Selasa, 07 Februari 2017

Pembiayaan Pendidikan Era Otonomi Daerah dan MBS



Pembiayaan Pendidikan Era Otonomi Daerah dan MBS

A.   Latar Belakang Masalah
Sejak diberlakukannya Reformasi di semua bidang  pada tahun 1998, berdampak pada perubahan sistem pendidikan nasional yang fundamental. Perubahan sistem pendidikan tersebut mengikuti perubahan sistem pemerintah yang sentralistik menuju desentralistik atau yang lebih dikenal dengan otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi nasional itu mempengaruhi sistem pendidikan Indonesia.
Implementasi Kebijakan Otonomi daerah yang didasarkan pada UU No. 22 tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004, yaitu memutuskan suatu keputusan dan atau kebijakan secara mandiri dimana kewenangan yang dulu berada di pusat sekarang telah diserahkan kepada daerah dalam hal ini propinsi dan kabupaten/kota. Pemberian otonomi ini dimaksudkan untuk lebih memandirikan daerah dan memberdayakan masyarakat sehingga lebih leluasa dalam mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri. Pemberian otonomi yang luas dan bertanggung jawab dilaksanakan dengan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, berkeadilan, dan memperhatikan potensi serta keanekaragaman daerah, dengan titik sentral otonomi pada tingkat yang paling dekat dengan rakyat, yaitu kabupaten dan kota. Hal yang esensial dari otonomi daerah adalah semakin besarnya tanggung jawab daerah untuk mengurus tuntas segala permasalahan yang tercakup di dalam pembangunan masyarakat di daerahnya, termasuk bidang pendidikan, dengan pola pengelolaan sekolah berbasis Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dimana implementasi Otonomi daerah telah memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas.
Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, pada kelompok bidang pendidikan dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan pemerintah salah satunya adalah  penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan. Dalam hal ini pembiayaan pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi pendidikan di daerah. Dalam  Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 4 juga menerangkan dalam hal pembiayaan pendidikan bahwa; ”Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Sejalan dengan itu maka dalam implementasi kebijakan pendidikan di daerah akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh sumber daya pendidikan (pembiayaan pendidikan) yang memadai dan dapat diandalkan untuk meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya di daerah.
Dilihat dari perpektif pembiayaan pendidikan, pelaksanaan otonomi daerah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sistem alokasi dan manajemen pembiayaan pendidikan. Diantaranya adalah semakin besarnya peranan daerah di satu pihak dan semakin berkurangnya peranan pusat dalam menentukan berbagai kebijakan yang berkenaan dengan penggunaan anggaran pendidikan. Kewenangan pemerintah pusat terbatas pada penetapan kebijakan yang bersifat makro dalam bentuk pengalokasian anggaran untuk sekolah-sekolah dengan mengikuti standar rata-rata, sedangkan kebijakan-kebijakan yang bersifat mikro seperti alokasi dan distribusi anggaran pendidikan ke sekolah menjadi kewenangan daerah yaitu pemerintah kabupaten dan kota. Semakin besar peran pemerintah daerah justru menuntut adanya rambu-rambu yang berlaku secara nasional yang menjadi pedoman bagi daerah dalam menentukan alokasi anggaran untuk satuan pendidikan, mulai dari tingkat SD hingga SLTA.
Sejalan dengan berlakunya otonomi daerah, pemerintah mendorong pula dikembangkannya Manajemen Berbasis Sekolah yang menuntut terjadinya perubahan dalam manajemen sekolah. Dalam MBS, tanggung jawab dalam pengambilan keputusan salah satu yang sangat vital yaitu anggaran pembiayaan pendidikan lebih banyak diletakkan pada tingkat sekolah daripada tingkat pusat atau tingkat daerah. MBS memberikan kewenangan yang lebih besar kepada sekolah untuk mengendalikan proses pendidikan di satuan sekolah. Sehingga berkaca dengan implementasi MBS yang merupakan implikasi diberlakukannya otonomi daerah, setiap sekolah diharapkan mampu mewujudkan tujuan dari pelaksanaan pendidikan.


B.   Rumusan masalah
Dari makalah ini dapat dirumuskan beberapa masalah diantaranya:
1.      Bagaimana perubahan yang terjadi dalam hal pola pembiayaan pendidikan setelah diberlakukannya otonomi daerah,
2.      Bagaimana pembiayaan pendidikan dalam konteks manajemen berbasis sekolah

C.   PEMBAHASAN
1.   Pola Pembiayaan Sektor Pendidikan di era Otonomi Daerah
Amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 4 juga menerangkan dalam hal pembiayaan pendidikan bahwa; ”Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan pennyelenggaraan pendidikan nasional”
Sejalan dengan itu maka dalam implementasi kebijakan pendidikan di daerah akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh sumber daya pendidikan (pembiayaan pendidikan) yang memadai dan dapat diandalkan untuk meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya di daerah.
Dengan adanya perubahan kewenangan pengelolaan pendidikan dengan segera mengubah pola pembiayaan sektor pendidikan. Sebelum otonomi daerah, praktis hanya pembiayaan sekolah dasar (SD) yang menjadi tanggung jawab Pemda, sedangkan SMP dan SMA (dan juga perguruan tinggi) menjadi tanggung jawab Pusat, seperti yang tertuang dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 pasal 46; (1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (3) Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

.                  Maka dengan pola otonomi daerah, antara Dinas Pendidikan kabupaten/kota dengan Dinas Pendidikan propinsi tidak ada hubungan hierarkhis, sedangkan propinsi masih tetap mengemban amanat sebagai perwakilan pemerintah pusat. Dengan konfigurasi kelembagaan seperti itu, jelas bahwa Pusat tidak lagi punya “tangan” di daerah untuk mengimplementasikan program-programnya. Implikasinya, setiap program di tingkat sekolah harus dilakukan melalui koordinasi dengan Pemda, atau khususnya Dinas Pendidikan kabupaten/kota.
Dengan konfigurasi kelembagaan yang seperti itu pula, pola pembiayaan pendidikan mengalami perubahan yang cukup mendasar. Pasal 48 Undang Undang-undang No. 20 Tahun 2003 menjelaskan bahwa; (1) pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik, (2) Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Dengan demikian daerah memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk membiayai sektor pendidikan dengan menggunakan APBD-nya. Dukungan dari Pusat (dan Propinsi) tetap dimungkinkan, tetapi juga harus melalui mekanisme APBD, atau paling tidak tercatat di dalam APBD kabupaten/kota.
Tantangan pertama yang harus dihadapi oleh para pengelola pendidikan adalah masalah pendanaan. Sebagai ilustrasi, rendahnya kualitas gedung sekolah, terutama SD, merupakan salah satu dampak keterbatasan kemampuan pemerintah dalam memobilisasi dana untuk sektor pendidikan. Di sisi lain, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memberi beban yang sangat berat bagi pemerintah. Pasal 49 menyatakan sebagai berikut; (1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). (2) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). (3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Dana pendidikan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Jelas bahwa Pemda memiliki tanggung jawab yang besar dan bersifat jangka panjang di sektor pendidikan, tetapi tidak memiliki sumber dana yang cukup dan stabil untuk mendanai. Jika situasinya tidak berubah, Daerah tidak akan mampu memenuhi 20% anggaran untuk pendidikan seperti yang diamanatkan UU Sisdiknas dan pada gilirannya ada risiko terjadi penurunan kualitas SDM sebagai dampak otonomi daerah.
Perubahan kewenangan pengelolaan pendidikan dengan segera mengubah pola pembiayaan sektor pendidikan. Sebelum otonomi daerah, praktis hanya pembiayaan sekolah dasar (SD) yang menjadi tanggung jawab Pemda, sedangkan SLTP dan SLTA (dan juga perguruan tinggi) menjadi tanggung jawab Pusat. Pembiayaan SLTP dan SLTA dilakukan melalui Kanwil Depdiknas (di tingkat propinsi) dan Kandepdiknas (di tingkat kabupaten/kota).
Setelah diberlakukannya otonomi daerah, sebagaimana disinggung di atas, seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SLTA menjadi tanggung jawab Pemda. Konsekwensinya, tidak ada lagi Kanwil dan Kandepdiknas, yang ada hanyalah Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten/kota yang berada di bawah kendali Pemda, dan Dinas Pendidikan propinsi yang berada di bawah kendali Pemerintah propinsi . Antara Dinas Pendidikan kabupaten/kota dengan Dinas Pendidikan propinsi tidak ada hubungan hierarkhis, sedangkan propinsi masih tetap mengemban amanat sebagai perwakilan pemerintah pusat. Dengan konfigurasi kelembagaan seperti itu, jelas bahwa Pusat tidak lagi punya “tangan” di daerah untuk mengimplementasikan program-programnya. Implikasinya, setiap program di tingkat sekolah harus dilakukan melalui koordinasi dengan Pemda, atau khususnya Dinas Pendidikan kabupaten/kota.
Pada era sentralisasi di masa lalu, sebagian besar (bahkan hampir semua) dana pendidikan yang ada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota berasal dari pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah hanya mengelola dan menyalurkannya sesuai dengan peruntukkannya yang telah direncanakan sebelumnya. Pada era otonomi sekarang, keadaan tersebut sesungguhnya masih belum banyak mengalami perubahan. Sebagian besar dana dalam RAPBD provinsi dan kabupaten/kota sebagian dari pusat yang dislaurkan dalam bentuk paket yang disebut  Dana Alokasi Umum (DAU) dan untuk sebagian ditambah lagi dengan Dana Alokasi Khusus (DAK). Perbedaannya terletak pada tanggung jawab pengalokasiannya yang diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang dikuasai oleh negara mendapatkan bagian dalam proporsi tertentu dari keuntungan yang diperoleh dengan mengacu pada UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Pada tingkat sekolah, biaya pendidikan diperoleh dari subsidi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan sumbangan masyarakat. Besar kecilnya biaya pendidikan terutama, pada tingkat satuan pendidikan berhubungan dengan berbagai indikator mutu pendidikan, berhubungan dengan berbagai indikator mutu pendidikan. Dalam konteks perencanaan pembiayaan pendidikan, pemahaman terhadap berbagai aspek pembiayaan pendidikan sangatlah penting. Pemahaman yang dimaksud merentang dari hal-hal yang sifatnya mikro hingga makro, antara lain meliputi sumber-sumber pembiayaan pendidikan, sistem dan mekanisme pengalokasiannya, efektivitas dan efisiensi dalam penggunaannya, dan akuntabilitas hasilnya yang diukur dari perubahan-perubahan kuantitatif dan kualitatif yang terjadi pada semua tataran, khususnya di tingkat sekolah. Maka dari itu peran MBS sangat penting agar pengelolaan dana pendidikan tepat sasaran , dimana MBS menuntut pembiayaan pendidikan transparan, tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan lokal.
2.  Pembiayaan Pendidikan Dalam Konteks Manajemen Berbasis Sekolah
Keuangan dan pembiayaan merupakan salah satu sumber daya yang secara langsung menunjang efektivitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan. Hal tersebut lebih terasa lagi dalam implementasi MBS, yang menuntut sekolah untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi serta mempertanggungjawabkan pengelolaan dana secara transparan kepada masyarakat dan pemerintah. Keuangan dan pembiayaan sangat menentukan ketercapaian tujuan pendidikan di sekolah, yang memerlukan sejumlah investasi dari anggaran pemerintah dan dana masyarakat. Investasi tersebut harus dikelola secara efektif dan efisien dan diarahkan langsung terhadap pencapaian tujuan.
Salah satu yang harus didesentralisasikan dalam konsep MBS adalah power / authority yang meliputi budget, personnel dan curriculum[1]. Budged (anggaran) adalah rencana penerimaan dan pengeluaran dalam jangka waktu satu tahun[2]. Kewenangan mengelolaan anggaran adalah keleluasaan mendapatkan sumber-sumber pembiayaan dan keleluasaan dalam hal penggunaannya. Kewenangan pengelolaan anggaran tersebut merupakan kunci penerapan konsep-konsep MBS di sekolah.
Sejak konsep MBS diperkenalkan (1999) sampai sekarang, penerapan konsep MBS masih belum sesuai dengan prinsip-prinsip MBS terutama yang menyangkut dengan pendanaan. Sekolah-sekolah masih sangat tergantung pada kebijakan birokrat dalam pendanaan pendidikan.
Sehingga timbul permasalahan seolah-olah pendanaan pendidikan tidak termasuk kewenangan yang diberikan ke sekolah. Pada hal pendanaan merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan MBS.
Pendanaan atau anggaran pendidikan meliputi banyak hal seperti sumber keuangan sekolah, kebutuhan sekolah yang perlu dibiayai, bagaimana peran pemerintah pusat, daerah dan masyarakat, sumber-sumber pendanaan, usaha-usaha sekolah untuk mendapatkan pendanaan dan lain sebagainya.
Sistem pembiayaan pendidikan di Indonesia sekarang menurut ketentuan Undang-Undang (UU) no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) fasal 46 menyebutkan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tangung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Pasal 49 ayat 1 menyebutkan selain gaji pemerintah minimal mengalokasikan 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan pemerintah daerah minimal mengalokasikan 20 % dari Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada sektor pendidikan, lebih lanjut ayat 3 dan 4 menyatakan bahwa dana pendidikan diberikan dalam bentuk hibah bedasarkan prinsip keadilan, kecukupan dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1).
Peraturan Pemerintah (PP) no.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) pasal 63 menyatakan bahwa pembiayaan pendidikan terdiri dari biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal. Biaya investasi meliputi biaya sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia dan modal kerja tetap. Biaya operasi meliputi gaji, bahan habis pakai dan biaya tak langsung. Dan biaya personal meliputi biaya yang dikeluarkam untuk mengikuti proses pendidikan seperti pakaian, transpor, buku, komsumsi dan biaya pribadi lainnya.
Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Namun tidak jelas berapa parsen tanggung jawab pemerintah pusat, berapa parsen tanggung jawab pemerintah daerah dan berapa parsen tanggung jawab masyarakat. Pemerintah daerah yang dimaksud juga kurang jelas, apakah pemerintah daerah propinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota, mengingat otonomi daerah berada pada pemerintah daerah kabupaten/kota. Bantuan Operasional Sekolah (BOS), school grand dan bantuan lainnya yang diterima sekolah dari pemerintah pusat tidak jelas sumbernya apakah berasal dari APBN atau berasal dari sumber lainnya, karena kita tahu ada bantuan untuk sektor pendidikan sebagai akibat dari pengurangan subsidi bahab bakar minyak (BBM). Diluar gaji pemerintah pusat mengalokasikan dana 20% dari APBN dan 20% dari APBD untuk sektor pendidikan.
Dana pendidikan diberikan dalam bentuh hibah, ini berarti bahwa dana pendidikan yang diberikan ke sekolah dikelola sesuai dengan prinsip otonomi sekolah. Kenyataan menunjukan bahwa hal tersebut belum sepenuhnya terwujud, masih banyak campur tangan dari pihak lain dalam pengelolaan berbagai bentuk dana pendidikan yang ada di sekolah. Ada dana bantuan pusat yang pada prinsipnya bebas pajak, namun dalam pelaksanaannya di daerah dana bantuan tersebut tetap kena pajak.
Secara umum terdapat dua dimensi model pembiayaan pendidikan yaitu dimensi alokasi biaya dan dimensi penghasilan. Dimensi alokasi biaya terkait dengan target populasi yang disesuaikan dengan program, pelayanan dan kelengkapan fasilitas. Perhitungan unit cost untuk masing-masing program ditentukan oleh kemampuan lokal. Dimensi penghasilan merupakan parsentase dari penghasilan yang ditetapkan dari berbagai sumber. Dimensi alokasi biaya secara garis besar dikelompokan dalam dua model yaitu model flat grant dan model aqualization. Dimensi penghasilan terdiri dari 5 model yaitui; biaya dari daerah seluruhnya, model flat grant, model penyamaan, model pembiayan insentif atau persentase dan model pembiayaan dari pusat seluruhnya.
Sejak reformasi bergulir di Indonesia sekitar tahun 1998 yang lalu, sektor pendidikan termasuk bidang yang direformasi. Diperkenalkannya konsep MBS dan kemudian lahir UU SPN tahun 2003 merupakan bentuk dari reformasi pendidikan tersebut. Pendanaan pendidikan, yang sebelumnya tidak diatur secara jelas, dengan adanya UU tersebut diatur secara tegas pada fasal 46dan 47. Yang dibutuhkan lagi adalah political will pemerintah melaksanakannya. Disamping melaksanakan dengan tegas ketentuan pasal 46 UU SPN, pada masa yang akan datang pemerintah perlu membuat aturan tentang sumber-sumber pembiayaan pendidikan. Odden dalam Kimbrough and Nunnery (1994) mengemukakan bahwa negara dengan reformasi pendidikan menjadi agresif dalam menemukan sumber-sumber pendapatan baru untuk sekolah-sekolah[3]. Sehingga apa yang disarankan oleh MBE Project. Net (tt) dapat direlisasikan, yang mana mengemukakan bahwa MBS perlu ditunjang dengan dana operasional sekolah, jumlah dana yang diberikan langsung kepada sekolah sangat perlu ditingkatkan.. Aturan lain yang perlu juga dibuat adalah ketentuan yang membolehkan sekolah mencari sumber-sumber pendanann dengan bebas sehingga sekolah tidak lagi terlalu tergantung dari dana pemerintah.

Kesimpulan dan Saran

Reformasi peraturan perundangan dalam pembiayaan pendidikan telah dilakukan. UU no.20 tahun 2003 tentang SPN fasal 46, 47 dan 49 menyatakan dengan tegas tentang pembiayaan pendidikan. PP no.19 tahun 2005 tentang NSP fasal 63 juga mengatur standar pembiayaan pendidikan. Implementasi dari ketentuan pasal-pasal dari UU dan PP tersebut masih lemah, misalnya ketentuan fasal 49 ayat 1 menyebutkan selain gaji pemerintah minimal mengalokasikan 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan pemerintah daerah minimal mengalokasikan 20 % dari Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada sektor pendidikan. Sampai sekarang ketentuan fasal tersebut belum terwujud dalam APBN dan sebagian besar APBD di Indonesia.
Desentralisasi pendidikan memberikan otonomi pendidikan ke sekolah dalam bentuk MBS. Pelaksanan MBS perlu ditunjang dengan dana operasional Dengan demikian dana yang diberikan langsung kepada sekolah sangat diperlukan dan kewenangan mengelola dana tersebut diberikan sepenuhnya. Disamping itu sekolah perlu diberi kebebasan menggali sumber pendanaan, sehingga lambat laun sekolah tidak lagi terlalu tergantung dengan pemerintah.
Saran
1. Reformasi pendidikan dalam bentuk peraturan perundangan perlu diteruskan, terutama yang menyangkut dengan pembiayaan pendidikan. Pada masa yang akan datang pemerintah perlu menentukan tanggungjawab pemerinah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat dalam pembiayaan pendidikan, menerapkan prinsip keadilan secara merata agar kemajuan sekolah terlaksana dengan merata dan membuat aturan yang memungkinkan pemerintah menggali sumber pembiayaan khusus untuk bidang pendidikan.
2.     Dalam rangka pelaksanaan MBS dan otonomi sekolah, sekolah hendaknya diberi keleluasaan atau kewenangan mengelola anggarannya sendiri, sekolah yang tahu dengan kebutuhannya. Dan pada masa yang akan datang perlu dibuat aturan agar sekolah dapat menggali sumber pendanaannya sendiri agar sekolah tidak lagi terlalu tergantung pada pemerinah.









D.   Kesimpulan dan Saran
1.    Setelah diberlakukannya otonomi daerah, sebagaimana disinggung di atas, seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SLTA menjadi tanggung jawab Pemda. Konsekwensinya, tidak ada lagi Kanwil dan Kandepdiknas, yang ada hanyalah Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten/kota yang berada di bawah kendali Pemda, dan Dinas Pendidikan propinsi yang berada di bawah kendali Pemprop. Antara Dinas Pendidikan kabupaten/kota dengan Dinas Pendidikan propinsi tidak ada hubungan hierarkhis, sedangkan propinsi masih tetap mengemban amanat sebagai perwakilan pemerintah pusat. Dengan konfigurasi kelembagaan seperti itu, jelas bahwa Pusat tidak lagi punya “tangan” di daerah untuk mengimplementasikan program-programnya. Implikasinya, setiap program di tingkat sekolah harus dilakukan melalui koordinasi dengan Pemda, atau khususnya Dinas Pendidikan kabupaten/kota.

E.   Referensi

Ahmadjayadi, C., 2000 Perspektif masyarakat daerah di era otonomi daerah. Revitalisasi Komitmen
Kebangsaan dalam menyongsong Era Otonomi Daerah, IA-ITB, Bandung 28 Oktober 2000
Anonim.,2000a Special report overall ranking, science and technology schools, multi disciplinary schools.Pointer http://www. Asianweek.com
----------.,2000b Nobel Pprize in Physics Winner 2000-1901. Pointer http://www. Almaz.com/nobel
Bill Gates., 1995 The Road Ahead, Penguin Book Ltd, New York
Chen Tony, 2003 Licencing Clinic Seminar, Microsoft Indonesia, Jakarta July 10th,
Chempy,J., 1996 Reengineering the Corporation, Prentice-Hall, New York
Gibson, Rowan., 1997 Rethinking the future, Nicholas Breadly Publishing, London
Nolan R.L and Croson,D.C , 1993 The Stages Theory of A Frame Work for IT Adaption and Organizational Learning, Harvard Business School. Cambridge MA
Rose, Collin and Nicholl, Malcolm J., 1997 Accellerated learning for the 21st century, A Dell Trade Paperback, New York
Diposkan oleh RATANUSON di 09.39





[1] Nurkolis. 2002. Penerapan MBS di SLTP 9 Jakarta. Pendidikan network (Online) Vol. – No. (http://www.Artikel.us/nurkolis1.html di akses 3 April 2007).

[2] Yahya. 2007. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bahan Kuliah. Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang.
[3] Kimbrough, Ralph and Michael Y. Nunnery. 1988. Educational Administration. New York: Macmillan Publishing Company.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar