha-usaha sekolah untuk mendapatkan pendanaan dan lain sebagainya.
Sistem pembiayaan pendidikan di Indonesia
sekarang menurut ketentuan Undang-Undang (UU) no. 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (SPN) fasal 46 menyebutkan bahwa pendanaan pendidikan
menjadi tangung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan
masyarakat. Pasal 49 ayat 1 menyebutkan selain gaji pemerintah minimal
mengalokasikan 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan
pemerintah daerah minimal mengalokasikan 20 % dari Anggaran pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) pada sektor pendidikan, lebih lanjut ayat 3 dan 4
menyatakan bahwa dana pendidikan diberikan dalam bentuk hibah bedasarkan
prinsip keadilan, kecukupan dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1).
Peraturan Pemerintah (PP) no.19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) pasal 63 menyatakan bahwa pembiayaan
pendidikan terdiri dari biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal.
Biaya investasi meliputi biaya sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya
manusia dan modal kerja tetap. Biaya operasi meliputi gaji, bahan habis pakai
dan biaya tak langsung. Dan biaya personal meliputi biaya yang dikeluarkam
untuk mengikuti proses pendidikan seperti pakaian, transpor, buku, komsumsi dan
biaya pribadi lainnya.
Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab
bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Namun tidak
jelas berapa parsen tanggung jawab pemerintah pusat, berapa parsen tanggung
jawab pemerintah daerah dan berapa parsen tanggung jawab masyarakat. Pemerintah
daerah yang dimaksud juga kurang jelas, apakah pemerintah daerah propinsi atau
pemerintah daerah kabupaten/kota, mengingat otonomi daerah berada pada
pemerintah daerah kabupaten/kota. Bantuan Operasional Sekolah (BOS), school
grand dan bantuan lainnya yang diterima sekolah dari pemerintah pusat tidak
jelas sumbernya apakah berasal dari APBN atau berasal dari sumber lainnya,
karena kita tahu ada bantuan untuk sektor pendidikan sebagai akibat dari
pengurangan subsidi bahab bakar minyak (BBM). Diluar gaji pemerintah pusat mengalokasikan
dana 20% dari APBN dan 20% dari APBD untuk sektor pendidikan.
Dana pendidikan diberikan dalam bentuh hibah,
ini berarti bahwa dana pendidikan yang diberikan ke sekolah dikelola sesuai
dengan prinsip otonomi sekolah. Kenyataan menunjukan bahwa hal tersebut belum
sepenuhnya terwujud, masih banyak campur tangan dari pihak lain dalam
pengelolaan berbagai bentuk dana pendidikan yang ada di sekolah. Ada dana
bantuan pusat yang pada prinsipnya bebas pajak, namun dalam pelaksanaannya di
daerah dana bantuan tersebut tetap kena pajak.
Secara umum terdapat dua dimensi model
pembiayaan pendidikan yaitu dimensi alokasi biaya dan dimensi penghasilan.
Dimensi alokasi biaya terkait dengan target populasi yang disesuaikan dengan
program, pelayanan dan kelengkapan fasilitas. Perhitungan unit cost untuk masing-masing
program ditentukan oleh kemampuan lokal. Dimensi penghasilan merupakan
parsentase dari penghasilan yang ditetapkan dari berbagai sumber. Dimensi
alokasi biaya secara garis besar dikelompokan dalam dua model yaitu model flat
grant dan model aqualization. Dimensi penghasilan terdiri dari 5 model yaitui;
biaya dari daerah seluruhnya, model flat grant, model penyamaan, model
pembiayan insentif atau persentase dan model pembiayaan dari pusat seluruhnya.
Sejak
reformasi bergulir di Indonesia sekitar tahun 1998 yang lalu, sektor pendidikan
termasuk bidang yang direformasi. Diperkenalkannya konsep MBS dan kemudian
lahir UU SPN tahun 2003 merupakan bentuk dari reformasi pendidikan tersebut.
Pendanaan pendidikan, yang sebelumnya tidak diatur secara jelas, dengan adanya
UU tersebut diatur secara tegas pada fasal 46dan 47. Yang dibutuhkan lagi
adalah political will pemerintah
melaksanakannya. Disamping
melaksanakan dengan tegas ketentuan pasal
46 UU SPN, pada masa yang akan datang pemerintah perlu membuat aturan tentang
sumber-sumber pembiayaan pendidikan. Odden dalam Kimbrough and Nunnery (1994)
mengemukakan bahwa negara dengan reformasi pendidikan menjadi agresif dalam
menemukan sumber-sumber pendapatan baru untuk sekolah-sekolah[3].
Sehingga apa yang disarankan oleh MBE Project. Net (tt) dapat direlisasikan, yang
mana mengemukakan bahwa MBS perlu ditunjang dengan dana operasional sekolah,
jumlah dana yang diberikan langsung kepada sekolah sangat perlu ditingkatkan..
Aturan lain yang perlu juga dibuat adalah ketentuan yang membolehkan sekolah
mencari sumber-sumber pendanann dengan bebas sehingga sekolah tidak lagi
terlalu tergantung dari dana pemerintah.
Kesimpulan dan Saran
Reformasi peraturan perundangan dalam pembiayaan pendidikan telah dilakukan. UU no.20 tahun 2003 tentang SPN fasal 46, 47 dan 49 menyatakan dengan tegas tentang pembiayaan pendidikan. PP no.19 tahun 2005 tentang NSP fasal 63 juga mengatur standar pembiayaan pendidikan. Implementasi dari ketentuan pasal-pasal dari UU dan PP tersebut masih lemah, misalnya ketentuan fasal 49 ayat 1 menyebutkan selain gaji pemerintah minimal mengalokasikan 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan pemerintah daerah minimal mengalokasikan 20 % dari Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada sektor pendidikan. Sampai sekarang ketentuan fasal tersebut belum terwujud dalam APBN dan sebagian besar APBD di Indonesia.
Desentralisasi pendidikan memberikan
otonomi pendidikan ke sekolah dalam bentuk MBS. Pelaksanan MBS perlu ditunjang
dengan dana operasional Dengan demikian dana yang diberikan langsung kepada
sekolah sangat diperlukan dan kewenangan mengelola dana tersebut diberikan
sepenuhnya. Disamping itu sekolah perlu diberi kebebasan menggali sumber
pendanaan, sehingga lambat laun sekolah tidak lagi terlalu tergantung dengan
pemerintah.
Saran
1. Reformasi pendidikan
dalam bentuk peraturan perundangan perlu diteruskan, terutama yang menyangkut
dengan pembiayaan pendidikan. Pada masa yang akan datang pemerintah perlu
menentukan tanggungjawab pemerinah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat
dalam pembiayaan pendidikan, menerapkan prinsip keadilan secara merata agar
kemajuan sekolah terlaksana dengan merata dan membuat aturan yang memungkinkan
pemerintah menggali sumber pembiayaan khusus untuk bidang pendidikan.
2. Dalam rangka pelaksanaan MBS dan
otonomi sekolah, sekolah hendaknya diberi keleluasaan atau kewenangan mengelola
anggarannya sendiri, sekolah yang tahu dengan kebutuhannya. Dan pada masa yang
akan datang perlu dibuat aturan agar sekolah dapat menggali sumber pendanaannya
sendiri agar sekolah tidak lagi terlalu tergantung pada pemerinah.
D. Kesimpulan
dan Saran
1. Setelah
diberlakukannya otonomi daerah, sebagaimana disinggung di atas, seluruh
pengelolaan sekolah dari SD hingga SLTA menjadi tanggung jawab Pemda.
Konsekwensinya, tidak ada lagi Kanwil dan Kandepdiknas, yang ada hanyalah Dinas
Pendidikan di tingkat kabupaten/kota yang berada di bawah kendali Pemda, dan
Dinas Pendidikan propinsi yang berada di bawah kendali Pemprop. Antara Dinas
Pendidikan kabupaten/kota dengan Dinas Pendidikan propinsi tidak ada hubungan
hierarkhis, sedangkan propinsi masih tetap mengemban amanat sebagai perwakilan
pemerintah pusat. Dengan konfigurasi kelembagaan seperti itu, jelas bahwa Pusat
tidak lagi punya “tangan” di daerah untuk mengimplementasikan
program-programnya. Implikasinya, setiap program di tingkat sekolah harus
dilakukan melalui koordinasi dengan Pemda, atau khususnya Dinas Pendidikan
kabupaten/kota.
E. Referensi
Ahmadjayadi,
C., 2000 Perspektif masyarakat daerah di era otonomi daerah. Revitalisasi
Komitmen
Kebangsaan
dalam menyongsong Era Otonomi Daerah, IA-ITB, Bandung 28 Oktober 2000
Anonim.,2000a
Special report overall ranking, science and technology schools, multi
disciplinary schools.Pointer http://www. Asianweek.com
----------.,2000b
Nobel Pprize in Physics Winner 2000-1901. Pointer http://www. Almaz.com/nobel
Bill
Gates., 1995 The Road Ahead, Penguin Book Ltd, New York
Chen
Tony, 2003 Licencing Clinic Seminar, Microsoft Indonesia, Jakarta July 10th,
Chempy,J.,
1996 Reengineering the Corporation, Prentice-Hall, New York
Gibson,
Rowan., 1997 Rethinking the future, Nicholas Breadly Publishing, London
Nolan
R.L and Croson,D.C , 1993 The Stages Theory of A Frame Work for IT Adaption and
Organizational Learning, Harvard Business School. Cambridge MA
Rose,
Collin and Nicholl, Malcolm J., 1997 Accellerated learning for the 21st
century, A Dell Trade Paperback, New York
Diposkan
oleh RATANUSON di 09.39
[1]
Nurkolis.
2002. Penerapan MBS di SLTP 9 Jakarta. Pendidikan network (Online) Vol. – No. (http://www.Artikel.us/nurkolis1.html
di akses 3 April 2007).
[2] Yahya.
2007. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bahan Kuliah. Program Pascasarjana
Universitas Negeri Padang.
[3]
Kimbrough, Ralph and Michael Y. Nunnery. 1988. Educational Administration. New
York: Macmillan Publishing Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar